RI Masih Rajin Impor Bahan Baku Obat, Bos BPOM Ungkap Biang Keroknya

Lynda Hasibuan, CNBC Indonesia
Rabu, 13/08/2025 15:05 WIB
Foto: Kepala Badan Pengawas Obat dan Makan (BPOM),Taruna Ikrar menyampaikan paparan dalam acara Health Summit di 25hours Hotel The Oddbird, Jakarta, Rabu (13/8/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia sampai saat ini masih bergantung pada bahan baku obat (BBO) impor. Penyebabnya, ada beberapa kebutuhan bahan baku obat yang belum bisa diproduksi di dalam negeri.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar mengatakan industri farmasi Indonesia sangat bergantung pada impor bahan baku obat, baik bahan baku aktif maupun bahan tambahan.

"Bahwa betul sudah ada peningkatan bahan baku obat yang dulunya sekitar 15 poin yang kita dapatkan tadi tapi sebetulnya di data kami ada 42 bahan baku obat yang sudah mandiri. Jadi peningkatan cukup signifikan setahun ini," ungkap Taruna dalam Health Summit 2025 bertajuk "Transformasi Sektor Kesehatan Mendukung Pertumbuhan Ekonomi 8%" di 25Hours Hotel The Oddbird, Jakarta, Rabu (13/8/2025).


"Namun kalau dipresentasikan secara global bahan baku kita 90% ke atas adalah impor," imbuhnya.

Foto: Kepala Badan Pengawas Obat dan Makan (BPOM),Taruna Ikrar menyampaikan paparan dalam acara Health Summit di 25hours Hotel The Oddbird, Jakarta, Rabu (13/8/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makan (BPOM),Taruna Ikrar menyampaikan paparan dalam acara Health Summit di 25hours Hotel The Oddbird, Jakarta, Rabu (13/8/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ada kendala mengapa Indonesia masih melakukan impor terhadap bahan baku obat. Setidaknya ada empat penyebab utama yang dipaparkan.

Pertama menurutnya, adalah hak intelektual properti. Menurutnya bahan baku obat berbeda dengan makanan karena research and development (R&D) obat yang panjang. Selanjutnya, kedua kepercayaan pemilik paten atau produsen yang enggan mengirim kirim ke Indonesia. Pemilik paten biasanya terikat oleh aturan pemerintahnya yang membatasi pengiriman ke negara tertentu.

"Produsen sering memprioritaskan pasokan ke pasar besar (AS, Eropa, Jepang) atau negara yang memberi insentif lebih besar," bebernya.

Ketiga yakni aspek birokrasi yang begitu panjang. Terkadang aturan dari kementerian atau lembaga terkait tidak selaras, sehingga importir harus mengurus dokumen ganda atau memenuhi persyaratan yang tumpang tindih.

"Peraturan dari berbagai instansi yang kadang tidak sinkron, sehingga harus menyesuaikan dokumen berkali-kali. Birokrasi begitu berpengaruh dan semua butuh waktu. Bisa sampai 1,5 tahun secara bisnis tidak menguntungkan," paparnya.

Terakhir, yakni pangsa pasar. Diketahui, industri farmasi dalam negeri belum memiliki kapasitas produksi besar atau teknologi setara. Akibatnya, harga dan pasokan sangat dipengaruhi kondisi di negara asal.

"Karena pangsa pasarnya kecil, pabrik bahan baku lokal sulit menekan biaya lewat economies of scale. Sehingga bahan baku yang di produksi ini lebih mahal daripada dengan harga impor," paparnya.


(wur)
Saksikan video di bawah ini:

Video: BPOM Perketat Pengawasan Makanan & Obatan