Awan Gelap Tata Kelola Zakat Indonesia

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi program prioritas Presiden Prabowo Subianto ketika kampanye telah terselenggara di sejumlah titik pilot project daerah dan sekolah di 26 provinsi di Indonesia. Meskipun menimbulkan pujian dan kritikan dari sejumlah orang tua, siswa, pemerintah daerah hingga pengamat kebijakan program ini layak untuk dimonitoring ketika berjalan dan terus dievaluasi agar manfaat yang ingin diwujudkan dalam membentuk SDM Indonesia unggul dapat dicapai.
Terlepas dari kekurangan pelaksanaan program ini misalkan anggaran yang terbatas diturunkan dari 15 ribu rupiah menjadi 10 ribu rupiah per siswa, komposisi makanan yang masih belum layak sebagai "makanan bergizi dan sehat" perlu perencanaan yang matang oleh pemerintah pusat di dalam mengimplementasikan program prioritas nasional tersebut.
Evaluasi Awal Program Bergizi Gratis Secara Ekonomi
Program MBG secara makro ekonomi akan mendatangkan multiplier pendapatan nasional bagi Indonesia jika dijalankan dengan optimal. Meningkatnya komponen konsumsi masyarakat dengan pendanaan yang diberikan kepada rumah tangga produsen sehingga menguatnya UMKM yang bergerak di sektor makanan dan kuliner.
Program ini jika dikelola optimal dan tanpa korupsi akan berdampak meningkatnya pertumbuhan ekonomi di seluruh daerah Indonesia. Seluruh prosedur harus diperhatikan termasuk kualitas makanan yang diberikan sesuai standar kesehatan bagi tumbuh kembangnya anak.
Meskipun demikian, sebagai negara berkembang dan masih masifnya korupsi akan dikhawatirkan penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan kepentingan kelompok tertentu. Oleh karena, program prioritas ini harus dijaga kualitas kontrolnya dengan pengawasan yang melibatkan seluruh elemen terkait bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, sekolah dan orang tua siswa.
Pendanaan MBG dengan Zakat
Inisiasi pendanaan MBG dengan zakat perlu dikaji lebih lanjut apakah tepat dilaksanakan. Program MBG sesungguhnya adalah janji kampanye Presiden terpilih dengan tujuan awal menggunakan APBN dalam pelaksanaannya.
Keterbatasan anggaran dan merorosotnya penerimaan pajak tahun 2024 yang tidak mencapai target menjadi tantangan berarti dalam realisasi program yang menyedot anggaran besar yakni 420 triliun rupiah per tahun (CNBC Indonesia, 2025). Oleh karena itu, pemerintah menawarkan beberapa skenario pendanaan program dengan alternatif skema seperti pendanaan zakat, APBD di tiap daerah hingga urun dana dari masyarakat langsung untuk membiayai pelaksanaan program prioritas ini.
Hakikat pelaksanaan pendistribusian dana zakat adalah diperuntukkan ke delapan asnaf yang wajib menerimanya. Delapan asnaf (wajib penerima) zakat yaitu fakir, miskin, amil, mualaf, riqab (budak), gharim (orang yang berutang), fisabilillah (orang yang berjuang di jalan Allah), dan Ibnu Sabil (musafir) yang sesungguhnya pendanan program prioritas nasional dengan cakupan wilayah besar dengan penerima masyarakat heterogen (jenjang pendapatan dan agama) merupakan kurang tepat.
Penerima zakat adalah sebagian besar diperuntukkan untuk orang miskin dan berjuang di jalan agama Islam. Jika pun dimasukkan ke dalam salah satu asnaf yakni fi sabilillah (berjuang di jalan Allah) dalam bentuk siswa yang belajar di sekolah akan terhambat dengan beragamnya penerima zakat dengan lintas agama.
Selain itu, pengelompokkan penerima zakat yang akan disalurkan oleh lembaga zakat akan sangat berhati-hati memberikan dana karena beratnya ketentuan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi. Dengan demikian, usulan ini harus perlu dikaji secara menyeluruh di dalam mendanai program prioritas pemerintahan Prabowo.
Persoalan Mendasar dan Tantangan
Usulan program MBG jika didanai dana zakat merupakan perihal keliru dan belum tepat sasaran. Hal ini terdapat beberapa alasan. Pertama, dana zakat penerimanya wajib dari delapan asnaf yang prosedurnya harus berhati-hati dijalankan di mana penerima seluruh siswa di Indonesia dan dalam urgensinya belum masuk ke dalam penerima wajib zakat.
Kedua, potensi penerimaan zakat masih sangat minim yakni belum 10% dari target yang seharusnya. Hal ini masih menyulitkan lembaga zakat seperti BAZNAS dan LAZ untuk melakukan optimalisasi pengumpulan karena belum ada kebijakan pemerintah untuk umat Islam wajib membayar zakat disamping itu juga membayar pajak.
Ketiga, dengan masih minimnya pengumpulan dari target, penyaluran zakat masih terbatas dan diprioritaskan untuk pengentasan kemiskinan, tanggap sosial- kemanusiaan hingga sektor primer lainnya. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya memiliki skema perencanaan yang matang sebelum memulai program yang dijalankan dengan memahami sumber pendanaan yang layak dan tepat sasaran.
Apabila yang dimaksudkan adalah pendanaan lewat donasi seperti infak, sedekah, dan sejenisnya maka hal ini perlu dipertimbangkan dengan baik dengan menyiapkan platform urun dana yang bisa mendanai secara berkelanjutan program prioritas pemerintah pusat.
Solusi ke Depan
Untuk memastikan keberhasilan program MBG dijalankan dengan baik dan berkelanjutan untuk mendukung generasi emas Indonesia di masa depan, pemerintah tidak perlu membebani dana zakat yang masih terbatas, maka pemerintah dapat menyiapkan alternatif pendanaan dan memastikan beberapa hal berikut bagi keberlanjutan program dapat tercapai:
1. Penguatan APBN dan APBD: Pemerintah harus memprioritaskan pengelolaan anggaran yang lebih efisien dan strategis serta memperbaiki penerimaan pajak melalui reformasi perpajakan.
2. Membangun Kemitraan strategis dengan berbagai perusahaan BUMN, BUMD, dan BUMS: Menggalang kerja sama dengan sektor pemerintah, swasta dan filantropi untuk menyediakan pendanaan berkelanjutan.
3. Pemanfaatan infak dan sedekah: Membuka peluang bagi masyarakat umum untuk berkontribusi melalui platform urun dana yang transparan dan terkelola dengan baik.
4. Optimalisasi UMKM: Melibatkan UMKM lokal untuk pengadaan makanan sehingga memberikan dampak ekonomi langsung bagi masyarakat sekitar.
5. Pengawasan yang ketat: Membangun sistem monitoring dan evaluasi berbasis teknologi untuk meminimalkan penyalahgunaan anggaran dan memastikan kualitas makanan sesuai standar.
Dengan demikian, usulan saran dan rekomendasi yang diberikan tersebut dapat memberikan alternatif solusi untuk meningkatkan pembangunan SDM Indonesia lebih maju di masa depan.