Netanyahu Warning Iran, Waspada "Armagedon" di Timur Tengah
Jakarta, CNBC Indonesia - Ketegangan antara Israel dan Iran kembali meningkat setelah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa negaranya tengah memantau secara ketat latihan militer yang sedang dilakukan Teheran. Pernyataan itu memicu kekhawatiran bahwa kesalahan kalkulasi atau salah tafsir dapat kembali menyeret kedua musuh lama tersebut ke dalam konflik terbuka.
Netanyahu mengatakan Israel sepenuhnya menyadari aktivitas militer Iran yang sedang berlangsung. Ia menegaskan negaranya tidak akan tinggal diam jika latihan tersebut berubah menjadi ancaman nyata.
"Kami mengetahui bahwa Iran sedang melakukan latihan militer," kata Netanyahu, dikutip dari Express, Selasa (23/12/2025).
"Kami memantau hal ini dan melakukan persiapan yang diperlukan. Saya ingin memperjelas kepada Iran, tindakan apapun terhadap Israel akan dihadapi dengan respons yang sangat keras."
Pernyataan tersebut muncul di tengah meningkatnya kewaspadaan aparat keamanan Israel terhadap kemungkinan serangan mendadak.
Laporan Axios menyebutkan bahwa Israel telah memberi tahu pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada akhir pekan lalu bahwa latihan rudal yang dilakukan Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) berpotensi menjadi persiapan serangan terhadap Israel.
"Peluang terjadinya serangan Iran kurang dari 50%, tetapi tidak ada yang bersedia mengambil risiko dan mengatakan ini hanya sekadar latihan," ujar seorang sumber Israel yang dikutip Axios.
Adapun ancaman pecahnya konflik kembali membesar seiring kekhawatiran bahwa salah komunikasi atau persepsi keliru mengenai kesiapan militer masing-masing pihak dapat memicu eskalasi yang tidak terkendali. Situasi ini memperkuat kekhawatiran internasional bahwa kawasan Timur Tengah kembali berada di ambang perang besar.
Netanyahu disebut-sebut akan berupaya mendapatkan dukungan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk melancarkan serangan pendahuluan terhadap kemampuan rudal Iran, sebelum Teheran mencapai target militernya. Namun, berbeda dengan situasi sebelumnya, AS kali ini dinilai mungkin tidak memiliki kapasitas yang sama untuk mendukung Israel secara penuh.
Meningkatnya ketegangan antara Washington dan Caracas terkait Venezuela dinilai telah menyerap perhatian dan sumber daya militer Amerika Serikat, sehingga berpotensi membatasi dukungan langsung bagi Israel jika konflik kembali pecah.
Ketegangan terbaru ini tak lepas dari konflik terbuka yang terjadi pada Juni lalu, ketika Israel melancarkan serangan terhadap fasilitas nuklir dan program rudal balistik Iran. Israel saat itu menyebut langkah tersebut sebagai respons terhadap ancaman yang dianggap segera dan bersifat eksistensial.
Serangan tersebut memicu 12 hari aksi saling serang udara yang menewaskan lebih dari 1.000 orang, menurut otoritas Iran. Sebagai balasan, Iran meluncurkan lebih dari 500 rudal balistik dan sekitar 1.100 drone ke wilayah Israel.
Otoritas kesehatan Israel mencatat serangan balasan itu menewaskan sekitar 32 orang dan melukai lebih dari 3.000 warga.
Di tengah meningkatnya tensi, Duta Besar Amerika Serikat untuk Israel, Mike Huckabee, menilai Iran belum sepenuhnya memahami pesan keras Washington saat konflik Juni lalu. Ia merujuk pada serangan udara Amerika Serikat terhadap fasilitas nuklir Iran di Fordow yang melibatkan pembom siluman B-2.
"Saya tidak tahu apakah (Iran) pernah benar-benar menganggap serius (Presiden AS Donald Trump) sampai malam ketika pembom B-2 menyerang Fordow," kata Huckabee pada Senin.
"Saya berharap mereka menangkap pesannya, tetapi tampaknya mereka tidak mendapatkan pesan sepenuhnya karena, seperti yang Anda sebutkan, mereka terlihat mencoba membangun kembali dan mencari cara baru untuk menggali lebih dalam serta mengamankannya," tambahnya.
(luc/luc)