Tax Ratio Tinggi, Dejavu Politik Dua Calon Presiden

Agust Supriadi, CNBC Indonesia
17 April 2019 13:19
Agust Supriadi
Agust Supriadi
Mantan Jurnalis Bisnis Indonesia dan CNN Indonesia yang sedang belajar riset di MUC Tax Research Institute. Fans Liverpool ini memperoleh gelar sarjana komunikasi dari IISIP Jakarta dan Magister Ekonomi (prodi Perencanaan dan Kebijakan Publik) dari Unive.. Selengkapnya
Pajak adalah bagian dari ekonomi, yang jika dipaksakan penarikannya dalam jumlah besar akan mengurangi potensi ekonomi.
Foto: Calon Presiden 01 Joko Widodo dan Calon Presiden 02 Prabowo Subianto saat mengikuti Debat Capres ke-empat dengan tema ideologi, pemerintahan, pertahanan dan keamanan, serta hubungan internasional di Hotel Shangri-La, Sabtu (30/3/2019). (REUTERS / Willy Kurniawan)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Hampir setiap 5 tahun sekali, isu perpajakan ikut memanaskan suhu politik Indonesia. Adalah hajatan "Pesta Demokrasi" yang kerap menjadi pemantiknya.

Seperti masa kampanye politik tahun 2014, dua pasangan calon presiden (capres) sama-sama umbar janji untuk meningkatkan rasio penerimaan perpajakan atau tax ratio menjadi 16% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Untuk mencapainya, pada Pemilu 2014, pasangan capres nomor urut 1 (Prabowo Subianto-Hatta Rajasa) menawarkan program-program normatif seperti intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan. Sementara pasangan capres nomor urut 2 (Joko Widodo-Jusuf Kalla) menjanjikan reformasi perpajakan menyeluruh (regulasi, kelembagaan, dan administrasi) sebagai strategi.

Keluar sebagai pemenang adalah capres nomor 2, yang langsung tancap gas dengan memasang target penerimaan pajak super tinggi.

Walaupun realisasinya sampai detik ini hanya sebatas janji. Shortfall (kekurangan penerimaan) kembali terulang dalam 5 tahun terakhir dan tax ratio bukannya meningkat justru menyusut, dari 13,7% menjadi 11,5% pada akhir tahun 2018.

Tax Ratio Tinggi, Dejavu Politik Dua CapresFoto: Suasana debat Capres ke-empat dengan tema ideologi, pemerintahan, pertahanan dan keamanan, serta hubungan internasional di Hotel Shangri-La, Sabtu (30/3/2019). (REUTERS / Willy Kurniawan)

Memasuki tahun 2019, kontestasi politik kembali menghadirkan nuansa politis yang lebih dominan ketimbang rasionalitas. Dalam Pemilihan Presiden tahun ini (2019), Prabowo dan Jokowi kembali berebut kuasa.

Bedanya, mereka bertukar nomor urut dan berganti calon wakil presiden (cawapres). Jokowi sebagai petahana kali ini mendapatkan nomor urut 1, dengan menggandeng tokoh ulama, Ma'ruf Amin. Sedangkan Prabowo berduet dengan pengusaha muda, Sandiaga Uno, mencoba peruntungan kembali dengan mengantongi nomor urut 2.

Janji-janji politik keduanya-terutama di bidang perpajakan, hampir tidak jauh beda.

Prabowo konsisten dengan target tax ratio 16%, meskipun di sisi lain menjanjikan pemangkasan tarif pajak untuk Wajib Pajak (WP) orang pribadi dan korporasi. Sementara Jokowi mencoba realistis-dengan hanya berani memasang target tax ratio 12,2% untuk tahun 2019.

Bagaimana cara mencapainya?

Alih-alih menjabarkan lebih rinci strategi dan teknis untuk mencapainya, keduanya justru masih berkutat pada tataran normatif dan bahasa-bahasa populis.

perkembangan Tax ratio (%PDB)
20082009201020112012201320142015201620172018
Global14,4713,2613,5913,9814,0214,3214,5214,5114,41 
Singapura13,8513,0712,9713,2713,7913,4113,7013,3113,7114,83 
Thailand15,3814,1914,9316,3615,4417,0115,8116,1215,4214,81 
Malaysia14,6614,9413,3314,7915,6115,3114,8414,2813,7614,30 
Kamboja10,569,6510,0010,1511,0812,0814,6314,1715,26  
Filipina13,5912,2312,1512,3812,8913,3113,6113,6313,6814,24 
Laos12,1012,7613,0313,1513,6113,7413,8313,5112,9412,24 
Vietnam22,4020,5622,3222,2118,9819,07     
Indonesia13,3111,0610,5411,1611,3811,2910,8410,7510,3310,7011,5*
Myanmar4,525,535,846,016,416,02 
(Sumber: Bank Dunia & Kementerian Keuangan, diolah)                                                               *Perhitungan sementara
 
Masalah Klasik
Terlepas dari hirup-pikuk politik yang bising 5 tahun sekali, faktanya memang tax ratio Indonesia tergolong rendah di dunia, bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga.
Sebenarnya ini cerita lama karena penurunan tax ratio Indonesia sejatinya sudah terjadi sejak tahun 2009. Bahkan kalau datanya ditarik lebih panjang lagi, tax ratio Indonesia pernah mencapai rekor tertinggi pada tahun 1981 (21,9% dari PDB) dan setelahnya terjun bebas.
Alih-alih mencari "kambing hitam" atau mencari pembenaran, alangkah lebih bijak jika para capres dan tim suksesnya duduk bersama merumuskan strategi terbaik untuk meningkatkan rasio pajak.

Penurunan rasio pajak merupakan persoalan klasik nan kompleks. Mulai dari kepatuhan wajib pajak yang rendah, basis pajak yang lemah, celah hukum yang
membuka ruang penghindaran pajak, sistem dan administrasi perpajakan yang ketinggalan zaman, hingga sumber daya otoritas pajak yang sangat terbatas.

Tax Ratio Tinggi, Dejavu Politik Dua CapresFoto: Calon Presiden 01 Joko Widodo (kiri) dan Calon Presiden 02 Prabowo Subianto (kanan) saat mengikuti Debat Capres ke-empat dengan tema pertahanan - keamanan, ideologi, pemerintahan, dan hubungan internasional di Hotel Shangri-La, Sabtu (30/3/2019). (REUTERS / Willy Kurniawan)

Setidaknya itu semua yang sering mengemuka ketika ada masalah perpajakan atau pencapaian target penerimaan dipersoalkan.

Bicara soal kepatuhan, otoritas pajak menargetkan tingkat kepatuhan pajak formal tahun ini sebesar 80%, yang diukur berdasarkan jumlah penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan badan dan orang pribadi untuk tahun pajak 2018.

Namun, realisasinya baru 61,7%, merujuk pada data 11,03 juta SPT yang dilaporkan Wajib Pajak orang pribadi maupun badan per 1 April 2019.

Itu baru kepatuhan dari sisi pelaporan, belum melihat kebenaran data SPT yang dilaporkan Wajib Pajak.
Angka-angka kepatuhan Wajib Pajak tersebut sebenarnya mengalami perbaikan dari tahun ke tahun. Namun, jika dibandingkan dengan jumlah subjek pajak Indonesia-265 juta jiwa dan 26,71 juta perusahaan non pertanian (BPS, 2016)-tentu masih jauh dari kata ideal.

Dari total populasi tersebut, jumlah Wajib Pajak terdaftar maupun yang patuh melaporkan SPT masih sangatlah kecil.
20132014201520162017
WP Terdaftar27.488.31830.298.73833.313.65536.398.08939.151.603
WP Wajib SPT 17.731.73618.357.83318.159.84020.165.71816.598.887
SPT Tahunan PPh 9.967.90410.854.81910.975.90912.256.40112.057.400
Rasio Kepatuhan 56,22%59,13%60,44%60,78%72,64%
(Sumber: Direktorat Jenderal Pajak)
 

Rendahnya kepatuhan Wajib Pajak selaras dengan rendahnya basis pajak Indonesia. Ditjen Pajak (DJP) Kemenkeu sendiri bukannya tanpa upaya untuk meningkatkan kepatuhan dan memperluas basis pajak.

Program tax amnesty (pengampunan pajak) yang dimulai pada medio 2016 setidaknya menjadi awal baru reformasi perpajakan, meski hasil akhirnya belum sesuai dengan yang digembar-gemborkan pemerintah.

Namun sedikitnya Rp 4.855 triliun harta yang selama ini tidak pernah dilaporkan wajib pajak masuk ke dalam sistem DJP dan terjaring 48.000 Wajib Pajak baru berkat obral amnesti ini (
CNN Indonesia, April 2017).

Implementasi pertukaran informasi keuangan secara otomatis (AEOI)--yang melibatkan hampir 100 negara atau yurisdiksi pajak--juga menjadi modal positif bagi pemerintah untuk memperluas basis dan memajaki objek di luar negeri.

Pekerjaan rumah selanjutnya adalah bagaimana mengelola dan mengonversi data-data Wajib Pajak tersebut menjadi tambahan penerimaan yang signifikan.

Pada tahapan ini, kapasitas dan kapabilitas DJP pantas dipertanyakan.

Target penerimaan pajak yang tidak pernah tercapai sejak tahun 2008 bisa menjadi salah satu indikatornya. Hal ini bukan hanya soal kemampuan sumber daya manusia dalam memungut pajak, melainkan juga kesiapan dari sistem administrasi dan informasi perpajakan serta proses bisnis DJP dalam menghadapi tantangan disrupsi dan demografi yang semakin meningkat.

Wajar tuntutan akan reformasi struktural otoritas pajak menguat, yang salah satu wacana yang mengemuka adalah pemisahan DJP dari Kementerian Keuangan menjadi Badan Penerimaan Negara (BPN).

Ini merupakan wacana lama yang timbul-tenggelam selaras dengan semangat reformasi perpajakan yang juga kencang-kendur di Indonesia.

Underground Economy

Selain itu, fenomena revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan masifnya perkembangan industri digital juga menjadi tantangan serius bagi otoritas pajak saat ini dan ke depannya.

Revolusi digital ini tak hanya mengubah pola perilaku manusia, tetapi secara signifikan juga mengubah cara dan fundamental bisnis zaman now.

Pesatnya perkembangan e-commerce dan industri jasa keuangan berbasis teknologi (fintech), serta bermunculannya ribuan start up menandai era baru transformasi bisnis dari konvensional ke digital.

Tax Ratio Tinggi, Dejavu Politik Dua CapresFoto: Infografis/Serba Serbi SPT Pajak Tahunan/Edward Ricardo
Otoritas pajak harus hati-hati dalam menganalisis perubahan model bisnis dan gaya hidup manusia, serta dampaknya terhadap perpajakan harus dikaji secara serius.

Dalam berbagai hal, otoritas pajak harus selangkah lebih maju atau bahkan dua-tiga langkah di depan Wajib Pajak, dengan merancang regulasi dan sistem perpajakan yang lebih adaptif dan solutif, serta tidak mudah diakali.

Dalam hal ini, perkembangan teknologi bukan hanya membuka peluang ekonomi yang semakin besar tetapi juga ada potensi pajak yang cukup signifikan untuk menambah kas negara.

Tren bisnis di era digital ini menambah "pekerjaan rumah" DJP dalam mengoptimalkan penggalian pajak di sektor-sektor usaha yang selama ini sulit terdeteksi (underground economy) dan
sulit untuk dipajaki (non-taxable).

Sebagian besar pelaku ekonomi yang beraktivitas di area ini adalah Usaha Mikro, kecil, dan Menengah (UMKM), yang jumlahnya mencapai 59,2 juta pengusaha (Kemenkop UKM, 2019). Sementara itu, yang terdaftar sebagai Wajib Pajak baru 1,5 juta UMKM (DJP, 2017).

Alhasil, sumbangan pajak UMKM terhadap penerimaan negara masih sangat kecil.
Kebijakan pemerintah memangkas tarif PPh final menjadi 0,5%--yang dibayangi penerapan pajak progresif secara bersamaan--sejatinya merupakan langkah awal yang baik untuk memperluas basis pajak sekaligus meningkatkan pencapaian penerimaan pajak dari sektor UMKM.

Hanya saja diperlukan inovasi lebih lanjut agar pajak tidak hanya menyentuh aktivitas ekonomi yang sifatnya konvensional tetapi juga dapat menjangkau transaksi ekonomi di ruang digital.

Semoga eksekusi dari kebijakan ini berlanjut dan tidak dibatalkan di tengah jalan seperti halnya aturan pajak e-commerce.

Terlepas dari itu, alangkah
baiknya jika para politisi memetakan dahulu persoalan fundamental perpajakan Indonesia dan menyiapkan solusi jangka pendek, menengah, dan panjang-sebelum menjanjikan kenaikan tax ratio setinggi-tingginya.

Harus diingat, pajak adalah bagian dari ekonomi, yang jika dipaksakan penarikannya dalam jumlah besar akan mengurangi potensi ekonomi yang selama ini dikelola sektor private.

Alih-alih meningkatkan penerimaan pajak, yang terjadi justru bisa sebaliknya: ekonomi melambat dan setoran pajak tersendat.

Namun, bukan berarti tren penurunan tax ratio terus disepelekan jika tidak ingin dicap sebagai negara pencetak utang. Intinya, mengatasi berbagai persoalan pajak tidak seperti membalikan telapak tangan atau semudah mengumbar janji tax ratio tinggi.

Perlu perencanaan yang matang, peta jalan yang jelas, dan implementasi yang konsisten dan berkesinambungan.

Jangan sampai 5 tahun sekali kebijakan perpajakan dirombak hanya karena presidennya ganti. Lagi-lagi ini soal pilihan kebijakan, yang arahnya mulai ditentukan pada 17 April 2019 ini.

(tas)

Tags


Related Opinion
Recommendation