
Irvin Avriano A
Jurnalis merangkap analis yang kembali ke media dengan diawali dari kerinduannya menulis. Saat ini fokus pada rubrik investasi bermodal sepucuk lightsaber merah dan ilmu sejarah, serta sejumput pengalaman di koran ekonomi berbahasa Indonesia terbesar dunia serta sekuritas lokal ternama.
Profil SelengkapnyaObligasi Filipina Vs Obligasi Indonesia, Mana Lebih Menarik?
09 January 2019 12:59

Jakarta, CNBC Indonesia - Menilik hasil penerbitan obligasi global Filipina kemarin yang sukses mendapatkan pendanaan US$ 1,5 miliar (setara Rp 21,12 triliun) dengan kupon 3,75%, kita tentu bertanya apa bedanya dengan obligasi global Indonesia yang baru diterbitkan pada Desember.
Kala itu, pemerintah dibebani kupon 4,45%-5,35% senilai total US$ 3 miliar dalam tiga seri yaitu RI0224, RI0229, dan RI0249, dengan rerata bunga yang harus dibayarkan pemerintah kepada investornya adalah 4,85%.
Melihat sekilas bunga obligasi global kedua negara tentu menimbulkan pertanyaan di benak orang Indonesia tentang bunga obligasi lebih tinggi yang harus dibayarkan pemerintah Indonesia dibanding Filipina.
Untuk memahami kondisi tersebut secara lebih komprehensif, kita perlu melihat lebih dekat struktur pasar obligasi dulu, terutama pasar obligasi denominasi domestik yang memang lebih ramai dibandingkan dengan pasar obligasi global.
Di pasar obligasi Indonesia, surat utang negara (SUN) seri 10 tahun memiliki yield sebesar 7,84% per penutupan hari ini, lebih tinggi daripada yield instrumen sama di Filipina sebesar 6,9%.
Selain itu, negara lain dari mulai Singapura, Thailand, China, Malaysia, dan India juga memiliki yield yang lebih rendah daripada Indonesia, yang juga menjadi cerminan inflasi yang lebih rendah karena yield juga mencerminkan harga, kupon obligasi, dan risiko termasuk inflasi.
Keterangan: *) data terkini
Sumber: Refinitiv
Meskipun demikian, inflasi Filipina yang terlihat tinggi saat ini yaitu 5,1% dibanding 3,13% turut membuat dahi mengerenyit.
Mengapa? Karena di negara dengan tingkat inflasi tinggi, investor berekspektasi mendapatkan yield yang lebih tinggi dari itu agar keuntungannya tidak termakan inflasi.
Lalu mengapa ekspektasi tersebut tidak terjadi dalam kasus ini? sebaiknya kita melihat lebih jauh ke belakang yaitu selama 10 tahun terakhir.
Inflasi, Salah Satu Faktor Inti Obligasi
Dari penarikan data yang lebih panjang itu, inflasi Filipina ternyata lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia dan dengan volatilitas yang relatif lebih kecil ayunannya.
Filipina pernah mengalami inflasi sampai ke 10,5% pada Agustus 2008, dan mengalami titik terendah yaitu deflasi -0,4% pada September 2015 sehingga keduanya memiliki rentang 10,9%.
Di sisi lain, Indonesia pernah mengalami inflasi tertinggi dengan laju 18,38% pada 30 November 2005 dan pernah mengalami deflasi -1,17% pada 31 Maret 2000 sehingga membentuk rentang yang hampir dua kali lipat Filipina yaitu 19,55%.
Ternyata, dari negara-negara berkembang tersebut, rentang inflasi Indonesia turut menjadi yang tertinggi dibandingkan dengan negara lain, hanya kalah dari Rusia yang sempat mengalami inflasi tinggi mencapai 36,5% pada akhir 1999.
Sumber: Refinitiv
Dari kedua data itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa stabilnya inflasi turut memengaruhi ekspektasi risiko pada suatu negara, yang biasanya langsung tercermin dari kondisi yield di instrumen di pasar surat utangnya dan dari peringkat utangnya.
Selain itu, dapat kita lihat juga bahwa saat SUN rupiah pemerintah masih menawarkan real interest rate yang menarik bagi investor asing, hanya di bawah India, Brasil, dan Rusia, sehingga masih tetap menarik meskipun risikonya masih sangat layak diterima investor global.
Real interest rate adalah return yang dapat diterima investor dari sebuah instrumen setelah dikurangi tingkat inflasi.
Risiko Indonesia yang memang lebih tinggi dibandingkan dengan Filipina juga dapat dilihat dari credit default swap (CDS) kedua negara.
CDS adalah efek derivatif yang menjadi lindung nilai (hedging) atas sebuah obligasi pemerintah.
Terlihat bahwa CDS Indonesia juga masih lebih besar daripada negara-negara berkembang lain yang memiliki peringkat utang lebih tinggi daripada pasar obligasi merah putih.
Hal ini tentu tidak lepas dari faktor sebuah instrumen kunci lain.
Ya, faktor itu adalah faktor rupiah.
Mata uang garuda yang jika menguat tentu akan menguntungkan investor asing yang sudah atau ingin membeli SUN di pasar domestik.
Nilai rupiah inilah yang harus tetap dijaga volatilitasnya dan diperjuangkan bersama serta mengawal supremasinya ketika investor global sedang mempermainkan mata uang garuda.
"It's not so unusual to run out of someone's else currency," ujar ekonom Jeffrey Sachs.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dru)
Kala itu, pemerintah dibebani kupon 4,45%-5,35% senilai total US$ 3 miliar dalam tiga seri yaitu RI0224, RI0229, dan RI0249, dengan rerata bunga yang harus dibayarkan pemerintah kepada investornya adalah 4,85%.
Melihat sekilas bunga obligasi global kedua negara tentu menimbulkan pertanyaan di benak orang Indonesia tentang bunga obligasi lebih tinggi yang harus dibayarkan pemerintah Indonesia dibanding Filipina.
Untuk memahami kondisi tersebut secara lebih komprehensif, kita perlu melihat lebih dekat struktur pasar obligasi dulu, terutama pasar obligasi denominasi domestik yang memang lebih ramai dibandingkan dengan pasar obligasi global.
Di pasar obligasi Indonesia, surat utang negara (SUN) seri 10 tahun memiliki yield sebesar 7,84% per penutupan hari ini, lebih tinggi daripada yield instrumen sama di Filipina sebesar 6,9%.
Selain itu, negara lain dari mulai Singapura, Thailand, China, Malaysia, dan India juga memiliki yield yang lebih rendah daripada Indonesia, yang juga menjadi cerminan inflasi yang lebih rendah karena yield juga mencerminkan harga, kupon obligasi, dan risiko termasuk inflasi.
Negara | Yield 10yr 8 Jan 2019 (%) | Inflation* (%) | Real Interest Rate (%) | Rating S&P | CDS (bps) |
Brasil | 9.18 | 4.05 | 5.13 | BB- | 183.15 |
Afrika Selatan | 8.77 | 5.2 | 3.57 | BB | 208.81 |
Rusia | 8.64 | 3.8 | 4.84 | BBB- | 145.51 |
Indonesia | 7.84 | 3.13 | 4.71 | BBB- | 135.11 |
India | 7.506 | 2.33 | 5.176 | BBB- | 80.35 |
Filipina | 6.905 | 5.1 | 1.805 | BBB | 88.71 |
Malaysia | 4.079 | 0.2 | 3.879 | A- | 108.48 |
China | 3.153 | 2.2 | 0.953 | A+ | 66.8 |
Amerika Serikat | 2.694 | 2.2 | 0.494 | AA+ | 20.45 |
Thailand | 2.56 | 0.36 | 2.2 | BBB+ | 46.82 |
Singapura | 2.237 | 0.3 | 1.937 | AAA | - |
Sumber: Refinitiv
Meskipun demikian, inflasi Filipina yang terlihat tinggi saat ini yaitu 5,1% dibanding 3,13% turut membuat dahi mengerenyit.
Mengapa? Karena di negara dengan tingkat inflasi tinggi, investor berekspektasi mendapatkan yield yang lebih tinggi dari itu agar keuntungannya tidak termakan inflasi.
Lalu mengapa ekspektasi tersebut tidak terjadi dalam kasus ini? sebaiknya kita melihat lebih jauh ke belakang yaitu selama 10 tahun terakhir.
Inflasi, Salah Satu Faktor Inti Obligasi
Dari penarikan data yang lebih panjang itu, inflasi Filipina ternyata lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia dan dengan volatilitas yang relatif lebih kecil ayunannya.
Filipina pernah mengalami inflasi sampai ke 10,5% pada Agustus 2008, dan mengalami titik terendah yaitu deflasi -0,4% pada September 2015 sehingga keduanya memiliki rentang 10,9%.
Di sisi lain, Indonesia pernah mengalami inflasi tertinggi dengan laju 18,38% pada 30 November 2005 dan pernah mengalami deflasi -1,17% pada 31 Maret 2000 sehingga membentuk rentang yang hampir dua kali lipat Filipina yaitu 19,55%.
Ternyata, dari negara-negara berkembang tersebut, rentang inflasi Indonesia turut menjadi yang tertinggi dibandingkan dengan negara lain, hanya kalah dari Rusia yang sempat mengalami inflasi tinggi mencapai 36,5% pada akhir 1999.
(%) | Filipina | Indonesia | Brazil | Rusia | India | Malaysia | China | Singapura |
Inflasi (deflasi) terendah | -0.4% | -1.17 | 2.4559 | 2.2 | 0.4662 | -2.4 | -1.8 | -1.6 |
Inflasi tertinggi | 10.5 | 18.38 | 17.2358 | 36.5 | 16.1142 | 8.5 | 8.7 | 7.6 |
Rentang | 10.9 | 19.55 | 14.7799 | 34.3 | 15.648 | 10.9 | 10.5 | 9.2 |
Dari kedua data itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa stabilnya inflasi turut memengaruhi ekspektasi risiko pada suatu negara, yang biasanya langsung tercermin dari kondisi yield di instrumen di pasar surat utangnya dan dari peringkat utangnya.
Selain itu, dapat kita lihat juga bahwa saat SUN rupiah pemerintah masih menawarkan real interest rate yang menarik bagi investor asing, hanya di bawah India, Brasil, dan Rusia, sehingga masih tetap menarik meskipun risikonya masih sangat layak diterima investor global.
Real interest rate adalah return yang dapat diterima investor dari sebuah instrumen setelah dikurangi tingkat inflasi.
Risiko Indonesia yang memang lebih tinggi dibandingkan dengan Filipina juga dapat dilihat dari credit default swap (CDS) kedua negara.
CDS adalah efek derivatif yang menjadi lindung nilai (hedging) atas sebuah obligasi pemerintah.
Terlihat bahwa CDS Indonesia juga masih lebih besar daripada negara-negara berkembang lain yang memiliki peringkat utang lebih tinggi daripada pasar obligasi merah putih.
Hal ini tentu tidak lepas dari faktor sebuah instrumen kunci lain.
Ya, faktor itu adalah faktor rupiah.
Mata uang garuda yang jika menguat tentu akan menguntungkan investor asing yang sudah atau ingin membeli SUN di pasar domestik.
Nilai rupiah inilah yang harus tetap dijaga volatilitasnya dan diperjuangkan bersama serta mengawal supremasinya ketika investor global sedang mempermainkan mata uang garuda.
"It's not so unusual to run out of someone's else currency," ujar ekonom Jeffrey Sachs.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dru)