Marak PHK Tapi Data Ekonomi RI Masih Bagus, Kok Bisa?

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
12 August 2025 19:20
INFOGRAFIS, Besaran Total Pesangon Korban PHK
Foto: Infografis/Besaran Total Pesangon Korban PHK/Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Momok gelombang pemutusan hubungan kerja atau PHK yang terjadi di Indonesia hingga saat ini tak membuat perekonomian Indonesia mengalami pelemahan, justru tumbuh secara tak terduga di level 5,12% pada kuartal II-2025.

Biasanya, PHK yang membuat orang kehilangan pendapatannya hingga mempengaruhi daya beli membuat konsumsi rumah tangga merosot. Namun, konsumsi rumah tangga pada kuartal II-2025 justru tumbuh.

Direktur Program dan Kebijakan Prasasti Center for Policy Studies Piter Abdullah mengatakan, fenomena itu terjadi karena korban PHK di Indonesia kebanyakan diselamatkan oleh digitalisasi di Indonesia. Digitalisasi ekonomi ini membuat korban PHK masih tetap bisa bekerja seperti menjadi pekerja lepas atau gig worker hingga pelaku UMKM atau sektor perdagangan kecil.

"PHK bukan berarti yang menjadi korbannya tidur siang saja, yang ter PHK dia tetap bekerja dan di sini peran ekonomi digital. Kita harus bersyukur ride healing itu sebenarnya bantalan untuk lapangan kerja," kata Piter dalam acara peluncuran Laporan Riset Ekonomi Digital Indonesia oleh Prasasti, Jakarta, Selasa (12/8/2025).

"Ketika mereka terkena PHK, mereka bisa masuk ke sektor digital, gig worker dan artinya itu tetap membantu mereka dapat penghasilan dan mampu konsumsi," tegasnya.

Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) konsumsi rumah tangga pada kuartal II-2025 yang menyumbang 54,25% terhadap PDB masih mampu tumbuh 4,97% yoy, atau naik dari laju pertumbuhan kuartal I-2025 yang sebesar 4,95%, demikian juga dibanding kuartal II-2024 sebesar 4,93%.

"Jadi kalau kita lihat di data BPS walaupun di tengah PHK yang tinggi, walaupun angka-angka indikator pelemahan konsumsi, ternyata pertumbuhan konsumsi kita tidak turun, masih tumbuh sedikit," ungkap Piter.

Sebagaimana diketahui, dunia usaha memprediksi tren pemutusan hubungan kerja (PHK) masih akan terus berlanjut hingga penghujung 2025.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani menyebut fenomena ini bukan lagi sekadar peristiwa musiman, melainkan telah menjadi gejala serius yang memerlukan perhatian menyeluruh.

"Ini memang sudah dirasakan juga dari survei yang dibuat oleh Apindo. Jadi kita sama-sama sepakat bahwa ini bukan hanya sekadar PHK biasa, tapi ini memang PHK sedang benar-benar berjalan dan masih terus bergulir," ujar Shinta dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Selasa (29/7/2025).

Merujuk data BPJS Ketenagakerjaan, Shinta mengatakan, tercatat sebanyak 150 ribu pekerja telah terkena PHK selama Januari hingga Juni 2025. Dari jumlah tersebut, lebih dari 100 ribu orang sudah mengajukan klaim manfaat jaminan.

Angka ini, katanya, belum termasuk catatan dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) yang menggunakan basis data tersendiri.

Tapi, beralihnya tenaga kerja formal menjadi informal seperti gig worker menjadi perhatian sendiri oleh Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang juga merupakan Guru Besar FEB Unpad Arief Anshory Yusuf.

Ia menganggap perekonomian yang hanya ditopang oleh pekerja informal atau gig worker sulit untuk mencapai keberlanjutan atau ekonomi yang sehat dalam jangka panjang karena tidak didukung oleh upah yang bisa mendukung daya beli lebih kuat.

"Jadi bisa saja dia sebenarnya bekerja, cuma karena pekerjaannya tidak layak, ya tidak mampu juga, daya belinya berkurang, dan itu terjadi," ucap Arief dalam program Cuap Cuap Cuan CNBC Indonesia, dikutip Senin (14/7/2025).

Arief mengatakan beberapa dekade terakhir tren ketenagakerjaan di Indonesia mulai beralih dari sektor produktif yang memberi upah layak seperti di industri manufaktur, menjadi semakin banyak yang ke sektor perdagangan, efek deindustrialisasi dini. Diperburuk dengan kembali naiknya pekerja yang masuk ke sektor pertanian.

Bila merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) rata-rata upah yang diterima pekerja di sektor pertanian dan perdagangan memang lebih minim dibanding sektor industri manufaktur atau pengolahan. Namun, proporsi tenaga kerja nya malah mendominasi di Indonesia saat ini.

"Transformasi struktural dulu di tahun 90-an, orang-orang pindah dari agrikultur ke sektor yang lebih tinggi produktivitasnya, yaitu manufacturing, sehingga income-nya meningkat, daya belinya meningkat," ungkap Arief.

"Sekarang, orang-orang labor itu dari agrikultur pindah ke sektor yang produktivitas nya rendah. Agrikultur itu, kalau saya tidak salah, itu ranking satu terbawah produktivitasnya, ranking kedua terbawah trade, sektor perdagangan," ungkap Arief.

Data penduduk bekerja menurut lapangan usaha yang dicatat BPS terakhir pada Februari 2025 memang menunjukkan sektor pertanian memiliki porsi terbesar sebagai tempat mencari nafkah para pekerja di Indonesia. Porsinya mencapai 28,54% dari total penduduk bekerja yang sebanyak 145,77 juta orang atau setara 41,61 juta orang.

Urutan kedua ialah sektor perdagangan yang porsi penduduk bekerjanya sebesari 19,26% atau setara 28,07 juta orang. Urutan ketiga barulah industri pengolahan yang porsi penduduk bekerja Indonesia di sektor itu sebanyak 13,45% atau hanya sebesar 19,60 juta orang.

Sayangnya, rata-rata upah yang diberikan untuk sektor pertanian menjadi yang terendah dibanding sektor usaha lain. Rata-rata upah pekerjanya secara nasional hanya sebesar Rp 2,25 juta, jauh di bawah rata-rata keseluruhan upah buruh per Februari 2025 yang senilai Rp 3,09 juta.

Urutan kedua terbawah ialah sektor akomodasi dan makan minum yang hanya Rp 2,42 juta, setelahnya atau urutan ketiga barulah sektor perdagangan yang para pekerjanya rata-rata hanya diupah senilai Rp 2,67 juta.

Sementara itu, sektor industri pengolahan upah rata-ratanya Rp 3,09 juta, meski masih lebih rendah dari pekerja di sektor konstruksi yang rata-rata upahnya Rp 3,21 juta, dan aktivitas profesional maupun perusahaan yang sebesar Rp 3,97 juta.

Rata-rata upah buruh tertinggi ialah di sektor pertambangan Rp 5,09 juta, pengadaan listrik dan gas Rp 5,04 juta, serta sektor aktivitas keuangan dan asuransi Rp 4,88 juta.

"Jadi kalau saya sering ilustrasikan itu begini, jadi orang desa pindah ke kota, enggak ada manufacturing, enggak ada pabrik, saya mau kerja di sektor jasa saja deh. Bayangan kita kan sektor jasa itu minimal kerja di Starbucks, tapi akhirnya dia kerja di Starbike atau Starling Kopi," ujar Arief.


(arj/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Penyebab Konsumsi Rumah Tangga RI Tumbuh Melambat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular