Muhammad Maruf
Muhammad Maruf

Penulis adalah Kepala Riset CNBC Indonesia. Menyelami jurnalistik sejak 1999 dengan pengalaman di media digital-cetak nasional dan internasional. Mendalami penelitian makroekonomi dan pasar sejak 2020, dan aktif bicara tentang uang, psikologi dan kehidupan di twitter @muhruf. Opini tidak mewakili kebijakan dan sikap CNBC Indonesia.

Profil Selengkapnya

Flexing Anak Pejabat Pajak dan Cermin Apatisme Rakyat

Opini - Muhammad Maruf, CNBC Indonesia
23 February 2023 22:48
Buntu Panjang Kasus Rubicon PNS Pajak, Sri Mulyani Marah Besar Foto: Buntu Panjang Kasus Rubicon PNS Pajak, Sri Mulyani Marah Besar

Ada seloroh yang sepintas memuji ASN Pajak, tapi sebenarnya cermin apatis masyarakat terhadap perpajakan di Indonesia. Begini; kalau mau tahu di komplek atau daerah anda itu ada rumah PNS pajak, lihat berapa jumlah dan seberapa megah masjidnya. Kalau banyak dan megah-megah berarti disitu memang banyak orang pajak tinggal.

Silahkan pikirkan sendiri, mana bagian memuji dan bagian satir-nya. Yang pasti korelasi 'ASN sultan' dengan perpajakan sekarang kembali mencuat gara gara ulah pria berusia 22 tahun-ada yang bilang 20 dan 25 tahun-berinisial MDS, anak Rafael Alun Trisambodo yang bekerja sebagai Kepala Bagian Umum Kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Selatan II.

Putra Rafael ini diduga melakukan penyiksaan terhadap seorang remaja hingga koma tidak sadarkan diri. Rumitnya lagi, korban ini adalah anak dari seorang penggiat GP Ansor, sayap pemuda NU, yang sampai sampai Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas men-tweet"Anak kader, anakku juga. Catat ini!" di atas foto korban penganiayaan. Menteri Yaqut adalah juga pimpinan GP Ansor.

Seperti api di sambar bensin, perburuan netizen sampai pada akun medsos MDS yang gemar flexing-pamer kekayaan-diantaranya mobil jeep Rubicon yang dipakai untuk menjemput korban, dan lanjut pada fakta hubungan keluarga MDS dengan Rafael. Klop sudah, sempurna untuk menambah lagi bukti kuat mengapa masyarakat wajar apatis terhadap reformasi di lingkungan Ditjen Pajak. Sudah arogan, kaya raya, petugas pajak pula.

Paling tidak setelah 'bom atom' Gayus Halomoan Partahanan Tambunan atau biasa dikenal sebagai Gayus Tambunan, memporak-porandakan wajah Ditjen Pajak. Polanya sama, arogansi yang membuat publik geram, bagaimana dulu dengan rambut palsu Gayus yang masih dalam status tahanan bisa menyaksikan pertandingan tenis Commonwealth Bank Tournament of Champions 2010 di Bali. Tentu masih hangat di ingatan bagaimana halte bus depan kantor pusat Ditjen Pajak dijuluki kenek metromini sebagai 'halte gayus'.

Wajah Muram Pajak di Mata Rakyat

Satu komentar dari kolega saya terkait kasus ini singkat dan padat; jadi makin malas lapor SPT, buat apa?Kolega saya ini bukan tidak mau bayar, dia rajin bayar pajak, tetapi kasus ini membuat ia merasa kehilangan relevansi harus melapor pada institusi yang citranya buruk. Citra Pajak sudah 12-12 dengan kepolisian pasca kasus Sambo. Sudah tukang tagih, eh, keluarganya suka pamer kekayaan, dan terbukti memang kaya sekali.

Harta kekayaan Rafael yang cuma eselon II itu setara dengan pucuk pimpinan Kementerian Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang untuk mendapatkannya sampai perlu menjadi 'TKW' di Bank Dunia. Pola masyarakat memandang aparatur negara itugebyah uyah, mengenelasir, seperti misalnya, kalau Gayus yang pangkatnya saja III saja bisa kaya raya begitu ya wajar sih yang lebih tinggi kaya juga. Yang lebih parah lagi, asumsi ini ditudingkan ke semua ASN pajak.

Betul kiranya komentar pertama Ditjen Pajak Suryo Utomo bahwa ulah setitik rusak susu sebelanga, dimana kasus Rafael ini mencoreng muka 45 ribu ASN pajak. Tapi saya ragu, benarkah Rafael ini cuma setitik. Saya menduga banyak sekali Rafael-Rafael lain yang dengan relasi kuasanya sangat mudah memperoleh kekayaan. Saya tidak punya bukti, tapi saya menduga Rafael hanya sebuah puncak gunung es.

Bukankah akan lebih mudah bagi aparatur yang dengan kekuatan super bisa mudah membongkar kekayaan orang, untuk menyembunyikan hartanya sendiri. Contoh saja Rafael, mobil jeep Rubicon dan Harley Davidson anaknya tak tercatat di LHKPN. Jadi selama ini, Menkeu Sri Mulyani mungkin bisa menskrining orang-orang dekatnya, selevel dirjen tetapi bagaimana dengan eselon III dan II dan I?

Dari kasus Gayus dan Rafael patut diduga kebocoran ada pada level paling bawah. Level ASN yang justru melayani hari-hari dengan wajib pajak. Ini membuktikan bahwa reformasi perpajakan juga belum sepenuhnya menyentuh level bawah, masih pada perbaikan sistem perpajakan tetapi belum menyentuh level personal di arus bawah. Betul bahwa ikan busuk dimulai dari kepalanya, tetapi yang terjadi di Ditjen Pajak itu busuk ada di tubuh dan ekornya.

Kasus Rafael sekali lagi menambah beban kebutuhan Ditjen Pajak mereformasi persepsi publik tentang perpajakan di Indonesia. Bahwa kemudian Kementerian Keuangan lebih memilih jalur paksa untuk menaikkan rasio pajak dan setoran pajak adalah sah semata, karena pajak memang bersifat memaksa. Namun, ini adalah upaya yang lebih berat dibandingkan kampanye humanis yang menyentuh kesadaran membayar pajak.

Dirjen Pajak sudah sangat cekatan dengan menerbitkan Surat Edaran Nomor SE-05/PJ/2022 Tahun 2022 tentang Komite Kepatuhan. Tugas komite ini berfungsi merencanakan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan peningkatan kepatuhan Wajib Pajak pada tingkat Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Alangkah baiknya, komite ini memiliki landasan filosofis kerja sebagai teman wajib pajak dari pada polisi wajib pajak.

Lebih dari itu hal yang kurang dari komite ini adalah seharusnya berani memeriksa petugas pajak yang tindak tanduknya merugikan pajak secara kelembagaan. Maksudnya, komite juga mengemban tugas sebagai polisi rahasia yang mengawasi, memata-matai tindak tanduk keseharian ASN pajak.

Ia mengemban tugas inspektorat, mirip seperti tim khusus Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP atau UKP4) yang pernah dibikin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengawasi kerja kementerian tempo dulu. Ini penting dan saya kira akan efektif.

Penguatan inspektorat sangat diperlukan untuk meminimalisir kejadian seperti Gayus dan Rafael, dimana pengawasan tidak berhenti pada kinerja ASN, tetapi menelisik ke dalam hingga gaya hidup. Kalau petugas pajak saja dengan seenaknya bisa memburu wajib pajak dari unggahan medsos, mengapa mereka tumpul untuk melakukannya pada aparatnya sendiri?

Pembuktian Terbalik

Siapa bilang ASN pajak tidak boleh kaya? Punya jeep Rubicon, Alphard, hingga Harley Davidson? Punya duit Rp50 miliar untuk pensiun. Tidak fair mengatakan mereka, sebagaimana buruh negara menikmati hasil kerja untuk mendapatkan gaya hidup yang menyenangkan. Hitungan tim financial plan CNBC Indonesia Research, seorang ASN Pajak bisa saja memiliki barang-barang mewah itu, dengan skema investasi yang pas.

Yang tidak boleh adalah mendapatkannya itu dengan cara relasi kuasa, suap, korupsi dan sebagainya. Tentu saja boleh seorang anak orang kaya bekerja di Ditjen Pajak. Namun, yang tidak beretika adalah mengumbarnya itu ke publik. Untuk itu, parameter paling adil untuk mengukurnya adalah nilai kewajaran. Wajarkah seorang ASN pajak memiliki harta sekian.

Ide bekas Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama patut untuk didengungkan ulang. Yakni pembuktian terbalik, dimana ASN, khususnya Pajak yang memang mendapatkan remunerasi jumbo reformasi kelembagaan Kementerian Keuangan harus membuktikan dari mana asal kekayaan yang mereka miliki. Ini perlu diinformasikan ke publik.

Selama ini kewajiban pembuktian terbalik masih diterapkan pada kasus tindak pidana korupsi, pada pasal Pasal 37, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ada baiknya, semangat pasal ini diterapkan pada kewajiban LHKPN, sehingga publik tidak bertanya-tanya mengapa harta seorang pejabat bisa sebesar itu.

Penerapan pembuktian terbalik harta kekayaan ASN akan efektif mencegah penyelewengan kekuasaan, karena mempersempit ruang yang bersangkutan untuk menyembunyikan hasil kejahatan. Kasus Sambo membuktikan, bagaimana dengan mudahnya aparat penegak hukum mengakali LHKPN yang sudah merupakan langkah bagus namun pasif.

Bukankah selama ini wajib pajak juga sudah diminta untuk mengungkapkan harta dan asal duit mereka di SPT, mengapa hal yang sama tidak dilakukan, dan seharusnya lebih mendalam diterapkan kepada aparat pajak. Dengan begini, reformasi perpajakan akan lebih menyentuh level bawah, dan semua lapisan aparat tanpa menunggu ada kasus seperti Rafael.

Bila ada tikus di lumbung padi tentu tidak harus membakar lumbungĀ itu. Hanya perlu menutup lubang-lubang potensi tikus bisa masuk. Salam.

(mum/mum)
Opini Terpopuler
    spinner loading
Artikel Terkait
Opinion Makers
    z
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading