Refleksi Ekonomi Indonesia 2024 Hingga Pelajaran dari Deflasi Beruntun

Muhammad Noval Al-Akbar, CNBC Indonesia
27 December 2024 15:03
Muhammad Noval Al-Akbar
Muhammad Noval Al-Akbar
Muhammad Noval Al-Akbar berstatus sebagai mahasiswa Universitas Islam Indonesia. Ia aktif berorganisasi, salah satunya sebagai staf divisi keilmuan Lembaga Eksekutif Mahasiswa UII. Opini yang disampaikan bersifat pribadi dan tidak mewakili institusi penuli.. Selengkapnya
Sejumlah pekerja konstruksi menyelesaikan pembangunan gedung bertingkat di Jakarta, Kamis, (19/9/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Sejumlah pekerja konstruksi menyelesaikan pembangunan gedung bertingkat di Jakarta, Kamis, (19/9/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Tahun 2024 akan segera berakhir. Terdapat sejumlah catatan penting di sektor perekonomian tanah air yang dapat menjadi pelajaran dalam menatap tahun 2025, salah satunya berkaitan dengan fenomena deflasi yang terekam beberapa bulan terakhir.

Memasuki tahun 2024, resesi ekonomi global 2023 menjadi salah satu pemicu penurunan aktivitas ekonomi dari berbagai sektor. Indikator terjadinya resesi tentu berkaitan dengan deflasi (penurunan harga) dan inflasi (kenaikan harga).

Deflasi yang terjadi di Indonesia dari pertengahan tahun 2024 menuai pro dan kontra masyarakat. Di satu sisi, terjangkaunya harga pokok memang terlihat menguntungkan.

Apalagi, perekonomian Indonesia itu sangat bergantung kepada kinerja konsumsi dalam negeri. Tapi apabila konsumsi domestik rendah dan terjadi secara kontinu, maka fenomena ini dapat memicu perlambatan ekonomi yang serius.

Data BPS pada bulan November 2024 tercatat mengalami deflasi sebesar 0,04%. Angka tersebut terus bertambah dari lima bulan terakhir. Inflasi tinggi yang terjadi beberapa tahun sebelumnya sekarang diwarnai oleh deflasi yang muncul di tengah ketidakpastian ekonomi global saat ini.

Secara teori deflasi sering kali dikaitkan dengan penurunan permintaan barang oleh konsumen dan masalah produksi yang dialami oleh perusahaan. Konsumen dan perusahaan yang enggan untuk membelanjakan uang mereka akibat ketidakpastian ekonomi, menurunnya daya beli, dan tingkat pengangguran yang tinggi.

Lantas, apakah deflasi ini benar-benar memberi dampak positif bagi masyarakat? Bagi konsumen, harga barang yang turun mungkin terasa seperti angin segar.

Terutama bagi mereka yang sebelumnya terhimpit oleh lonjakan harga barang kebutuhan pokok. Harga barang yang lebih terjangkau bisa meringankan beban keluarga, terutama yang berpendapatan rendah.

Tapi di sisi lain, terlalu lama berada dalam situasi deflasi justru bisa memunculkan masalah baru. Harga yang terus menurun dapat menyebabkan produsen merasa terjepit dan memotong biaya produksi, bahkan mengurangi tenaga kerja. Akhirnya, yang seharusnya menjadi stimulus bagi perekonomian malah berujung pada stagnasi yang bisa memperburuk kondisi ekonomi.

Salah satu risiko terbesar yang bisa muncul dari deflasi adalah terjadinya apa yang disebut "resesi deflasi." Ini adalah situasi di mana ekonomi tidak hanya melambat, tetapi juga terperangkap dalam spiral negatif: harga turun, pengangguran naik, daya beli menurun, dan seterusnya.

Jika ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin Indonesia akan kesulitan untuk bangkit dalam waktu yang cukup lama.

Apakah Deflasi Bisa Mengarah ke Resesi?
Resesi didefinisikan sebagai kontraksi ekonomi yang berkelanjutan dalam dua kuartal berturut-turut. Jika deflasi diiringi dengan penurunan produksi, investasi, dan konsumsi, maka kemungkinan besar resesi tidak dapat dihindari.

Hal ini bisa bertambah parah jika pelaku usaha mengurangi investasi karena kekhawatiran terhadap prospek ekonomi, yang kemudian memperburuk perlambatan ekonomi.

Studi yang dilakukan oleh beberapa ekonom menunjukkan bahwa negara-negara yang mengalami deflasi berkepanjangan, seperti Jepang pada era 1990-an, sering kali terjebak dalam pertumbuhan ekonomi yang stagnan. Fenomena ini dikenal sebagai "lost decade," di mana harga terus menurun, dan masyarakat cenderung menyimpan uang daripada membelanjakannya.

Indonesia tentu tidak ingin mengalami hal serupa, mengingat pentingnyat dan pelaku usaha. Ketika harga terus turun, konsumen cenderung menunda pembelian,
sementara produsen mengurangi kapasitas produksi. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), yang selanjutnya menekan daya beli masyarakat.

Selain itu, kebijakan ekonomi yang kurang tepat dapat memperburuk situasi. Contohnya, kebijakan moneter yang terlalu ketat untuk mengendalikan inflasi dapat berdampak buruk saat ekonomi sedang lesu. Ketika biaya pinjaman menjadi mahal akibat suku bunga tinggi, pelaku usaha cenderung menunda ekspansi atau bahkan mengurangi produksi.

Namun, deflasi juga harus dilihat sebagai peluang untuk memperbaiki struktur ekonomi kita. Ini bisa menjadi momen untuk mengurangi ketergantungan pada barang impor dan mendorong sektor-sektor domestik yang lebih produktif. Dengan begitu, meski deflasi adalah tantangan, Indonesia bisa tetap optimistis untuk bangkit dengan cara yang lebih berkelanjutan.

Faktor Pendukung Terjadinya Deflasi
Indonesia merupakan negara yang perekonomiannya sangat bergantung pada ekspor komoditas. Ketergantungan ini membuat Indonesia rentan terhadap perubahan harga pasar di global.

Penurunan harga komoditas utama seperti minyak mentah, batu-bara, dan kelapa sawit kerap membawa dampak signifikan bagi perekonomian domestik. Contohnya, laporan Bank Dunia menunjukkan bahwa pada tahun 2020, pandemi COVID-19 menyebabkan harga minyak dunia anjlok drastis. Kondisi tersebut langsung mempengaruhi penerimaan negara dari ekspor, sekaligus berdampak pada harga domestik dari komoditas-komoditas di atas.

Efek dari penurunan harga komoditas tidak hanya terasa di sektor ekspor. Dampaknya meluas hingga ke perekonomian domestik, terutama melalui pelemahan daya beli masyarakat. Saat tekanan ekonomi meningkat, seperti inflasi atau suku bunga naik, konsumsi masyarakat cenderung menurun. Hal ini diperparah oleh kebijakan moneter yang cenderung ketat.

Di sektor pertanian, masalah over production seringkali menjadi kendala lain. Ketika hasil panen melimpah tetapi tidak diimbangi dengan permintaan pasar yang memadai harga produk pertanian pun jatuh. Situasi ini sangat merugikan petani karena mereka terpaksa menjual hasil panen dengan harga yang bahkan tidak menutupi biaya produksi.

Penurunan harga komoditas seperti ini juga dapat memicu deflasi. Meskipun deflasi mungkin terlihat menguntungkan bagi konsumen dalam jangka pendek karena harga barang lebih murah, dalam jangka panjang kondisi ini dapat menjadi sinyal lemahnya ekonomi yang serius dan dapat menuntun kita terhadap resesi.

Oleh karena itu, fenomena semacam ini memerlukan perhatian khusus dari pemerintah dan Bank Indonesia, sinergi antara kebijakan fiskal dan moneter menjadi kunci untuk menghadapi tantangan tersebut. Langkah strategis memberikan intensif untuk mendorong konsumsi masyarakat.

Mendiversifikasi basis ekonomi agar tidak terlalu bergantung pada komoditas, serta meningkatkan investasi domestik dan asing menjadi sangat penting. Jika kebijakan yang diterapkan tepat dan terkoordinasi dengan baik, tantangan ekonomi ini dapat menjadi peluang.

Dengan demikian Indonesia dapat memperkuat fondasi ekonominya menciptakan pertumbuhan yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di masa depan.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation