Menerka Rencana Sang Presiden dalam Memilih 'The Next BI-1'

Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
05 February 2018 10:49
Herdaru Purnomo
Herdaru Purnomo
Fans Manchester United kelahiran 1987 yang mengawali karir sebagai Jurnalis pada tahun 2008 di desk Perbankan dan Ekonomi Makro, Harian Indonesia Business Today. Kemudian melanjutkannya karirnya di media online sebagai reporter dan kemudian sebagai redaktu.. Selengkapnya
Siapa 'The Next BI-1?'
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sang pemegang tahta tertinggi di seluruh Indonesia Raya tengah sibuk mencari sosok terbaik untuk memimpin Bank Indonesia (BI). Di awal tahun, Kepala Negara sudah harus mencari orang-orang yang memiliki kekuatan dan kapasitas untuk bisa menjaga stabilitas sistem keuangan karena habisnya masa kerja pucuk pimpinan Bank Indonesia.

Deputi Gubernur Perry Warjiyo dan Sang Gubernur itu sendiri, Agus DW Martowardojo, dua orang hebat yang dalam periode masa kepemimpinannya telah berhasil menjaga perekonomian Indonesia tetap dalam koridor stabil di tengah gejolak perekonomian dunia yang rentan terhadap 'shock' telah habis masanya.

Nama yang penulis sebut pertama merupakan seseorang yang sudah sangat paham akan asam garam sisi moneter, makroekonomi dan ke-banksentralan dengan sederet prestasi dan pengalaman di dalam tubuh bank sentral sendiri (silahkan lihat sepak terjang Perry Warjiyo di media ataupun buku-bukunya). 

Perry Warjiyo, didapuk sebagai Deputi Gubernur Bank Indonesia pada tahun 2013 lalu. Ia dilantik dan diambil sumpahnya sebagai Deputi Gubernur Bank Indonesia untuk masa jabatan 2013 – 2018, pada Senin, 15 April 2013, di gedung Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta. Pelantikan tersebut sesuai dengan Keputusan Presiden RI No.28/P Tahun 2013 tanggal 5 April 2013.

Perry telah melalui 'ujian' di DPR yang tidak hanya sekali dijalani untuk menjabat posisi tersebut sebelum menduduki posisi Dewan Gubernur. Cukup mengejutkan memang ketika pada 15 Januari 2018 kemarin, surat Presiden Joko Widodo lebih dahulu mengirimkan nama pengganti untuk Pria asal Sukoharjo yang ternyata tempat kelahirannya tak kurang dari 15 Km dari tempat sang Presiden sendiri. 

CNBC Indonesia menjadi media pertama yang melaporkan melalui kanal Breaking News surat kepada Pimpinan DPR yang berisi 3 nama pengganti Perry. Adalah Dody Budi Waluyo, Wiwiek Sisto Widayat, dan Doddy Zulverdi.

Nama Perry tidak muncul dalam surat tersebut. Padahal, Ia masih bisa menjabat satu Periode lagi masa kepemimpinan sesuai dengan Undang-undang Bank Indonesia, masa jabatan Dewan Gubernur selama 5 tahun dan dapat diangkat kembali dalam jabatan yang sama untuk sebanyak-banyaknya 1 kali masa jabatan berikutnya.

Sebelum menilik lebih jauh ketidakadaan nama Perry Warjiyo, senior yang memang dirasa masih pantas memimpin BI oleh para pegawai dan pejabat BI sendiri ini, mari melihat posisi dan kinerja dari sang Gubernur Agus Martowardojo terlebih dahulu.

Agus Martowardojo, pria kelahiran Amsterdam, Belanda yang belum lama berulang tahun akan habis masa kepemimpinannya pada Mei 2018. Nama penggantinya-pun harus dikirimkan Sang Presiden kepada DPR di akhir bulan Februari ini.

Jokowi sudah berujar pada pekan lalu dan sebelumnya bahwa dirinya masih memiliki waktu hingga pertengahan, bahkan akhir Februari untuk mengirimkan nama siapa yang akan memegang kursi terberat pengendali sistem moneter dan 'lender of the last resort' perbankan ini.

Dalam pekerjaannya, sang pemimpin BI memiliki tugas berat. BI mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain. 

Melihat tugas tersebut, satu-satunya tolak ukur terpenting bagaimana kinerja seorang Gubernur adalah melihat nilai tukar rupiah itu sendiri. CNBC Indonesia dalam riset yang baru saja diterbitkan mencatat nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak dalam volatilitas yang bisa dibilang cukup baik. Dibandingkan mata uang negara-negara kawasan, volatilitas nilai tukar Indonesia lebih rendah.

Mengutip data Reuters, Jumat (2/2/2018), dalam sebulan terakhir volatilitas rupiah adalah 3,89%. Volatilitas pergerakan rupiah lebih tinggi dibandingkan posisi tiga bulan dan setahun terakhir. Volatilitas rupiah dalam tiga bulan dan setahun terakhir masing-masing ada di 2,97% dan 3,01%.

Sementara ringgit Malaysia punya volatilitas yang lebih tinggi. Volatilitas ringgit terhadap dolar AS dalam sebulan terakhir adalah 4,55%, sementara pada tiga bulan dan setahun terakhir adalah 4,06% dan 3,12%.

Volatilitas yen Jepang lebih parah. Dalam sebulan terakhir, mata uang ini punya volatilitas 6,32%. Kemudian rata-rata volatilitas tiga bulan dan setahun terakhir adalah 5,46% dan 6,64%.

Volatilitas mata uang adalah pergerakan mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain. Pergerakan ini bisa menguat, bisa juga menurun. Selisih dari penguatan dan pelemahan itu yang disebut volatilitas.

Sepanjang 2017, volatilitas mata uang dunia memang agak tinggi. Pasalnya tahun lalu dolar AS seakan menjadi mata uang yang melemah sendirian sehingga banyak mata uang yang menguat terhadap greenback.

Pengendalian rupiah yang dianut BI dalam masa Kepemimpinan Agus Martowardojo menganut strategi 'dual intervention' juga seperti Darmin Nasution sang pencetus strategi tersebut (Baca buku Darmin Nasution / Bank Sentral Harus Membumi). Selain dari operasi moneter dengan menggelontorkan cadangan devisa, BI juga rajin untuk melalukan buyback di surat utang negara demi satu-satunya upaya menjaga nilai tukar tetap stabil. 

Instrumen suku bunga acuan pastinya, juga menunjukkan bagaimana kebijakan moneter BI dalam menghadapi gejolak. Kebijakan tight atau ketat, loose atau longgar, sampai neutral stance menjadi kata yang sering disebut dalam lima tahun terakhir. Dengan kekuatan dan keterbatasan instrumen, BI di bawah Agus Marto mampu dengan solid menahan laju inflasi dengan tepat sasaran.

Di bawah kepemimpinan Agus Martowardojo, Bank Indonesia memiliki program transformasi Bank Indonesia dan Ia menjadi pemimpin dalam mereformulasi kebijakan suku bunga acuan. Bank Indonesia melakukan penguatan kerangka operasi moneter dengan memperkenalkan suku bunga acuan atau suku bunga kebijakan baru yaitu BI 7-Day Repo Rate, yang berlaku efektif sejak 19 Agustus 2016. 

Tujuannya, yang semata-mata mencerminkan posisi BI dalam menentukan langkah dengan lebih realistis karena menentukan posisi bunga acuan pada 7 hari, lebih dekat dibanding BI Rate sebelumnya yang menggunakan acuan 12 bulan. Reformulasi kebijakan ini dipandang beberapa analis sebagai langkah jitu BI yang ingin menjadikan bunga acuan lebih efektif dalam menyeimbangkan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. 

Kinerja sang Gubernur yang dibantu Deputi Gubernur Senior Mirza Adityaswara dan Jajaran Deputi Gubernur lain termasuk Perry Warjiyo juga, bisa ditilik lebih jauh dalam Laporan Tahunan Bank Indonesia yang disampaikan kepada DPR. Salah satunya dengan mendirikan Departemen baru, Pengembangan Pasar Keuangan yang dipimpin oleh ahlinya, Nanang Hendarsah.

Dalam perjalanannya, Agus Marto sempat 'disentil' oleh beberapa pihak termasuk RI-2 yang ketika November 2015 lalu terang-terangan meminta BI untuk menurunkan suku bunga acuannya. Tak gentar, sang Gubernur tetap dengan label independen dan dengan integritasnya mengatakan Tidak! untuk saat tersebut karena kondisi global yang belum bisa diajak 'kompromi'. Lantas langkah tersebut disebut-sebut membuat BI yang notabene memang seharusnya independen menjadi seperti 'susah diatur'. Hal ini lumrah terjadi, bahkan di dunia, mengingat kepemimpinan Gubernur Bank Sentral AS The Fed Janet Yellen (sebelum Jerome Powell) yang tak begitu disukai Presidennya Donald Trump.

Seperti Yellen, Agus Marto pun tetap bergeming dan berupaya menggambarkan kondisi stabilitas dalam negeri sambil berujar akan ada waktunya bunga acuan turun atau naik sekalian. Toh ketika itu seakan-akan percuma menurunkan bunga acuan karena BI Rate sebelum di-reformulasi menjadi 7 day RR tak menunjukkan kondisi ril dari pergerakan suku bunga bank. 

Selain itu banyak juga dinamika yang terjadi di mana terlihat BI di bawah Agus Marto kerap berbeda pandangan dengan pemerintah. Seperti halnya dalam persiapan pelaksanaan IMF-World Bank Meeting 2018 di mana Indonesia jadi tuan rumahnya.

Kembali ke pemilihan Dewan Gubernur, baru diketahui (dan memang lazim) bahwa ketidakadaan nama Perry Warjiyo dalam surat Presiden ternyata atas dasar rekomendasi dari Agus Martowardojo sendiri. Karena untuk level Deputi Gubernur, nama yang dikirimkan Presiden ke DPR berdasarkan rekomendasi dari Gubernur BI dan sejak dahulu selalu dari internal BI.

"Semuanya mempunyai keahlian, kapabilitas, kapasitas, dan track record bahwa mereka adalah pejabat bank sentral yang mumpuni,” kata Agus kemarin, Jumat (2/2/2018).

Namun Ia tidak bisa menyebutkan alasan (tidak mungkin juga) kenapa seorang Perry Warjiyo tidak masuk dalam daftar tersebut. "Saya tidak bisa menjelaskan kalau soal itu,” ujar Agus menambahkan.

Atas hal tersebut, tercium sebuah aroma persaingan tersendiri antara Perry Warjiyo dan Agus Marto. Sebenarnya bisa saja Agus Marto menempatkan Perry kembali di posisi Deputi Gubernur, dan menutup kans Perry bisa melangkah lebih jauh (siapa yang tak ingin jadi BI-1?) Nampaknya ada dukungan lain, Perry pun disebut-sebut sebagai calon untuk menduduki posisi tertinggi di BI.

Melihat dinamika yang ada, akan semakin menarik siapa yang dicalonkan oleh Presiden. Nama Perry bisa saja ada dalam 'kantong celana' Presiden Jokowi untuk meneruskan tahta pimpinan BI. Tapi seorang Agus Marto dengan integritas tinggi yang kerap menjaga independensi BI juga tidak bisa dipandang sebelah mata.

Sumber penulis sendiri menyebut, pada Kamis (1/2/2018) kemarin, Presiden Jokowi bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution tengah membahas secara mendalam siapa calon-calon tersebut. Bertempat di Istana Negara sekitar pukul 10.00 WIB, pembahasan tersebut berlangsung.

Hanya Presiden dan Tuhan Yang Maha Esa mengetahui persis siapa yang akan dipilih Presiden untuk menjabat sebagai pemimpin di Thamrin.

Media-media lain sudah menyebut figur sang penerus Agus Marto dengan menggunakan kalimat 'kabar yang beredar' ataupun 'santer terdengar' nama pengganti Agus Marto yakni Mantan Menteri Keuangan era Presiden SBY, Chatib Basri yang disebut-sebut sebagai calon yang diajukan oleh Sri Mulyani sendiri dan Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro yang juga disebut-sebut diajukan oleh Menko Maritim Luhut Pandjaitan kepada Presiden untuk dipertimbangkan. Adapun figur Iskandar Simorangkir yang pernah di Bank Indonesia dan kini menjabat sebagai Deputi di Kementerian Koordinator bidang Perekonomian yang lagi-lagi disebut usulan dari Menko Perekonomian sendiri Darmin Nasution. Sah-sah saja. 

Menarik untuk dilihat lebih jauh siapa 'The Next BI-1' jika melihat penggawa ekonomi dan rising star dengan background cemerlang hanya 'itu-itu' saja. Kalau mau disebut beberapa, dan entah penulis yakin nama-nama tersebut di atas dan yang di bawah ini pasti ada dalam calon BI-1 jika Presiden mengirimkan lebih dari satu nama (bukan calon tunggal maksudnya). Seperti, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, Ketua Wantimpres Sri Adiningsih, jajaran petinggi di LPS ada Destry Damayanti, Halim Alamsyah, sampai Fauzi Ichsan. Muliaman Hadad sendiri sebagai eks Ketua Dewan Komisioner OJK pun terdengar dalam bisikan-bisikan. Karena memang 'itu-itu' saja. 

Kecuali memang ada figur lain yang bisa disebut netral dari kalangan bankir-bankir BUMN dan senior seperti DE Setijoso, Gunarni Soeworo, Anton Gunawan, Kartika Wirjoatmodjo dan Achmad Baiquni.

Nama siapa 'The Next BI-1' ini bisa ditunggu dalam beberapa hari ke depan. Layaknya reshuffle kabinet, intinya Presiden menginginkan adanya koordinasi yang baik antar keempat lembaga super power dalam mengontrol stabilitas sistem keuangan Indonesia memasuki tahun politik. Koordinasi solid wajib hukumnya di antara BI-Kemenkeu-OJK-LPS. 

Pak Presiden Jokowi, siapapun nantinya, semoga 'The Next BI-1' merupakan sosok yang benar-benar pantas, diterima pasar, dan mampu menyukseskan tujuan utama negara Indonesia yang terus berupaya menaikkan kesejahteraan masyarakat untuk lebih baik melalui pertumbuhan ekonomi dan kestabilan inflasi, bagaimanapun cara si Gubernur BI tersebut. 
(dru/aji)

Tags

Related Opinion
Recommendation