Muhammad Maruf
Muhammad Maruf

Penulis adalah Kepala Riset CNBC Indonesia. Menyelami jurnalistik sejak 1999 dengan pengalaman di media digital-cetak nasional dan internasional. Mendalami penelitian makroekonomi dan pasar sejak 2020, dan aktif bicara tentang uang, psikologi dan kehidupan di twitter @muhruf. Opini tidak mewakili kebijakan dan sikap CNBC Indonesia.

Profil Selengkapnya

Revolusi Ditjen Pajak Dari Tukang Pungut Jadi Robin Hood

Opini - Muhammad Maruf, CNBC Indonesia
28 January 2023 07:53
Gedung Kementrian Keuangan Ditjen Pajak Foto: CNBC Indonesia/ Muhammad Luthfi Rahman

Maaf, judul itu bukanlah kesimpulan dari opini ini. Judul itu adalah harapan, dan saya duga keinginan hampir 270 juta penduduk Indonesia. Maaf lagi, kepada Anda-anda yang bekerja sebagai abdi negara di Direktorat Jenderal Pajak/Ditjen Pajak, tapi belakangan kesan saya terhadap Anda malah bergeser menjadi tukang tagih, bahkan penagih utang mangkrak alias debt collector, alih-alih mendekati Robin Hood. Mau sembunyi di lubang semut pun pasti ketemu sama orang pajak. Apalagi cuma menghilang dari medsos.

Dengan beking hukum super kuat-PMK 39/2017-Ditjen Pajak kini mengantongi semua informasi rekening masyarakat di bank. Jangankan orang yang suka flexing-pamer kekayaan-di medsos, orang kaya tampil gembel dan tak main medsos saja bisa ketemu. Jadi percuma saja ngeles atau kabur dari orang pajak, pasti akan ketemu. Apalagi dengan integrasi nomor KTP jadi NPWP, komplit sudah. Ditjen Pajak jadi mahakuasa, para pengemplang pajak tak bisa ngumpet lagi. Mereka kini bahkan lebih hebat dari debt collector!

Saya ragu harus bangga atau tidak dengan kecanggihan Ditjen Pajak Sekarang. Soalnya, satu setengah dekade lalu, saya menyaksikan sendiri bagaimana Dirjen Pajak waktu itu, Darmin Nasution sungguh kesal dengan performa anak buahnya. Hanya urusan restitusi/pengembalian pajak saja lamanya minta ampun, bisa bertahun-tahun. Belakangan saya berani bersumpah, pelayanan Ditjen Pajak sudah jauh berubah. Pengalaman pribadi mengajukan restitusi kurang dari dua bulan!

Itulah sedikit dari buah reformasi pajak yang telah berhasil luar biasa sejak dicanangkan 2014. Ada 16 inisiatif strategis untuk perpajakan; intinya adalah transformasi kelembagaan. Hasilnya tidak mengecewakan, terjadi perubahan radikal dari tahun ke tahun dimana pelayanan Pajak yang mudah dan nyaman, diakui dimana-mana, di dunia; IMF, Bank Dunia, OECD dan lain sebagainya. Sejumlah data juga membuktikan perubahannya nyata, misalnya jumlah pembayar pajak.

Hanya saja ekstensifikasi pajak sebagai buah reformasi itu masih belum berhasil gemilang pada penerimaan pajak. Bahkan, alih-alih membaik, indikator kunci tax ratio justru menurun. Rasio pajak adalah ukuran yang menggambarkan kemampuan kantor pajak sebuah negara memungut pajak dalam aktivitas ekonomi, dalam hal ini memakai produk domestik bruto (PDB). Semakin besar angkanya semakin bagus.

Rasio pajak Indonesia tahun lalu hanya 10,41%, cenderung merosot dalam 20 tahun terakhir. Di Asia Pasifik Indonesia hanya lebih baik dari Laos. Ini berarti, Ditjen Pajak masih tidak optimal dalam memungut pajak di tengah laju ekonomi yang lumayan tinggi. Sebagai acuan, rata-rata rasio pajak negara anggota OECD di atas 30%, sementara negara berkembang rata-rata sebesar 27%. Indonesia malah masuk kategori rata-rata rasio pajak negara terbelakang, 10%.

Kalau reformasi aparatur pajak sudah benar, mengapa persepsi saya malah memburuk, mengapa pula penerimaan pajak jauh dari kata ideal? Apa yang salah sih?

Pada tahun 1983, David Copperfield, pesulap dunia membuat geger dengan aksi membuat Patung Liberty hilang sama sekali. Ini sama sekali tidak masuk akal, tapi bisa. Apa yang dia lakukan sebenarnya? Sangat sederhana; patung itu ditutupi oleh layar besar yang diletakkan di depan penonton.

Seluruh penerangan monumen dimatikan kecuali lampu sorot. David menciptakan ilusi ruang hampa, dan himpunan lampu membutakan penonton. Tadaaa! Dan semua percaya Liberty hilang.

Yesss, it's a matter of perception. Reformasi Ditjen Pajak selama ini masih berhenti pada dirinya sendiri. Saya menemukan bukti konkrit atas jawaban dari pertanyaan mengapa reformasi birokrasi perpajakan kurang memberi hasil konkrit penerimaan saat menelaah kembali dokumen reformasi birokrasi Kemenkeu. Ini malah ditunjukkan sendiri oleh desain reformasi yang rupanya hanya sebatas mereformasi diri.

Ada logika yang kurang tepat bahwa, ending dari reformasi (tampak pada puncak atap di gambar bawah) adalah pelayanan publik yang baik akan menghasilkan goal kepercayaan publik meningkat.

Konsep reformasi birokrasi Kemenkeu 2014Foto: Kemenkeu
Konsep reformasi birokrasi Kemenkeu 2014

Apakah dengan pelayanan pajak yang baik, kepercayaan publik membaik orang-orang otomatis akan membayar pajak? Tidak! Kalapun iya, korelasinya sedikit dan tidak langsung. Ini berbeda misalnya dengan apakah bila pelayanan pembuatan SIM dan KTP diperbaiki akan semakin banyak orang mendaftar? Jawaban pasti iya. Kenapa? Karena SIM dan KTP adalah kebutuhan, sementara pajak adalah kewajiban. Jauh panggang dari api.

Ini dapat diartikan reformasi perpajakan yang disemai tujuh tahun lalu masih jauh dari tujuan utama, meningkatkan penerimaan pajak. Reformasi masih setengah badan, hanya setengah jalan, sebatas organisasi pemungut pajak, tapi belum sampai pada reformasi persepsi masyarakat terhadap pajak. Perlu reformasi lanjutan dengan tujuan amat sederhana, membalikkan persepsi pajak dari kewajiban menjadi kebutuhan, atau paling tidak kesukarelaan.

Seharusnya, reformasi masyarakat ini dimulai seiring sejalan dengan organisasi Ditjen Pajak, sehingga hasilnya bisa lebih cepat dan maksimal. Tapi tidak ada kata terlambat, ada sejumlah langkah yang bisa dimulai dengan mudah. Ada pijakan kuat bahwa sebenarnya, sejatinya Ditjen Pajak itu lebih tepat disebut Robin Hood, tokoh dalam cerita rakyat seorang bangsawan Inggris yang menjadi musuh Sheriff of Nottingham melawan pejabat yang korupsi untuk kepentingan rakyat.

Tentu ini tidak mengajak memposisikan wajib pajak sebagai orang jahat, tak mau berbagi rezeki seperti pada dongeng Robin Hood. Bukan pula mengunggulkan citra Ditjen Pajak dengan menjatuhkan imej wajib pajak, tetapi lebih kepada memperkenalkan, mengkampanyekan filosofi arti penting eksistensi organisasi Ditjen Pajak dalam sebuah tatanan hidup sebuah negara kepada khalayak ramai, khususnya wajib pajak.

