Diplomasi Mineral, Strategi Indonesia Menuju Kepemimpinan Energi

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Akselerasi pertumbuhan industri keuangan berkelanjutan (sustainable finance) di seluruh dunia ditandai dengan meningkatnya partisipasi investor ritel dalam investasi
bertema lingkungan, sosial, dan tata kelola (environmental, social, and governance/ESG).
Berdasarkan data Global Sustainable Investment Alliance, kontribusi sustainable funds milik investor individu tercatat sebesar 25% dari aset industri keuangan berkelanjutan global di tahun 2020, meningkat dibandingkan porsi pada tahun 2016 yang sebesar 20%.
Perkembangan ini tidak lepas dari tren sustainable consumption dan green consumerism yang menurut Kumari dkk. (2022) dipicu oleh kesadaran konsumen untuk
mengevaluasi dampak gaya hidup dan konsumsi mereka pada kondisi lingkungan dan sosial.
Kecenderungan naiknya minat investor ritel dalam investasi berkelanjutan dapat dimanfaatkan oleh pemerintah dengan lebih gencar menawarkan instrumen investasi
Surat Berharga Negara (SBN) ritel bertema ESG.
Sejauh ini, Kementerian Keuangan telah meluncurkan instrumen investasi bertema "hijau" kepada segmen individu melalui produk Green Sukuk Ritel yang penggunaan dananya diarahkan untuk mendanai proyek bertema lingkungan.
Namun, dengan meningkatkan volume penerbitan SBN ritel bertema ESG, pemerintah dapat "sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui", yakni memperbesar basis investor ritel lokal sekaligus mengembangkan industri keuangan berkelanjutan tanah air.
Terdapat beberapa hal yang dapat menunjang pengembangan produk SBN ritel bertema ESG.
Pertama, relaksasi penggunaan dana hasil penerbitan Surat Utang Negara (SUN) yang terdapat dalam Omnibus Law Sektor Keuangan (UU Nomor 4 Tahun 2023) dipercaya dapat memfasilitasi pemerintah untuk lebih kreatif dalam menawarkan produk SBN ritel bertema tertentu yang penggunaan dananya tidak hanya terbatas pada proyek bertema "hijau", namun dapat diselaraskan pula dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals).
Sebagai ilustrasi, pemerintah dapat menerbitkan instrumen SBN ritel bertema sosial ataupun kesejahteraan masyarakat yang dananya diarahkan secara langsung untuk membiayai proyek pengentasan kelaparan, kesetaraan gender, dan infrastruktur pendidikan.
Kemudian, peran SBN ritel dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintah memang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Tahun lalu, total penjualan
SBN ritel tercatat sebesar Rp 107 triliun atau sekitar 23% dari defisit APBN 2022. Rasio penerbitan terhadap defisit APBN tersebut tercatat meningkat dibandingkan tahun sebelumnya (13% di 2021) atau di masa pra-pandemi (14% di 2019).
Di tahun 2023, pemerintah bahkan menargetkan penerbitan SBN ritel sampai sebesar Rp 150 triliun yang merepresentasikan 25% dari target defisit APBN 2023 yang sebesar Rp 598 triliun. Peningkatan volume penerbitan SBN ritel juga diikuti dengan solidnya pertambahan jumlah investor baru.
Data KSEI menunjukkan bahwa jumlah investor SBN pada bulan Juli 2023 tercatat sebesar 929 ribu investor, atau dua kali lipat dibandingkan jumlah investor SBN pada akhir tahun 2020.
Tak kalah penting, pemerintah dapat memanfaatkan tren meningkatnya kesadaran masyarakat untuk melakukan konsumsi secara bertanggung jawab
(responsible consumption). Riset Statista (2022) menunjukkan bahwa dari 10.886 responden tanah air, 79% responden bersedia untuk membayar lebih mahal atas produk dengan label berkelanjutan.
Selain itu, studi BCG dan Sampingan (2022) juga menunjukkan bahwa mayoritas warga Indonesia dari kalangan kelas menengah relatif familiar dengan isu terkait dan dampak dari perubahan iklim. Tren sustainable consumption di kalangan masyarakat ini diharapkan dapat memberikan efek positive spillover pada pola perilaku investasi mereka.
Di sisi lain, terdapat beberapa tantangan bagi pemerintah untuk menggenjot penerbitan SBN ritel bertema ESG.
Pertama, investor ritel dapat saja memiliki persepsi greenwashing di mana terdapat asumsi bahwa label ESG yang ditawarkan tak lebih dari sekedar klaim dan gimmick pemasaran. Beberapa studi terkait perilaku investor ritel di pasar modal menunjukkan bahwa tingginya persepsi greenwashing dimaksud dapat berdampak negatif pada minat pemodal untuk membeli instrumen investasi bertema "hijau".
Kemudian, berdasarkan survei OJK tahun 2022, tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia, khususnya literasi atas produk pasar modal masih menjadi yang
terendah apabila dibandingkan dengan pemahaman atas produk keuangan lain seperti produk perbankan, asuransi, pegadaian, atau dana pensiun.
Relatif rendahnya tingkat literasi ini dikhawatirkan dapat menjadi sandungan bagi investor dalam memahami karakteristik produk investasi bertema ESG. Bahkan, investor dapat berperilaku resistance terhadap penawaran produk bertema ESG jika mereka menganggap instrumen tersebut terlalu rumit untuk dipahami, baik karakteristik maupun manfaatnya.
Selanjutnya, meskipun secara teori investor diharapkan bersedia menerima tingkat keuntungan yang lebih rendah dari produk bernuansa sosial dan lingkungan
dibandingkan dengan produk tradisional, berbagai riset (misal: Larcker & Watts, 2020) menunjukkan bahwa efisiensi biaya (greenium) yang dicapai penerbit instrumen relatif terbatas.
Hal ini terlihat dari tidak adanya perbedaan signifikan antara return yang diminta investor untuk produk bertema "hijau" maupun konvensional. Kita tentu tak
bisa menafikan sifat dasar investor sebagai "economic man" di mana motif profit tetap menjadi salah satu faktor utama dalam berinvestasi.
Untuk memitigasi risiko persepsi greenwashing, pemerintah dapat membangun trust investor dan industri keuangan dengan memberikan informasi yang transparan,
khususnya yang terkait dengan penggunaan dana hasil penerbitan SBN ritel bertema ESG serta dampak apa yang telah dihasilkan oleh penggunaan dana tersebut.
Mengutip Strauss dkk. (2023), investor ritel cenderung memiliki minat investasi yang lebih tinggi pada produk keuangan bertema ESG apabila mereka sadar bahwa dana yang mereka investasikan memberikan perbedaan yang nyata pada upaya seperti mitigasi efek perubahan iklim atau mengurangi ketimpangan sosial.
Untuk meningkatkan literasi masyarakat atas produk keuangan berkelanjutan, pemerintah dapat bekerja sama dengan penyedia jasa keuangan dan media untuk membangun engagement investor dengan isu-isu seperti pemanasan global, deforestasi, serta ketimpangan akses pendidikan dan kesehatan merupakan masalah yang nyata di sekitar investor dan membutuhkan penanganan segera.
Dalam hal engagement telah terbentuk, pemerintah dapat mengkampanyekan bagaimana investor memiliki peluang untuk meraih keuntungan finansial serta turut berpartisipasi dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan dan sosial bersama-sama dengan pemerintah melalui investasi di produk SBN ritel bertema ESG.
Seiring meningkatnya trust, literasi atas produk investasi bertema ESG, dan persepsi positif investor atas dampak penggunaan dana yang mereka tanamkan, investor
ritel secara perlahan dapat menurunkan ekspektasi return dari instrumen SBN ritel bertema ESG. Hal ini dapat terjadi mengingat keuntungan yang sifatnya non-finansial, seperti persepsi positif atas dampak investasi pada lingkungan dan sosial dapat mengkompensasi return finansial yang diharapkan.
Dengan demikian, tujuan pemerintah untuk memperdalam pasar keuangan domestik dan mengembangkan industri keuangan berkelanjutan diharapkan dapat tercapai dengan biaya yang lebih efisien.