Apa Kabar Tol Laut di Era Jokowi Periode Kedua?

Siswanto Rusdi, CNBC Indonesia
06 July 2019 13:42
Siswanto Rusdi
Siswanto Rusdi
Siswanto Rusdi adalah pendiri dan Direktur The National Maritime Institute (Namarin), lembaga pengkajian yang fokus di bidang pelayaran, pelabuhan, MET (Maritime Education and Training (MET), dan keamanan maritim. Ia berlatar belakang pendidikan pascasarja.. Selengkapnya
Kapal-kapal Tol Laut selanjutnya beroperasi di daerah 3TP tanpa perlu ke pelabuhan utama lagi.
Foto: Tol Laut/M Rofiq/Detik

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Mendekati detik-detik tiup peluit babak pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, program Tol Laut terus "dibenahi". Sengaja diberi tanda petik kata dibenahi karena penulis ingin memberikan penekanan maknanya.

Tol Laut memang tengah dibenahi agar ia bisa diterima sebagai sebuah program yang berhasil dan karenanya layak diteruskan dalam babak kedua pemerintahan Jokowi.

Sejatinya, program yang satu ini masih berlepotan dengan inefisiensi. Belakangan, seperti yang diberitakan media, masalah teknis kapal mulai muncul yang mengakibatkan kapal telat sandar di pelabuhan tujuan.

Ihwal pembenahan Tol Laut sebetulnya bukan hanya dilakukan pada masa injury time tetapi sudah dilakukan jauh sebelumnya, setidaknya setelah diluncurkan pada 2015. Pasalnya, sejak saat itu masalah telah membelit program yang dicanangkan oleh Jokowi ketika maju sebagai capres dalam Pilpres 2014.

Foto: topik/jokowi jk topik kecil/Aristya rahadian krisabella

Persoalan utama Tol Laut adalah target yang diembannya, yaitu menekan disparitas harga antara Jawa dan luar Jawa, tidak bisa terpenuhi. Jika pun dinilai berhasil, nilainya tidak signifikan.

Pemerintah sendiri, melalui Kementerian Perhubungan mengakui hal ini. Muka pemerintah tentu saja tertampar dengan kinerja jeblok tersebut. Kalangan DPR RI pun mengamini inefisiensi program Tol Laut sehingga Parlemen belum menyetujui kelanjutan program tersebut.

Walaupun ini terkait soal penganggaran, Kemenhub tengah mengajukan kebutuhan subsidi untuk Tol Laut senilai Rp349,8 milyar untuk tahun depan, di mana penilaian DPR tadi tidak akan menghentikan program itu sama sekali. Hanya saja, besaran anggaran yang disetujui kemungkinan akan berkurang dari yang diusulkan, tapi tetap saja vonis bahwa Tol Laut inefisien itu "sesuatu" banget.

Mengapa Tol Laut dinilai tidak atau belum efisien?

Foto: Tol laut/doc.Kementerian PUPR/CNN

Ada kesesatan berpikir yang cukup fatal dalam program ini. Pemerintah menganggap permasalahan ketidakseimbangan kargo, juga disparitas harga, disebabkan oleh tidak performed-nya sektor pelayaran. Dengan begitu, maka yang diutak-atik hanya sektor yang satu ini. Padahal pelayaran hanyalah penopang geliat ekonomi yang lebih besar. Jika ekonomi berjalan baik, maka pelayaran juga akan sehat.

Ingat, ship follows the trade. Tidak perlu subsidi-subsidian segala. Menilik ke belakang, ketika Tol Laut masih embrional dalam materi debat/kampanye pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla di Pilpres 2014, program ini sebetulnya disiapkan tidak akan memakan subsidi. Namun, pada saat program Tol Laut dieksekusi pada 2015, nyatanya pemerintah membangun kapal-kapal baru dan memberikan subsidi untuk mendukung operasional yang besarnya mencapai ratusan miliar rupiah, setiap tahun.

Sepertinya, dalam 5 tahun ke depan pun program ini akan terus meminum subsidi. Tol Laut adalah gagasan Pendulum Nusantara yang diberi baju baru.

Sebagaimana jamak diketahui oleh komunitas kemaritiman di Tanah Air, sebelum pelaksanaan pesta demokrasi pada 2014, publik disuguhi sebuah ide besar dengan label Pendulum Nusantara.

Sayang, mana kala tiba musim pemilu (Pilpres 2014), gagasan tersebut seperti ditelan bumi dan lalu muncullah Tol Laut sebagai gantinya.

Dalam konsep Pendulum Nusantara pelabuhan-pelabuhan utama di dalam negeri akan dilayani kapal peti kemas berukuran sekitar 4.000-5.000 TEUs (twenty-foot equivalent units) yang bergerak seperti bandul jam.

Foto: Tol Laut/Kominfo

Kargo yang diangkut oleh kapal-kapal Pendulum Nusantara dioperasikan oleh swasta nasional, selanjutnya akan dipindahmuatkan (transshiped) ke kapal-kapal yang lebih kecil, yang juga dioperasikan oleh swasta, menuju pelabuhan-pelabuhan penyangga pelabuhan utama tadi.

Dalam khazanah dunia pelayaran, keterkaitan para pihak ini dikenal dengan istilah hub and spoke; hub-nya adalah pelabuhan utama sementara spoke-nya pelabuhan penyangga.


Foto: Tol Laut/doc.Presidenri.go.id


Dalam program Tol Laut, seperti yang diatur dalam SK Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor LIM-008/110/12/DJPL-18 tentang Jaringan Trayek dan Kebutuhan Kapal Pelayaran Perintis Tahun Anggaran 2019 serta Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaannya, kapal-kapal Tol Laut/Perintis masih bergerak dari pelabuhan utama/hub menuju pelabuhan penyangga atau spoke.

Selanjutnya kapal-kapal itu bergerak di daerah 3TP (terluar, tertinggal, terdepan, dan perbatasan) dan kembali lagi ke pelabuhan utama.

SK Dirjen Perhubungan yang lain, Nomor AL.107/6/10/DJPL-18 tentang Jaringan Trayek Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik Bidang Angkutan Laut Penumpang Kelas Ekonomi Tahun 2019, juga mengatur pengoperasian kapal-kapal Tol Laut dari pelabuhan utama menuju pelabuhan penyangga dan kembali ke pelabuhan utama.

Program Tol Laut memang terdiri dari berbagai jenis pelayaran: pelayaran perintis, pelayaran penumpang, kapal barang, dan kapal ternak. Semuanya meminum subsidi.

Model pengaturan operasional kapal-kapal Tol Laut seperti digambarkan di muka menimbulkan dampak bagi bisnis pelayaran nasional secara keseluruhan. Maksudnya begini. Jauh sebelum program Tol Laut diluncurkan oleh pemerintahan Jokowi, sudah ada trayek pelayaran dari pelabuhan utama menuju berbagai pelabuhan di daerah yang dilayani oleh perusahaan pelayaran swasta. Begitu pula di pelabuhan-pelabuhan penyangga telah hadir pelayaran-pelayaran swasta yang akan membawa komoditas ke pelabuhan yang lebih kecil (daerah 3TP).

Harga freight ditetapkan sesuai dengan mekanisme pasar. Masalah frekwensi kedatangan kapal, khususnya ke daerah terdepan, terluar, tertinggal, dan perbatasan, memang sangat terbatas waktu itu.

Kondisi inilah yang mendorong pemerintah, dimulai dari masa Presiden Soeharto, meluncurkan program kapal perintis. Presiden-presiden setelah Soeharto meneruskan kebijakan tersebut dan khusus dalam masa pemerintahan Jokowi namanya diganti menjadi Tol Laut.

Apa Kabar Tol Laut di Era Jokowi Periode Kedua?Foto: Arie Pratama

Dengan layanan yang mendapat subsidi, kapal-kapal Tol Laut jelas berada di atas angin. Kapal-kapal swasta yang kebetulan berada dalam satu lintasan dengan kapal-kapal Tol Laut (baik dari pelabuhan utama maupun dari pelabuhan penyangga) dipastikan sulit bersaing karena mereka tidak dapat subsidi.

Contoh, biaya kontainer pelayaran swasta dibanderol Rp 15 juta, sedangkan tarif Tol Laut Rp 8 juta. Harga Rp 15 juta itu merupakan harga pasar pada trayek tertentu. Bila pemilik barang menggunakan kapal Tol Laut, mereka akan mendapat subsidi senilai Rp 7 juta.

Berdasarkan Peraturan Perdagangan Nomor 38 Tahun 2018 tentang Penetapan Jenis Barang yang Diangkut dalam Program Pelayanan Publik untuk Angkutan Barang dari dan ke Daerah Tertinggal, Terpencil, Terluar, dan Perbatasan, kapal-kapal Tol Laut dikhususkan untuk membawa barang kebutuhan pokok dan barang penting seperti obat-obatan, susu, dan lain sebagainya.

Masalahnya, kapal-kapal swasta juga mengangkut barang yang sama hanya saja pengguna jasa (shipper) mereka, bahkan mereka sendiri, tidak mendapat subsidi. Jelas rugi bandar.

Apa daya, dengan semua fasilitas yang disediakan oleh negara program Tol Laut masih jauh dari yang diharapkan. Lantas, bagaimana cara menyelematkan "muka" Tol Laut yang sudah kadung tercemong?

Lumayan sederhana jawabannya. Pindahkan operasi kapal-kapal Tol Laut yang berhimpitan dengan pelayaran swasta di jalur utama. Kapal-kapal Tol Laut selanjutnya beroperasi di daerah 3TP tanpa perlu ke pelabuhan utama lagi. Dalam bahasa lain, Tol Laut dikembalikan menjadi pelayaran perintis.

 

(tas)

Tags

Related Opinion
Recommendation