Gonjang-ganjing Prancis Makin Kacau, Macron Hadapi Krisis Baru
Jakarta, CNBC Indonesia - Prancis kembali dilanda gejolak politik setelah Perdana Menteri (PM) Sebastien Lecornu mengundurkan diri hanya 27 hari setelah dilantik. Pengunduran diri itu memperdalam krisis kekuasaan di bawah Presiden Emmanuel Macron.
Langkah pengunduran diri PM Lecornu pada Senin (7/10/2025), hanya 13 jam setelah mengumumkan kabinet barunya, menambah daftar panjang pergantian PM di bawah Macron, di mana ada enam kali dalam waktu kurang dari dua tahun. Situasi ini menandai ketidakstabilan politik yang belum pernah terjadi sebelumnya di negara itu.
"Saya siap berkompromi, tetapi masing-masing partai politik ingin partai lainnya mengadopsi seluruh programnya," ujar Lecornu dalam pidato pengunduran dirinya. Ia menyebut perpecahan antar partai menjadi penyebab utama kebuntuan pemerintahan.
Krisis ini berakar dari hasil pemilihan cepat pada Juli 2024 yang menghasilkan parlemen tanpa mayoritas mutlak. Macron membentuk pemerintahan minoritas dengan dukungan partai-partai tengah dan kanan moderat, namun aliansi itu goyah setelah partai kanan-tengah Les Republicains (LR) menarik dukungan.
Pemimpin LR sekaligus Menteri Dalam Negeri Bruno Retailleau menilai kabinet baru Lecornu "tidak mencerminkan janji perubahan". Dewan partai bahkan menggelar rapat darurat untuk mengevaluasi posisi mereka dalam koalisi.
Keputusan LR menjauhkan diri membuat Lecornu kehilangan basis dukungan utama. "Sungguh ironis bahwa partai yang selama ini mengaku bertanggung jawab atas stabilitas justru memicu krisis," kata seorang analis politik dari Le Monde, dikutip Kamis (9/10/2025).
Presiden Macron kini berada dalam posisi sulit. Ia memberikan Lecornu waktu 48 jam untuk mencoba "diskusi akhir" dengan partai-partai politik sebelum membuat keputusan baru. Namun banyak pengamat menilai waktu itu terlalu singkat untuk menyelamatkan pemerintahannya.
"Sulit membayangkan apa yang bisa dicapai Lecornu dalam 48 jam, setelah gagal selama hampir sebulan," kata politolog Prancis Jean Garrigues kepada France Info.
Sementara itu, kubu sayap kanan yang dipimpin Jordan Bardella dan Marine Le Pen menyerukan pemilihan cepat, dengan alasan rakyat perlu pemerintahan baru yang stabil. Namun hasil jajak pendapat terbaru menunjukkan skenario itu bisa menguntungkan blok sayap kanan ekstrem, yang kini menguasai 30-35% suara.
Pembubaran Majelis Nasional menjadi opsi demokratis yang paling mungkin, meski belum tentu membawa stabilitas. Lecornu menutup pidatonya dengan pesan simbolis: "Seseorang harus selalu mengutamakan negaranya daripada partainya."
(tfa/luc)