Nasib PPh Final Bruto Tertentu (UMKM) yang Belum Jelas

Pino Siddharta, CNBC Indonesia
06 February 2025 19:30
Pino Siddharta
Pino Siddharta
Pino Siddharta merupakan Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) periode 2024-2029. Ia juga merupakan Managing Partner Pino Siddharta Tax Consultant sejak 2006 hingga saat ini. Pria yang juga me.. Selengkapnya
INFOGRAFIS, Kata Siapa UU Cipta Kerja Nggak Pro UMKM?, Cek Nih!
Foto: Ilustrasi pelaku UMKM. (Edward Ricardo/CNBC Indonesia).

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Menjelang berakhirnya bulan Januari 2025, pelaku usaha UMKM harap-harap cemas mengenai nasib keberlanjutan pelaksanaan kewajiban PPh final bruto tertentu. Kecemasan tersebut dapat dimaklumi, karena saat tulisan ini dibuat tanggal 31 Januari 2025, belum ada juga kejelasan mengenai kelanjutan kebijakan tersebut.


Meskipun tanggal 16 Desember 2024, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers Paket Stimulus Ekonomi Untuk Kesejahteraan di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyatakan bagi dunia usaha khususnya UMKM, PPh Final diperpanjang sampai 2025.

Pernyataan Airlangga Hartarto ini tidak bisa dijalankan tanpa hukum positif yang jelas, karena wacana perpanjangan tersebut harus dapat diwujudkan dalam bentuk peraturan, dalam hal peraturan setingkat Peraturan Pemerintah.

Pelaku usaha UMKM yang jumlahnya mencapai 65 juta unit usaha berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UMKM ini tersebar di berbagai sektor, termasuk kuliner, fesyen, kerajinan tangan, hingga teknologi digital. Jumlah 65 juta unit tersebut bukanlah jumlah yang sedikit, apalagi para pelaku usaha UMKM tersebut juga sebagai penyerap tenaga kerja informal yang tidak sedikit.

Kecemasan para pelaku usaha UMKM tersebut dapat dimaklumi, karena tahun 2024 adalah tahun terakhir WP OP bisa menggunakan tarif final bruto tertentu, bagi WP yang sudah menjalankan kewajiban terhitung sejak tahun 2018.

Sebagai informasi untuk menghitung pajak yang harus dibayar, maka Wajib Pajak dapat memilih cara perhitungannya, di antaranya:

1. Memilih melakukan pembukuan;
2. Memilih menggunakan norma perhitungan;
3. Menggunakan tarif PPh Final Bruto Tertentu untuk UMKM tertentu (untuk UMKM yang memiliki omzet sampai dengan Rp 4,8 miliar setahun).

Berikut tabel kelebihan dan kerugian dari ketiga cara menghitung pajak tersebut.



Tabel 1. (Dok. Istimewa)Foto: Tabel 1. (Dok. Istimewa)



Keistimewaan dari tarif pajak final bruto tertentu (Pajak UMKM) selain sederhana, juga tarif pajak yang relatif rendah. Pada awalnya berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013, tarif PPh Final Bruto Tertentu adalah sebesar 1%, namun kemudian diubah menjadi yaitu sebesar 0,5% berdasarkan PP No. 23 Tahun 2018, dan kemudian mendapatkan fasilitas tambahan untuk omzet sampai dengan 500 juta tidak dikenakan pajak dalam PP No. 55 Tahun 2022.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Perpajakan, Pasal 59 disebutkan sebagai berikut:

Pasal 59
(1) Jangka waktu tertentu pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) paling lama:
* a. 7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi;
* b. 4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama, atau perseroan perorangan yang didirikan oleh 1 (satu) orang; dan
* c. 3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas.

Perhitungan jangka waktu 7 tahun untuk orang pribadi sebagaimana huruf a, dihitung sejak Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2018, sehingga bagi Wajib Pajak yang telah memiliki NPWP sebelum tahun 2018, jangka waktu 7 tahun akan berakhir di tahun 2024. Sedangkan jangka waktu wajib pajak badan (huruf b dan c) dihitung sejak berdirinya wajib pajak badan tersebut.

Jika tidak ada perubahan atas Peraturan Pemerintah No 55 tersebut, maka pada tahun 2025, Wajib Pajak Orang Pribadi yang sudah menggunakan tarif tersebut harus memilih metode perhitungan dalam menghitung laba dan membayar pajaknya.

Metode tersebut ialah menggunakan pembukuan, atau menggunakan norma perhitungan penghasilan neto (NPPN). Sebagai perbandingan dapat dilihat berapa jumlah pajak yang harus dibayar pada tahun 2025 dengan asumsi omzet nya sama, berdasarkan ketiga metode tersebut.

* A. Contoh : Tuan Amir status K/3 (Kawin memiliki 3 tanggungan) memulai usaha sebagai pemilik toko bahan bangunan di Jakarta Selatan sejak tahun 2017, pada tahun 2024 memiliki omzet peredaran usaha sebesar Rp. 3.600.000.000,- (Tiga Miliar Enam Ratus Juta Rupiah), dengan perincian sebagai berikut :



Tabel 2. (Dok. Istimewa)Foto: Tabel 2. (Dok. Istimewa)



Jumlah pajak yang harus dibayar oleh Tuan Amir pada tahun 2024 sebesar Rp. 15.500.000,-. Namun pada tahun 2025 Tuan Amir tidak boleh menggunakan tarif final UMKM 0,5%, karena Tuan Amir sudah menggunakan tarif final UMKM 7 tahun lamanya yaitu sejak 2018 sampai dengan 2024.

Tahun 2025 dan seterusnya Tuan Amir harus menghitung labanya dengan memilih menggunakan pembukuan atau menggunakan norma perhitungan penghasilan neto (NPPN), dan menggunakan tarif pajak Pasal 17 UU PPh yaitu tarif pajak progresif dengan skema sebagai berikut

:

Tabel 3. (Dok. Istimewa)Foto: Tabel 3. (Dok. Istimewa)



Lalu jika kita simulasikan pada tahun 2025 seandainya Tuan Amir memilki omzet yang sama dengan tahun 2024 yaitu sebesar Rp. 3.600.000.000,-

* A. Jika Tuan Amir menggunakan pembukuan, dengan asumsi-asumsi omzet sebesar Rp. 3.600.000.000,- setahun, harga pokok penjualan sebesar Rp. 3.000.000.000,-,biaya operasional yang boleh dibiayakan sebesar Rp. 360.000.000,-. Maka perhitungan laba dan jumlah pajak yang harus dibayar adalah sebagai berikut :



Tabel 4. (Dok. Istimewa)Foto: Tabel 4. (Dok. Istimewa)



* A. Jika Tuan Amir memilih menggunakan norma perhitungan penghasilan neto (NPPN), dengan bidang usaha toko eceran bahan bangunan (KLU 47528), dan lokasi usaha Tuan Amir di daerah Jakarta Selatan, berdasarkan peraturan dirjen pajak no. 17 tahun 2015 tentang norma perhitungan penghasilan neto, nya adalah sebesar 30%.



Tabel 5. (Dok. Istimewa)Foto: Tabel 5. (Dok. Istimewa)



Berdasarkan simulasi contoh kasus di atas, jika diperbandingan maka terlihat jumlah pajak yang berbeda dari ketiga metode perhitungan pajaknya, yaitu sebagai berikut :



Tabel 6. (Dok. Istimewa)Foto: Tabel 6. (Dok. Istimewa)



Tentu dengan perbedaan jumlah pajak yang relatif besar akan membebani wajib pajak UMKM, yang dalam kondisi sekarang belum sepenuhnya pulih dan kondisi perekonomian yang tidak baik-baik saja.

Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah penerapan pajak final UMKM ini hanya berlaku di Indonesia saja ? ternyata berdasarkan data OECD ada banyak negara yang juga memberlakukan tarif pajak final dengan tujuan untuk mengurangi biaya kepatuhan bagi pelaku usaha kecil dan mikro sebagaimana dikutip dalam artikel OECD yang berjudul "The Design of Presumtive Tax Regimes in Selected Countries".

Karena untuk menghitung berapa pajak yang harus dibayar, dibutuhkan biaya kepatuhan yang relatif tinggi sehingga menimbang hal tersebut, dikeluarkanlah kebijakan pajak yang lebih sederhana sehingga wajib pajak dapat mudah membayar pajaknya.

Kalau dilihat alasan penerapan pajak final bruto tertentu (berdasarkan PP 23 Tahun 2018) di Indonesia dengan pertimbangan "untuk mendorong masyarakat berperan serta dalam kegiatan ekonomi formal, dengan memberikan kemudahan dan lebih berkeadilan kepada Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu untuk jangka waktu tertentu, perlu mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;

Melihat kondisi masyarakat Indonesia khususnya pelaku usaha UMKM yang masih minim pengetahuan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, maka perlu dipikirkan kembali untuk memperpanjang ketentuan mengenai penerapan PPh Final UMKM, malah kalau bisa aturan PPh Final UMKM tersebut berlaku selamanya.

Namun mengingat negara juga memerlukan dana dari pajak, dan agar kebijakan PPh Final UMKM tersebut tidak disalahgunakan oleh mereka yang memang memiliki peredaran usaha yang relatif besar, ada baiknya batas peredaran usaha yang dapat diklasifikasikan sebagai pelaku usaha UMKM ditinjau ulang dengan meminta masukan kepada seluruh stakeholder.

Sekarang ini batas omzet yang masih dapat dikategorikan sebagai pelaku UMKM adalah sebesar Rp. 4.800.000.000,- / tahun. Jika kita bandingkan batas peredaran usaha yang masuk klasifikasi penghasilan UMKM, maka batas peredaran omzet UMKM di Indonesia termasuk yang paling tinggi.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation