MARKET DATA

Setoran Pajak Lesu, APBN Dalam Bahaya?

Arrijal Rachman,  CNBC Indonesia
17 December 2025 12:20
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan pesan Presiden Prabowo setelah pelantikan di Istana Negara, Jakarta, pada Senin (8/9) sore.
Foto: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa/ Angga Yosua

Jakarta, CNBC Indonesia - Lemahnya kinerja pengumupulan pajak hingga membuat shortfall atau tak capainya target penerimaan pajak sepanjang tahun anggaran 2025 membuat kekhawatiran makin bengkaknya defisit APBN tahun ini.

Dalam 10 bulan terakhir realisasi penerimaan pajak yang menjadi sumber utama terbesar pendapatan negara baru terealisasi Rp 1.459 triliun, atau setara 70,2% dari perkiraan sampai akhir tahun Rp 2.076,9 triliun. Padahal, targetnya sebesar Rp 2.189, 3 triliun dalam UU APBN 2025.

Kondisi itu membuat total pendapatan negara baru terealisasi sebesar Rp 2.113,3 triliun sampai dengan Oktober 2025, atau setara 70,32% dari target yang termuat dalam UU APBN 2025 senilai Rp3.005,1 triliun.

Sementara itu, belanja negara sudah mengalami percepatan dengan realisasi Rp 2.593 triliun per Oktober 2025 dari target yang termuat dalam APBN 2025 senilai Rp 3.621,3 triliun. Membuat defisit APBN sudah senilai Rp 479,7 triliun atau 2,02% dari PDB. Target defisit tahun ini 2,53% dari PDB atau Rp 616,2 triliun dan diperkirakan pemerintah akan bengkak menjadi Rp 662 triliun atau setara 2,78% dari PDB.

Meski potensi pelebaran defisit masih akan bisa makin bengkak, Peneliti ekonomi GREAT Institute, Adrian Nalendra Perwira menegaskan bukan berarti kondisi APBN tahun ini membuat kredibilitas APBN makin terkikis hingga bisa disebut dalam kondisi di tepi jurang.

"Yang menentukan kredibilitas APBN merupakan kualitas respons kebijakan yang disiplin, transparan, dan tidak kontraproduktif terhadap ekonomi," kata Adrian melalui keterangan tertulis, Rabu (17/12/2025).

Adrian menjelaskan, dari sisi kinerja pajak tahun ini yang loyo, sebetulnya lebih disebabkan penurunan pajak neto akibat lonjakan restitusi, bukan karena penurunan pajak neto karena pelemahan basis pajak saja.

"Restitusi adalah hak wajib pajak ketika terjadi kelebihan bayar. Dari sisi dunia usaha, restitusi membantu arus kas. Namun dari sisi kas APBN, lonjakan restitusi membuat penerimaan pajak neto tampak lebih rendah pada tahun berjalan," ujar Adrian.

Ia mengungkapkan restitusi pajak hingga Oktober 2025 mencapai Rp 340,52 triliun, naik 36,4% dibandingkan periode Januari-Oktober 2024. Sebagian lonjakan tersebut menurutnya dipengaruhi oleh backlog restitusi yang sempat tertunda dan terakumulasi pada periode kepemimpinan Menkeu Sri Mulyani, sehingga pembayarannya menumpuk pada 2025.

"Ini faktor timing yang penting dijelaskan ke publik. Menilai kinerja fiskal tanpa menyertakan dinamika restitusi berisiko menghasilkan kesimpulan yang tidak proporsional," tutur Adrian.

GREAT Institute menilai fundamental APBN 2025 tetap terkendali, kendati tekanan penerimaan jangka pendek memerlukan mitigasi serius.

Oleh karena itu, fokus kebijakan di sisa tahun harus diarahkan pada intensifikasi berbasis data, percepatan integrasi data lintas instansi, serta merapikan tata kelola restitusi agar tidak menumpuk dan mengganggu pembacaan penerimaan neto. Di sisi belanja, kualitas dan efisiensi harus tetap terjaga.

"APBN kita tidak sedang berada di tubir jurang. yang dibutuhkan saat ini adalah kepastian arah kebijakan dan kerja teknokratis yang tenang," paparnya.

Adrian mengakui, dari sisi realisasi keseimbangan primer hingga Oktober 2025 memag tercatat defisit Rp 45 triliun, berbalik dari surplus Rp 18 triliun pada bulan sebelumnya dan berbeda dengan surplus Rp 97,3 triliun pada periode yang sama tahun lalu.

Perubahan ini kata dia menunjukkan ruang primer mulai tertekan seiring akselerasi belanja pada paruh akhir tahun dan dinamika penerimaan non-bunga.

Karenanya, Adrian menekankan, indikator ini perlu dibaca sebagai sinyal kewaspadaan alih-alih masalah ketidaksinambungan fiskal. Apalagi, defisit APBN secara keseluruhan masih berada pada 2,02% terhadap PDB, sehingga koridor disiplin fiskal tetap terjaga.

"Fokus kebijakan ke depan adalah memastikan tekanan primer bersifat sementara melalui penguatan kepatuhan dan pengawasan berbasis risiko, pengendalian belanja yang tidak produktif, serta manajemen kas yang prudent agar konsolidasi fiskal tetap on track," tegas Adrian.

Kementerian Keuangan sebelumnya juga telah memastikan, potensi pelebaran defisit APBN 2025 tak akan membuat tekanan hingga melampaui batas aman yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara sebesar 3% dari produk domestik bruto (PDB).

Sebagaimana diketahui, pemerintah memang telah memperkirakan, defisit APBN hingga akhir tahun akan melebar di kisaran 2,78% dari PDB.

Potensi pelebaran defisit itu lebih dalam dibanding rancangan awal defisit APBN 2025 yang didesain sebesar 2,53% dari PDB. Terutama karena pelemahan penerimaan negara pada saat besarnya kebutuhan belanja hingga akhir tahun.

"Ya outlooknya kan 2,78% ya.Ini kita sedang lihat 2 minggu terakhir. Kalaupun nanti melebar, kita akan tetap jaga di bawah 3%," kata Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu saat ditemui di kawasan Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (16/12/2025).

Kementerian Keuangan juga mengaku masih menghitung besaran potensi tekanan penerimaan negara yang berpotensi tak capai target alias shortfall.

Pemerintah memang telah memperkirakan, setoran pajak hanya akan terkumpul Rp 2.076,9 triliun atau 94,9% dari target tahun ini yang sebesar Rp 2.189, 3 triliun.

"Lagi kita hitung. Ini lagi akhir tahun kan kita coba kalibrasi.Teman-teman penerimaan sedang kerja," ujar Febrio.

(arj/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Sri Mulyani Lapor ke Prabowo Defisit APBN 2025 Bengkak ke 2,78%


Most Popular
Features