Jalan Tengah Selamatkan Industri Rokok Tanah Air
Jakarta, CNBC Indonesia - Keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dan harga jual eceran rokok, belum bisa menyelamatkan industri rokok dan menekan prevalensi perokok anak bila tak diimbangi pemberantasan peredaran rokok ilegal secara masif.
Hal ini diungkapkan oleh Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin di Program Manufacture Check CNBC Indonesia, dikutip Rabu (15/10/2025).
"Karena ketika cukai itu di freeze, itu juga tendensi ke rokok ilegal tetap tinggi. Kenapa? Karena rokok ilegal itu satu pack yang kecil, biaya produksinya paling hanya Rp 7 ribu. Bisa sampai ke end user dengan harga perkiraan saya Rp 10 ribu, bandingkan dengan rokok legal dengan harga Rp 24-25 ribu," tegas pria yang akrab disapa Wija itu.
Wija menjelaskan, pertumbuhan peredaran rokok ilegal tiap periodenya bisa mencapai 14-15%. Efeknya bukan hanya terkait dengan tekanan kepada industri, namun juga bisa langsung mengganggu penerimaan negara dari sisi cukai, bila peredaran rokok ilegal tak diberantas secara cepat dan efektif.
"Rata-rata kalau kita lihat dua tahun terakhir, cukai rokok itu sekitar Rp 216 triliun per tahun. Belum lagi kalau kita masukkan PPh Badan, PPh Individu, PPN, itu bisa Rp 300 triliun lebih. Sehingga bagi APBN kita ini sesuatu yang sangat penting juga," tuturnya.
Untuk memberantas peredaran rokok ilegal, Wija menganggap, Presiden Prabowo Subianto seharusnya langsung turun tangan menggerakkan secara kolektif aparat penegak hukum atau APH dan otoritas di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Sebab, peredarannya sudah sangat masif dari sisi industri rokok ilegal yang cukup banyak menyerap tenaga kerja, hingga peredaran yang berasal dari impor.
"Shadow economy di Indonesia ini sudah begitu dominan. Sudah 22,5% GDP. Salah satunya adalah rokok ilegal. Menarik jika Presiden mendorong pemberantasan shadow economy, ada impor tekstil ilegal, tambang ilegal, judol, kemudian pinjol ilegal, kemudian narkoba, ada rokok, dan lain sebagainya. Ini sebagai satu paket narasi. Narasi besar yang disampaikan oleh Presiden," papar Wija.
Menurut Wija, iklim industri rokok memang sepatutnya harus dijaga karena Indonesia sudah terlanjur menjadi produsen komoditas itu dan banyak menyerap tenaga kerja.
Lain halnya bila dibandingkan dengan negara lain yang bukan menjadi produsen, wajar bila fokus memberantas peredarannya dilakukan pemerintah meski legal dilakukan dengan harga mahal, namun tetap menjaga industrinya sendiri untuk barang-barang serupa, seperti industri senjata dan minuman keras di Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat.
"Mereka punya industri besar terkait itu, dan ini merupakan bagian dari kultur. Nah, Indonesia pun harus mengikuti cara berpikir mereka. Jadi mencari titik optimal," ucap Wija.
Yang menarik, meski negara-negara itu memfasilitasi barang-barang kena cukai karena menjadi bagian dari kekuatan ekonominya, mereka tetap menjaga generasi mudanya dari mengkonsumsi barang-barang itu secara ketat. Maka, Indonesia kata dia juga harus memperketat konsumsi rokok ke depannya bagi anak sambil menjaga iklim industri.
Upaya ini kata dia harus dilakukan lintas kementerian dan lembaga secara masif, tak bisa dikerjakan satu kementerian seperti Kementerian Keuangan.
"Amerika misalnya, ada anak kecil masuk superstore, kemudian lihat konter rokok aja itu langsung ditegur. Kalau membeli, ditanya KTP-nya. Jadi hal-hal seperti ini, ini sederhana, tapi perlu mulai kita tegakkan di Indonesia. Karena salah satu upaya untuk memperbaiki kesehatan terkait isu rokok dan yang lain-lain, itu adalah melalui education dan intergenerational," paparnya.
(arj/haa)