Ini lebih kepada jawaban sebuah pertanyaan menarik dari Charles Tilly. "Meskipun kita merasa seperti layaknya dirampok oleh pemerintah dengan berbagai alasan yang kita sendiri tidak tahu maksudnya, namun mengapa kita dan para leluhur kita masih tetap harus membayar pajak?" dalam buku The New Fiscal Sociology: Taxation in Comparative and Historical Perspective, Cambridge University Press.

Bagi para pemikir ekonomi, pajak adalah alat vital pengejawantahan redistribusi pendapatan sumber daya ekonomi. Ia adalah obat paling mujarab menyempurnakan prinsip efisiensi alokasi sumber daya ekonomi pada ideologi kapitalis murni versi Adam Smith. Pajak merupakan mekanisme donor darah dalam sistem sosialis, dan menemukan momentum nya pada Depresi Besar dunia pada 1936 yang melahirkan solusi mujarab sistem ekonomi campuran karya JM Keynes. Pajak adalah senjata utama welfare state, sangat cocok dengan negara Pancasila macam Indonesia.

Idealnya, bahwa pajak adalah pahlawan Robin Hood pemberantasan miskin, dan bahkan teman orang kaya dan menengah yang bila sudah tersentuh hatinya akan dengan sukarela dan sukacita meminta tolong untuk mengumpulkan dan membagikan sebagian penghasilannya untuk orang yang lebih berhak. Idealnya begini, dan seperti ini pula harapan saya, dan saya yakin banyak wajib pajak yang lain. Hal ini ada buktinya, yakni anomali penerimaan pajak di masa pandemi.

Rupanya penerimaan pajak bisa naik dalam situasi ekonomi susah akibat pandemi Covid-19. Ini dapat ditafsirkan, adanya kerelaan wajib pajak membayar pajak karena mengetahui ada banyak di sekeliling mereka yang jauh tidak beruntung, terutama memahami pemerintah dalam situasi sulit, demikian juga sebagian masyarakat yang terkena PHK dan usahanya bankrut.

Ada saja alasan pajak waktu itu naik gara-gara harga komoditas naik, tapi faktanya jumlah kenaikan pajak dari sumber daya alam, termasuk batu bara yang menjadi primadona tidak seberapa dibandingkan kenaikan secara total. Ditambah pada saat pandemi rasio pajak justru meningkat dari 8% menjadi 10%.

Sayangnya, ini belum terjadi. Perkawinan silang gagasan sosialisme pajak dan kapitalisme borjuis Keynesian masih dipakai dalam kerangka akumulasi modal, dimana negara berperan tutur serta memacu laju ekonomi dengan pendekatan anggaran defisit/surplus, ekspansi/kontraksi.

Pendek kata, perlu sebuah reformasi dan mungkin revolusi persepsi publik bahwa Ditjen Pajak adalah agen sosialisme yang mengemban tugas mulia mengikis kebengisan dampak kapitalisme dalam aktivitas ekonomi. Membantu orang-orang yang berpunya, menyalurkan empati kepada saudara sebangsa yang kurang beruntung, sekaligus tentu saja mendemonstrasikan dengan tepat cost and benefit perpajakan.

 

Rebalancing Imej Budgeter dan Regulerend

Mengapa imej, persepsi Ditjen Pajak lebih melekat pada debt collector, dari pada sifat hakikinya sebagai Robin Hood? Ini karena desain tak maksimal strategi komunikasi pada kebijakan-kebijakan perpajakan. Kalau dalam kacamata hukum, rupanya Kemenkeu lebih memilih pendekatan retributive justice (hukuman) dibandingkan restorative justice (akomodatif) untuk menegakkan hukum pajak di tengah masyarakat.

Ditjen Pajak sengaja diperankan sebagai aktor antagonis daripada protagonis. Lebih baik memukul daripada merangkul. Bahwa, selama ini setiap kebijakan pajak baru, mulai dari ekstensifikasi dan intensifikasi pajak selalu terkesan sebagai upaya pemerintah memenuhi pundi-pundi penerimaan negara dan menekan defisit atau utang. Bukannya membuat orang makin taat bayar pajak, tapi malah takut dan tertekan. Ini adalah persepsi pajak dalam fungsi budgeter.

Frasa 'pajak untuk pembangunan' sebagai alat untuk mewujudkan Pancasila sila Kelima; Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia tampak masih tertinggal, terkubur dengan imej pemerintah butuh uang saja. Padahal frasa ini mewakili pajak dalam fungsi regulerend atau mengatur, yakni gunanya menerapkan pajak dalam bidang sosial dan ekonomi di masyarakat. Ini yang penting. Ini yang ditunggu. Ini yang bisa menyentuh hati dan mengubah persepsi debt collector menjadi Robin Hood di masyarakat tentang sosok Ditjen Pajak.

Ada banyak contoh bagaimana Ditjen Pajak, dan umumnya Kementerian Keuangan luput memanfaatkan, atau riding the wave sisi positif dari setiap kebijakan pajak yang dikeluarkan. Misalnya pajak pengenaan pajak baru pada fasilitas atau barang yang diterima karyawan, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Intinya, pemberian apapun selain gaji yang diterima pekerja akan dikenai pajak.

Sepintas aturan ini tentu wajar membuat para wajib pajak pribadi marah. Kondisi susah, katanya resesi malah kenikmatan lain selain gaji juga dipajaki. Padahal, dalam perhitungannya, pajak ini mengubah komponen biaya pada perusahaan tempat karyawan bekerja, sehingga otomatis menjadi insentif pengurangan pajak. Bagaimana bila, diksinya diubah; Hey, Ditjen Pajak kasih insentif baru buat perusahaan, sehingga bila usaha sehat dan gaji Anda akan naik nanti. Ini yang digembar-gemborkan, baru kemudian mekanisme pemajakannya, lagi pula tidak semua fasilitas karyawan akan dikenai pajak.

Hal yang sama juga berlaku pada kebijakan subsidi relaksasi Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang Ditanggung Pemerintah (PPnBM) atau diskon PPnBM 100%. Kontan ini wajar membuat masyarakat, khususnya yang baru mampu membeli roda dua marah dan cemburu. Ini jelas kebijakan tak bermutu, selain mengurangi penerimaan negara, juga men-stigma pemerintah hanya memikirkan orang yang mampu, yakni 23 juta pemilik mobil pribadi-data Polri. Mereka hanya, 8% dari total populasi. Betapa marahnya para pembayar pajak bila uang mereka digunakan untuk hal ini.

Tujuan stimulan ekonomi tak muncul, karena disajikan sebatas jargon pejabat bahwa industri otomotif sedang sekarat. Tidak digembar-gemborkan bukti apalagi ilustrasi faktual yang bisa membuat para pembayar pajak memahami sulitnya situasi. Bahwa, misalnya, kebijakan ini bukan ditujukan menolong konglomerat otomotif, tetapi perekonomian nasional. Sebab, otomotif menyumbang 4% dari PDB. Lagi pula, dengan hanya modal Rp 3 triliun, ada dampak ganda ekonomi senilai Rp 19 triliun dari kebijakan ini.

Jadi, sebelum kebijakan pajak baru yang berdampak pada berkurangnya kenikmatan masyarakat banyak dirilis, harus didahului dengan kampanye manfaat, dan urgensi nasional dengan ilustrasi nyata dan konkrit, bukan sekedar asumsi tanpa data. Perlu background lengkap, agar publik mafhum. Ini mirip seperti sales asuransi produk unit-link yang menutupi beban premi, dengan tabel ilustrasi keuntungan setiap tahun atau setelah 10 tahun ke depan. Mirip membujuk anak kecil untuk minum obat yang pahit, dengan menceritakan bagaimana enaknya bermain bila sehat nanti.

Mengubah persepsi publik tentang eksistensi pajak tidak mudah. Ini sama sekali tidak bisa dibebankan kepada Ditjen Pajak semata, karena memang tupoksi-nya hanyalah sebagai pelaksana atau eksekutor pemungut. Reformasi pajak publik, tidak bisa sekedar reformasi pada level Ditjen Pajak semata. Betul, itu adalah bagian paling penting, namun untuk mengubah imej publik dibutuhkan goodwill pada level di atasnya, yakni Menteri Keuangan dan bahkan Presiden.

Ini karena reformasi persepsi pajak lebih melibatkan pencitraan output hasil pungutan pajak, which is, ada di direktorat lain dan bahkan lebih luas lagi di kementerian/lembaga lain. Yakni, tentang ketepatgunaan dana pajak. Namun, paling tidak bisa dimulai dari lingkup Kementerian Keuangan, dengan membuat sinergi dan harmonisasi Ditjen Pajak dan Ditjen Perbendaharaan Negara, sebagai kasir negara.

Contoh konkritnya, Kemenkeu harus terbuka merilis informasi setiap bulan, atau bahkan setiap pekan berapa banyak duit pajak yang dikeluarkan Ditjen Perbendaharaan. Berapa dan untuk apa? Bagaimana manfaat dan efek spiral yang akan dapat dirasakan masyarakat. Mudahnya, ini cuma analisis cost and benefit semata. Betul, dalam beberapa kesempatan sudah dipamerkan Menteri Sri Mulyani di akun Instagram dan Facebook, dan website resmi Kemenkeu dengan jargon Pajak Untuk Negeri. Namun, kebanyakan masih berupa 'hard campaign' misalnya uang pajak buat bangun jembatan, sekolah dalam bentuk foto dan grafis, dan lain-lain.

Itu bukan "soft campaign" karena gagal menunjukkan efek langsung maupun tidak langsung bagi masyarakat yang terdampak. Publik disuruh berandai-andai sendiri manfaat jembatan, jalan tanpa ada indikator manfaat yang jelas. Kampanye lembut yang diperlukan untuk mengubah persepsi publik baiknya justru tidak dilakukan pelaku, atau Kemenkeu. Justru dilakukan pihak lain, entah itu konsultan komunikasi, media, atau pemangku kebijakan lain.

First Things To Do

Ekonom etik Joseph A. Schumpeter berkata; "Spirit sebuah bangsa, tingkat budaya, struktur sosial, dan sejarah perkembangan kebijakannya, seluruhnya adalah terekam pada sejarah perpajakan yang dimilikinya. Mereka yang paham dengan hal ini akan mampu menemukan kilatan peradaban bangsa tersebut yang lebih terang dibanding sumber mana pun." (The Economics of Sociology of Capitalism, Princeton University Press).

Saya sendiri belum begitu yakin spirit pajak sebagai elemen penting peradaban bangsa Indonesia, menyentuh setiap aspek kehidupan bernegara sudah tertanam di benak 40 ribu PNS Ditjen Pajak. Dugaan saya, sejauh ini mereka masih sibuk mereformasi diri sebagai tukang pungut, dan bangga anti suap karena remunerasi yang tinggi. Ini tampak pada fokus program yang masih berkutat pada penyederhanan, kemudahan pelayanan perpajakan. Ini penting betul, tapi tidak cukup.

Ide sepintas dari banyak ide tersedia yang paling penting dilakukan sebagai langkah awal untuk mereformasi persepsi pajak publik adalah menduplikasi, memperbanyak "Kemenkeu Justice Warrior" Yustinus Prastowo, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis. Sosoknya yang kadang garang dan lembut, melawan opini publik yang melintir dan misleading di media sosial penting untuk mengimbangi dan memunculkan opini dan persepsi yang sehat.

Namun, usulan saya lebih dari itu. Butuh Prastowo-Prastowo lain yang bukan berlabel Kemenkeu, atau Ditjen Pajak. Level bahasa dan diksi, serta lingkupnya pun berbeda-beda sesuai dengan target publik yang hendak di sasar. Untuk hal ini, saya sampai sekarang heran, mengapa Ditjen Pajak atau Kemenkeu kurang menjalin komunikasi, dan sinergi mendalam dengan dua organisasi besar keagamaan islam, NU dan Muhammadiyah.

Ditjen Pajak melewatkan kesempatan untuk bisa efektif mendongkrak citra dan penerimaan pajak dari ulama. Ekstensifikasi dan intensifikasi dimaknai secara keras, sebatas program-program kerja, tanpa melibatkan pihak lain. Padahal, jumlah nahdliyin itu mencapai 95 juta, sementara Muhamadiyah bisa 60 juta orang. Belum lagi organisasi keagamaan dan sosial lain yang seperti MUI, Gereja, perkumpulan Tionghoa, dan ormas pendidikan dan kepemudaan lainnya. Total penduduk Indonesia 270 juta!

Level kampanye di tataran organisasi ini bukan dengan tagline "membayar pajak sekarang mudah lho!", tapi lebih pada pemahaman filosofis pajak, sebab itulah yang bisa mengubah pemahaman dan lalu persepsi. Bila persepsi pembayar pajak sudah berubah, maka perilaku dan ketaatannya ikut berubah. Bila pajak sudah menjadi kerelaan dan kebutuhan, maka sesulit apapun cara membayar pajak akan dimaklumi. Seperti pemuda yang sedang kasmaran saja. Seperti orang bikin SIM dan KTP.

Kesimpulan saya pada studi literatur tentang pajak; Komparasi Fiskal Ilmu Ekonomi Modern dan Ilmu Ekonomi Islam, 2004 menemukan ada problem besar dimana sebagian besar umat muslim Indonesia yang masih menganggap pajak adalah kewajiban dari negara, atau bahkan paksaan dari negara. Konsep ini tidak salah, dan memang begitu definisi ilmu pajak. Apalagi, kesimpulan ini menemukan yurisprudensi sejarah islam, dimana Khulafaur Rasyidin menggunakan pajak sebagai disinsentif pada kaum kafir agar memeluk islam.

Pendeknya, non muslim yang dianggap kafir dzimmi dan kafir harbi, dikenakan pajak secara secara progresif, agar mereka menyerah dan memeluk islam. Setelah muslim, mereka bebas pajak dan hanya dikenai zakat. Pemaknaan pajak sebagai barang haram ini salah kaprah hingga sekarang, sebab pada saat itu dipakai karena kondisi Islam yang masih pada fase penyebaran awal. Kebijakan ini disalahpahami oleh sejumlah aliran, seperti salafi-wahabi bahwa pajak haram, atau bekerja di Ditjen Pajak juga haram.

Padahal, kebijakan fiskal Khalifah Abu Bakar Cs pada waktu itu memang lebih berfungsi regulerend, dari pada budgeter. Ini masalah siyasah atau politik praktis semata, bukan fiqih muamalah saklek. Buktinya, setelah era khalifah empat berakhir emperium islam menggunakan pajak sebagai instrumen resmi untuk membiayai negara dan pembangunan. Ini tidak terelakkan karena jumlah muslim sudah banyak, sehingga penggunaan zakat tidak cukup lagi mengcover belanja negara.

Upaya rasionalisasi zakat sebagai pengganti pajak telah buntu, dan menurut saya sia-sia untuk diteruskan. Sebab, dalil orang penerima zakat adalah ayat muhkamat atau jelas yakni QS at-Taubah: 60. Studi saya menyimpulkan, sebagaimana beberapa sarjana muslim moderat berpijak, zakat adalah fiskal sosial yang bisa bergandeng tangan dengan fiskal negara (pajak) untuk menyejahterakan umat. Ini sudah dilakukan sejak lama, yakni dengan mengakomodasi pembayaran zakat sebagai pengurang perhitungan pajak (Pasal 22 UU 23/2011), namun seharusnya tidak berhenti pada sinergi pemungutan, tetapi juga sinergi pengeluarannya, sasaran penerima manfaat.

Jadi Kemenkeu perlu mengajak rembuk para intelektual muslim, agama, suku dan kelompok lain untuk merumuskan dan mengkampanyekan filosofi pajak. Bahwa, pajak adalah instrumen 'tangan' Tuhan yang dititipkan kepada Ulil Amri (pemimpin) guna mendistribusikan kekayaan Tuhan dari yang kaya ke yang miskin. Bila konsep ini bisa diterima dengan lapang dada maka kampanye pajak bukan lagi program pemerintah, melainkan  sudah menjadi agenda dakwah-lillah.

 

Kanal Komunikasi & Kemudahan Layanan

Mengubah persepsi publik soal pajak tidak akan mudah. Ini dalam ilmu jurnalisme setaraf kesulitannya dengan adagium bahwa sebuah berita yang baik untuk mengubah sifat buruk penguasa adalah dengan diksi dan cara yang pedas tapi yang dikritik membacanya sambil tertawa. Itu butuh skill level dewa.

Selain tokoh Key Opinion Leader alias KOL agama, masih banyak yang perlu dirangkul oleh Ditjen Pajak. Mulai dari media arus utama, selebritas politik, influencer media sosial, dan lain sebagainya. Intinya, seperti mengikuti strategi para penjual produk investasi, bisa menyarukan bayar pajak sebagai bagian gaya hidup. Ditjen Pajak perlu menciptakan kanal-kanal baru komunikasi yang dapat menyampaikan pesan penting pajak kepada khalayak.

Dalam strategi komunikasi, apa yang disampaikan sama pentingnya dengan cara menyampaikan. Percuma saja, hal baik disampaikan dengan cara buruk, karena hal buruk saja bisa dipersepsikan baik bila dikemukakan dengan cara efektif, ini kata teori propaganda. Ini pernah dipakai Adolf Hitler. Merangkul influencer itu seyogyanya tidak hanya sebatas ritual penyerahan SPT tahunan, seperti dilakukan pejabat hingga presiden, namun juga mampu membunyikan manfaat pajak lewat 'mulut' mereka.

Hal yang perlu diteruskan adalah penyempurnaan prinsip self assessment pajak. Ini tampaknya sudah dilakukan, dengan berbagai program mulai dari penggunaan NIK sebagai NPWP hingga mengubah cara penghitungan berdasarkan beban pertanggungan dan tarif, menjadi lapisan contoh konkrit bayar pajak sesuai kombinasi kondisi membayar pajak. Kita tunggu hasilnya.

Usulan lebih lanjut untuk hal ini adalah penggunaan media sebagai klinik murah dan gratis tentang tata cara membayar pajak. Dengan persebaran yang luas, petunjuk teknis membayar pajak amat diperlukan menjelang deadline pelaporan SPT tahunan, baik korporasi maupun pribadi. Faktanya, melaporkan SPT atau setor pajak bulanan itu, maaf seperti toilet umum. Seharusnya mudah ditemui dimana-mana, bersih dan gratis saat hajat tiba. Perlu panduan otoritatif dari Ditjen Pajak mulai dari tulisan, grafis, video tentang detail cara menghitung, membayar dan melaporkan pajak secara online dengan bahasa dan gaya rakyat jelata, bukan bahasa dewa.

Jangan serahkan penafsiran regulasi perpajakan kepada swasta. Kasihan rakyat, sudah suruh bayar,  agar bisa patuh saja harus bayar konsultan juga. Reformasi perpajakan level hilir (masyarakat) perlu didorong dengan semangat mengubah persepsi tentang jawaban mengapa banyak pensiunan pegawai Ditjen Pajak menjadi konsultan pajak? Karena pajak itu ruwet dan njlimet.

(mum/mum)
Opini Terpopuler
    spinner loading
Artikel Terkait
Opinion Makers
    z
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading