Mulya Chandra
Mulya Chandra

Pengamat pasar modal dan perbankan. Sebelumnya dia menjabat Director, Head of Research and Strategist di Morgan Stanley Indonesia. Memiliki karier di dunia keuangan dan investasi selama lebih dari 20 tahun. Beliau memimpin tim riset yang telah berprestasi menduduki peringkat atas dalam polling tahunan Institutional Investor sejak tahun 2015. Sebelum berkarir di Morgan Stanley, beliau pernah berkarier di berbagai institusi, seperti CIMB Securities dan Danareksa Sekuritas. Beliau adalah pemegang charter CFA, dan sebelumnya aktif menjadi instruktur CFA. Mulya memiliki ijin Wakil Manajer Investasi (WMI), dan Wakil Perantara Perdagangan Efek (WPPE). Selain bidang investasi, Mulya juga pemegang CA (Indonesia) dan pernah berkarier sebagai financial auditor di KPMG.

Profil Selengkapnya

Reformasi Tahap II: Deregulasi dan Investasi

Opini - Mulya Chandra, CNBC Indonesia
23 November 2020 18:40
FILE PHOTO: Cars and containers are pictured at a shipping terminal in the harbour of the German northern town of Bremerhaven, Germany, late October 8, 2012. REUTERS/Fabian Bimmer/File Photo Foto: REUTERS/Fabian Bimmer

Masa yang berbeda memiliki tantangan yang berbeda, demikian pula memerlukan kebijakan yang berbeda. Lonjakan komoditas pada tahun 2010-12 memberikan keuntungan kepada Indonesia yang kaya sumber daya alam. Lonjakan tersebut awalnya dipicu oleh siklus ekonomi global, yang kemudian didorong oleh kenaikan harga komoditas akibat pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) pasca krisis keuangan global 2008.

Pertumbuhan PDB Indonesia melampaui 6% pada periode ini, didorong oleh ekspor sumber daya alam, khususnya batu bara. Pendapatan yang tinggi dari komoditas memicu siklus berantai positif perekonomian yang mengangkat daya beli masyarakat.

Namun, lonjakan tersebut nyatanya tidak bertahan. Ketika dampak pelonggaran kuantitatif memudar dan bersamaan dengan maraknya gerakan energi ramah lingkungan (green energy), batu bara dan produk komoditas lain kehilangan momentum. Indonesia pun mulai mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi sejak tahun 2013, beserta dengan negara-negara lain yang juga mengandalkan pendapatan dari sumber daya alam. Neraca transaksi berjalan berubah dari surplus menjadi defisit.

Hal ini menjadi pertanda bahwa Indonesia seharusnya tidak terlalu bergantung pada ekspor komoditas, yang nyatanya tidak stabil dan tidak berkelanjutan. Perekonomian jelas membutuhkan reformasi struktural.

Pemerintah menanggapi dengan meluncurkan reformasi infrastruktur yang diperlukan untuk melakukan diversifikasi di sektor manufaktur dan juga sektor non-komoditas lainnya. Selama periode 2015-19, yang bisa kita sebut Reformasi Ekonomi Tahap I, Indonesia meningkatkan belanja infrastruktur menjadi 2,2-2,8% dari PDB, jauh meningkat dari 0,9-1,7% pada dekade sebelumnya. Pembangunan ini menghasilkan lebih dari 970 km jalan tol, 3.400 km jalan raya, 40 km jembatan, 30 bandara dan pelabuhan, 17 bendungan, dan sejumlah sarana LRT/MRT.

Tahapan yang diperlukan selanjutnya adalah mendorong investasi di sektor riil berupa pabrik dan bisnis untuk memanfaatkan infrastruktur baru tersebut dan memaksimalkan multiplier effect pada pertumbuhan ekonomi. Namun investasi - khususnya investasi asing langsung (foreign direct investment atau FDI) - belum banyak beranjak dari US$30 miliar per tahun sejak tahun 2013, dengan rasio FDI per PDB turun dari 3,2% pada 2014 menjadi 2,5% pada 2019. Hal ini tidaklah mengherankan jika kita sandingkan dengan peringkat global Indonesia untuk kemudahan berbisnis (ease of doing business) yang juga tidak berkembang banyak dari peringkat 73 pada tahun 2017-2019, tertinggal dari negara ASEAN lainnya seperti Singapura (#2), Malaysia (#12), Thailand (#21), Brunei (#66), dan Vietnam (#70) pada tahun 2019.

Kenyataan tersebut memerlukan adanya Reformasi EkonomiTahap II, dengan fokus pada deregulasi dan investasi. Dan untuk itu, Pemerintah menanggapi dengan ditetapkannya Omnibus Law yang baru-baru ini disahkan.

CEIC, BKPMCEIC, BKPM

Omnibus Law Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja adalah reformasi deregulasi komprehensif yang bertujuan untuk mendorong FDI, dan menciptakan lapangan kerja baru. Undang-Undang ini dapat mengatasi hambatan-hambatan investasi selama ini, dengan cakupan utama pada hal-hal berikut:

  • Pemberdayaan UMKM
  • Perbaikan ekosistem bisnis, termasuk kemudahan perizinan dan penghapusan berbagai sektor dari daftar investasi negatif.
  • Reformasi ketenagakerjaan
  • Pengadaan dan pengelolaan lahan, beserta zona ekonomi
  • Penyelarasan pemerintah pusat dan daerah


Hal ini sangat tepat bila dipadukan dengan
insentif perpajakan yang diluncurkan sebelumnya, termasuk pemotongan 5 persen pajak penghasilan badan menjadi 20% hingga tahun 2023, and tambahan insentif 3 persen bagi perusahaan terbuka yang memenuhi syarat.

Ekonomi digital menjadi motor perekonomian baru

Aspek penting lainnya dari transformasi struktural Indonesia dalam beberapa tahun ke depan adalah pertumbuhan ekonomi digital, yang telah mentransformasi kehidupan masyarakat dunia. Di Indonesia, ekonomi digital juga telah mengubah lanskap perekonomian dan bisnis, dan sangat berpotensi menjadi motor pendorong pertumbuhan ekonomi yang baru.

Indonesia dapat menjadi lahan yang subur bagi pertumbuhan perekonomian digital didorong oleh beberapa faktor: (1) 270 juta penduduk, dengan setengahnya berusia lebih muda dari 30 tahun; (2) masyarakat Indonesia cepat mengadposi platform digital dan suka berinteraksi dengan menggunakan ponsel mereka, seperti yang diungkapkan oleh survei Google, Temasek, dan Bain bahwa masyarakat Indonesia rata-rata menghabiskan waktu 4,5 jam sehari dengan ponselnya dibandingkan dengan 3,2 jam di seluruh dunia; (3) infrastruktur data yang terus berkembang dan ketersediaan ponsel yang terjangkau; dan (4) perusahan rintis (startup) teknologi yang berkembang pesat dan aktif memperkenalkan produk digital yang inovatif dan bermanfaat.

Perusahaan rintis teknologi menawarkan solusi yang lebih efektif di berbagai segmen. Layanan e-commerce, logistik, dan pembayaran digital mengurangi biaya transportasi dan meningkatkan perputaran transaksi bisnis UMKM yang juga berarti meningkatkan daya beli masyarakat. Fintech dapat meningkatkan inklusi keuangan bagi mereka yang tidak memiliki akses ke layanan perbankan sekaligus mengurangi biaya transaksi. Transaksi non-tunai terus berkembang pesat di Indonesia, mendorong transparansi, kepastian, dan akuntabilitas. Layanan perjalanan online mempromosikan industri pariwisata dan transportasi secara lebih efisien daripada metode tradisional.

Indonesia sejauh ini telah melahirkan enam unicorn, termasuk satu 'decacorn', dalam waktu 2 sampai dengan 8 tahun sejak pendirian masing-masing perusahaan rintis tersebut, yang merupakan prestasi dalam lingkup regional. Para pionir ini bukan hanya sukses di Indonesia, namun beberapa diantaranya juga berencana untuk ekspansi ke negara-negara ASEAN lainnya.

'Batu bara' baru itu bernama nikel

Kabar baiknya adalah tidak komoditas kehilangan momentum. Antusiasme global terhadap kendaraan listrik (EV) telah melahirkan kebutuhan baru yang tinggi akan nikel, yang merupakan bahan baku penting untuk pembuatan baterai EV. Hal ini akan menguntungkan Indonesia, mengingat Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia dengan pangsa pasar sebesar sepertiga.

Didukung cadangan bijih nikel yang melimpah di Indonesia, dan percepatan investasi pembangunan fasilitas smelter dan produksi nikel, komoditas ini berpotensi menjadi pendorong ekspor Indonesia.

Peningkatan nilai tambah dalam produksi nikel, dan penggunaan cadangan nikel sebagai magnet untuk menarik FDI dapat menjadi strategi jangka pendek yang tepat bagi Indonesia selagi Indonesia menjalankan trassformasi struktural dan Reformasi Ekonomi Tahap II, yang pencapaiannya membutuhkan waktu cukup panjang.

Namun, perlu diingat bahwa sejarah mengajarkan kita bahwa ketergantungan berlebih pada komoditas bukanlah strategi pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan.

(dru)
Opini Terpopuler
    spinner loading
Opinion Makers
    z
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading