Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Saat kontrak karya II diteken antara Freeport dan RI, divestasi saham sebesar 51% sebenarnya sudah tercantum di situ.
Tapi, sudah ganti 5 kali presiden dan berjalan lebih dari seperempat abad kata divestasi hampir setara dengan mimpi.
Divestasi artinya menyerahkan kepemilikan saham sebanyak 51% ke pemerintah Indonesia. Negosiasi digelar beberapa kali tapi kerap buntu di persoalan ini.
Tahun 2009 niat divestasi kembali hadir dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Beleid ini kemudian menjadi dasar Indonesia merongrong divestasi Freeport, atas nama kedaulatan negara.
Semestinya divestasi bisa rampung di 2014, tapi lagi-lagi, sulitnya negosiasi membuat aturan dilonggarkan. Caranya adalah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 yang kemudian direvisi setiap tahun, sampai 2017 juga masih revisi.
Tahun 2014, begitu Jokowi terpilih sebagai Presiden RI, divestasi Freeport menjadi salah satu janji politiknya. Ia seakan masa bodo dengan kendala yang dialami pemimpin terdahulu, pokoknya sebelum 2019 dan masa jabatannya kelar, divestasi Freeport juga sudah harus selesai. Pokoknya.
Tak percuma Jokowi ngotot, karena Freeport melunak dan bersedia divestasi pada 2016. Bahkan saat itu sudah hampir keluar tawaran harga dari Freeport McMoran dengan nilai US$ 1,7 miliar. Tidak hanya soal harga, skema divestasi dengan cara melepas saham ke lantai bursa (IPO) juga sempat dipertimbangkan.
Tapi polemik kembali terjadi, ada perubahan struktur di tubuh Freeport McMoran selaku induk PT Freeport Indonesia. Kesepakatan yang dicapai oleh pemerintah dengan Chairman Freeport James Moffet, mentah begitu saja saat Richard Adkerson naik sebagai CEO.
Surat panjang lebar dikirim Richard untuk pemerintah Indonesia di 2017, isinya menolak semua usulan divestasi dan menganggap pemerintah melanggar kesakralan kontrak karya.
Negosiasi akhirnya seperti iklan pom bensin, dimulai dari nol.
Kali ini dengan strategi lebih matang agar siap secara sistem maupun pendanaan. Pemerintah, pada November 2017, membentuk induk BUMN Tambang yang bernaung di bawah Inalum.
Sejak November tahun lalu hingga saat ini negosiasi tak berhenti dilancarkan. Tiga menteri ditunjuk Presiden Jokowi sebagai penanggungjawab aksi ini yakni Menteri ESDM, Menteri Keuangan, dan Menteri BUMN. Inalum, nantinya bergerak sebagai eksekutor.
Lobi-lobi dilancarkan kedua belah pihak untuk mendapat kata sepakat. RI ingin menguasai, Freeport tak ingin rugi dan hilang kendali.
Rencana sudah matang, tapi tiba-tiba ada kejutan dari tambang Grasberg. Belakangan, publik baru tahu ternyata ada saham partisipasi sebesar 41% milik Rio Tinto di tambang emas Papua. Skema divestasi jadi semakin kompleks.
Direktur Utama PT Inalum (Persero) Budi Gunadi Sadikin mengaku pengambilalihan 51% saham PT Freeport Indonesia (PTFI) semakin kompleks karena harus melibatkan Rio Tinto.
Berbicara di sela rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR, Budi menyatakan pengambilalihan saham sebesar 51% itu sudah menjadi mandat Inalum. "Realitas kepemilikan saham PTFI cukup kompleks karena keterkaitan pihak lain. Kalau mau ambil 51%, ya harus melibatkan pihak-pihak ini," tuturnya.
Pemerintah memiliki 9,36% saham di PT Freeport hasil dari proses divestasi tahun 1967. Untuk mencapai target divestasi 51%, salah satu strategi pemerintah adalah dengan membeli hak partisipasi Rio Tinto di Tambang Grassberg PT Freeport Indonesia di Timika, Papua.
Valuasi Semula, valuasi nilai saham partisipasi Rio Tinto di tambang PT Freeport Indonesia ditaksir tak jauh beda dengan hitungan yang dilakukan oleh berbagai lembaga internasional, yakni senilai US$ 3,3 miliar atau setara dengan Rp 44,5 triliun.
Penghitungan nilai ini dilakukan oleh HSBC, Credit Swiss, Morgan Stanley, dan yang paling terbaru adalah Deutsche Bank. "Deutsche Bank itu adalah salah satu indikator yang bagus," kata Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin.
Budi juga menyebut ada tujuh bank yang telah siap untuk berpartisipasi memberi pinjaman kepada perseroan untuk mengakuisisi hak partisipasi (participating interest/PI) Rio Tinto sebesar 40% di PT Freeport Indonesia.
Dia belum dapat merinci bank-bank tersebut, namun dipastikan bank tersebut berasal dari dalam dan luar negeri. Salah satu yang dia rasa akan dipilih adalah bank asal Jepang karena penetapan bunga yang rendah.
[Gambar:Video CNBC] Dengan segala kesiapan itu, tadinya pemerintah bilang divestasi bakal selesai April 2018. Masuk bulan Mei, divestasi ternyata tak ada kabar. Divestasi terkunci karena Freeport masih setengah hati.
Setengah hati di sini karena di balik ikhlasnya Freeport melepas 51% saham ke Indonesia, mereka tetap belum rela kehilangan kendali di tambang dengan kontribusi emas terbanyak untuk Freeport McMoran itu.
Ya, Freeport mau divestasi asal kontrol masih di tangan mereka. Yurisdiksi yang mereka gunakan adalah seperti Exxon di Blok Cepu, meski bukan pemegang saham mayoritas tapi ditetapkan sebagai operator blok oleh pemerintah.
Di sini pemerintah dan Freeport belum bertemu. Jika dapat divestasi tapi kendali ada di Freeport, maka perjalanan 27 tahun jatuh bangun ini akan sia-sia. Ibarat menikah tapi tidak serumah, buat apa?
Belum lagi, urusan nilai valuasi yang semakin tinggi. Terakhir menurut Menteri BUMN Rini Soemarno angkanya melebar ke Rp 57,6 triliun. "Ya tidak lebih dari kisaran US$ 3,5 miliar - US$ 4 miliar," tutur Rini kepada media saat dijumpai di sela acara halalbihalal di kediamannya.
Waduh, transaksi divestasi Freeport-RI ini, sudahlah si calon mempelai tak mau hidup rukun serumah, biaya meminangnya pun tinggi nian. Awal yang meragukan untuk terbentuk kerja sama yang sakinah, kerja sama yang tenang dan saling menghormati.
Tapi, lagi-lagi, Presiden Jokowi tak mau tahu. Ia minta seluruh negosiasi soal divestasi ini bisa selesai di bulan Juli. Tiga menteri pun harus kerja keras dalam pekan-pekan ini.
Jika negosiasi berhasil, mari berdoa semoga kesepakatan yang dicapai bisa tetap menjaga marwah negara dan banyak membawa kemaslahatan untuk bangsa ini. Amin.---
(dru)