
Mohammad Akbar merupakan peneliti komunikasi dari Nexus Risk Mitigations and Strategic Communications. Ia juga merupakan salah satu penulis buku "Public Relations Crisis" yang menjadi rujukan berbagai pihak di bidang komunikasi. Sebelumnya, lulusan Institut Pertanian Bogor dan Universitas Budi Luhur, bekerja sebagai jurnalis di PT Republika Media Mandiri selama 21 tahun. Setiap opini yang ditulis tidak mewakili institusi tempat penulis bekerja.
Profil SelengkapnyaMario Dandy, Kekuatan Warganet, dan Ancaman Reputasi

Bukan sekali dua saja, aksi warga dunia maya (warganet) mampu memberikan tekanan perubahan. Ketika hukum berjalan lambat maka suara dari warganet kerap kali menjadi mesin penggerak dalam menyuarakan keadilan.
Sepekan ini, aksi kicauan warganet berbunyi nyaring dalam menghangatkan kabar pemukulan yang dilakukan oleh remaja bernama Mario Dandy Satrio kepada David Latumahina. Sosok Dandy ini ternyata memiliki magnitude yang sangat besar.
Pertama, remaja berusia 20 tahun ini memiliki gaya hidup mewah dan pamer kekayaan seperti aksinya menggunakan mobil Rubicon dan motor besar Harley Davidson lewat sosial media miliknya. Di sini, Dandy telah mempertontonkan ketimpangan ekonomi dengan sebagian besar penduduk negeri ini yang masih banyak terbelit dengan persoalan kemiskinan.
Kedua, ayah Dandy ini ternyata seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bernama Rafael Alun Trisambodo. Aset kekayaan milik orang tua remaja pemukul ini membuat publik tercengang karena dinilai tak wajar dengan gajinya sebagai Kepala Bagian Umum DJP Kanwil Jakarta Selatan II.
Ketiga, David, bocah mualaf berusia 17 tahun yang menjadi korban pemukulan Dandy, ternyata memiliki ayah yang aktif di sebuah organisasi massa (ormas) kepemudaan Muslim terbesar di negeri ini. Artinya, Dandy telah menambah besar musuhnya di komunitas tertentu.
Buntut dari ulah Dandy ini ternyata masih berkepanjangan. Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo turut bersuara. Keduanya geram karena usaha keras yang dilakukan institusi kas negara untuk membangun reputasi dan citra positif itu justru dicoreng dengan adanya peristiwa ini.
Warganet pun mengingatkan lembaran kelam yang pernah dilakukan oleh eks pegawai kantor pajak bernama Gayus Tambunan. Gayus dan ayah Dandy mengalami nasib serupa harus angkat kaki dari institusi mereka.
Sayangnya, sentimen negatif sudah lebih dulu meningkat terhadap kinerja dirjen pajak. Apalagi institusi ini dalam belakangan waktu terakhir sedang agresif memungut berbagai macam jenis pajak kepada publik Indonesia namun institusi gagal dalam menegakkan aturan taat pajak kepada aparatnya sendiri.
Ini dibuktikan setelah warganet membongkar informasi bahwa mobil Rubicon yang dipamerkan oleh anak pejabat pajak pemukul itu masih menunggak alias belum bayar pajak serta ratusan ASN pajak yang masih belum taat menjalani kewajibannya.
Dalam kasus ini, tak hanya ayah Dandy yang di doxing oleh warganet. Ibundanya yang memiliki rumah makan di Yogyakarta tak luput dari serangan warganet di dunia maya. Landing page rumah makan yang dapat ditemukan melalui mesin pencari itu langsung diberikan bintang satu. Artinya, semakin sedikit jumlah bintangnya maka makin rendah tingkat kepercayaan publik.
Lalu jauh hari sebelum ulah Dandy, kekuatan warganet juga sudah terlihat digdaya. Salah satu aksi warganet yang paling happening terjadi pada pengujung tahun lalu. Suara warganet ini sukses mendorong institusi Polri untuk secara serius menangani kasus polisi tembak polisi dengan lakon utamanya adalah Ferdy Sambo yang saat itu menjabat sebagai kepala Divisi Propam Polri.
Selanjutnya, kicauan warganet juga menghiasi daftar trending topic saat aksi arogan remaja pengguna mobil Fortuner merusak mobil Brio di Senopati, Jakarta Selatan. Pengguna Fortuner itu ternyata masih remaja dengan latar belakang orangtuanya sebagai lawyer yang sedang menangani kasus besar belakangan ini.
Gerakan massa secara virtual ini membuktikan bahwa suara publik tak selamanya dapat difilterisasi atau ditiadakan oleh penguasa maupun kaum pemilik modal. Algoritma digital telah memberi kesempatan kepada warganet untuk membuat suaranya tetap terdengar.
Luapan cuitan warganet ini menjadi semacam oase di saat saluran komunikasi media arus utama dinilai sudah bias kepentingan dan tak lagi bersikap independen dalam menjalankan fungsinya sebagai salah satu pilar demokrasi.
Bahkan, kecepatan kerja warganet ini seolah melebihi kemampuan kerja intelijen dalam mengumpulkan informasi penting. Di sini, semua hal yang berkaitan dengan sebuah isu negatif yang sedang trending, maka warganet akan gerak cepat (gercep) untuk memenuhi rasa kepo atau ingin tahu. Dalam ranah ilmu psikologi, rasa kepo ini digambarkan sebagai "dorongan menuju kesadaran yang lebih baik."
Hal itu merupakan naluri alami yang dimiliki setiap diri manusia yang selalu ingin mencari informasi.
Sementara dalam ilmu komunikasi, kemampuan dan kecepatan warganet dalam menyuarakan isu atau peristiwa, telah menempatkan fungsinya sebagai media kritis. Dalam hal ini warganet telah menjadikan dunia maya sebagai agen sosial untuk mempengaruhi masyarakat secara luas.
Lalu dalam konteks pesan, warganet memiliki dua peran, yakni sebagai penerima sekaligus pembentuk pesan. Warganet sebagai pembentuk pesan bisa dilihat dari percakapan yang diklusterisasi ke dalam keyword atau tagar. Klusterisasi pesan inilah yang kemudian menjelma sebagai 'Tuhan' dalam bentuk trending topic.
Ketika trending itu muncul, maka media akan mencomotnya sebagai rujukan bahan pemberitaan. Di saat berita terbentuk maka amplifikasi yang disampaikan melalui sosial media, kemudian diterima sebagai pesan oleh warganet. Inilah bentuk evolusi terhadap pola pembentukan pesan di era komunikasi digital.
Dengan mekanisme kerja seperti itu maka warganet menjadi salah satu kekuatan penting untuk membentuk opini maupun persepsi publik. Di sinilah tantangan besar bagi pekerja komunikasi, lebih khususnya lagi bagi para pelaku industri public relations, untuk mengoptimalkan kekuatan yang dimiliki warganet untuk menjalankan fungsinya sebagai protect (melindungi) dan promote (mempromosikan).
Tren meningkat
Pengaruh kicauan warganet ini tentunya akan semakin menguat seiring dengan tren pengguna internet yang setiap tahun terus meningkat di Indonesia. Laporan We Are Social mencatat, jumlah pengguna internet di Indonesia telah mencapai 212 juta pada Januari 2023 atau sekitar 77% dari populasi penduduk Indonesia. Dibanding tahun sebelumnya, peningkatan jumlah pengguna internet itu mencapai 3,85%.
Lantas dari populasi pengguna internet aktif itu, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengungkap bahwa kelompok usia produktif adalah mayoritas pengguna layanan ini. Kelompok tersebut terbagi menjadi usia 13-18 (99,16%) dan usia 19-34 (98,64%). Lalu dari sebaran wilayah, hampir semua wilayah Indonesia sudah merasakan konektivitas internet. Data APJII mengungkap pengguna internet terbanyak masih didominasi oleh penduduk yang bermukim di Pulau Jawa.
Mengacu data tersebut maka sudah sewajarnya untuk menjadikan warganet sebagai salah satu kekuatan terbesar di negeri ini. Ketika kekuatan besar ini bisa digunakan secara baik tentunya manfaat yang dirasakan akan semakin berkah buat lingkungan dan negeri ini. Sebaliknya ketika kekuatan warganet disalahgunakan menjadi suara-suara agigatif dan provokatif, tentunya hal itu bisa menjadi ancaman buat semua.
Sekali lagi, inilah peluang sekaligus tantangan bagi industri public relations untuk mengelola kekuatan warganet. Sebagai kekuatan nyata di era digital, warganet bisa menjadi kekuatan dalam memproteksi maupun mempromosikan citra dan reputasi untuk menjadi lebih baik. Ketika warganet sudah gercep bertindak maka mindset kerja praktisi PR pun harus bersikap progresif dalam membentengi citra dan reputasinya untuk merespons aksi-aksi kritis dari warganet.
Aktivitas kerja public relations di era digital bukan lagi sekadar menunggu adanya event atau kegiatan untuk kemudian dibangun narasi atau pesan. Tetapi kinerja public relations di era digital ini diwujudkan dengan melahirkan investasi narasi positif secara masif. Dalam hal ini, kerja public relations sudah mengarah pada bentuk kerja preventif (pencegahan) ketimbang kuratif (penyembuhan) untuk menghadirkan narasi atau pesan komunikasi yang ingin dibentuk.
Ketika preventive PR sudah berjalan dan bekerja, maka rasa julid atau sikap kritis warganet itu bukan lagi menjadi sebuah ancaman. Meski ancaman itu tak boleh diabaikan namun cara kerja preventive PR itulah yang kelak menjadi obat penawar untuk menghadapi sikap kritis warganet +62.
![]() |