Tak Peduli Rojali-Rohana, Mal-Mal Baru Tetap Bermunculan-Ini Alasannya

Martyasari Rizky, CNBC Indonesia
Senin, 04/08/2025 12:45 WIB
Foto: Sejumlah pengujung melintas di salah satu mal di kawasan Jakarta Selatan, Senin, (28/7/2025). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Meski fenomena Rojali (Rombongan Jarang Beli) dan Rohana (Rombongan Hanya Nanya) sedang marak melanda mal-mal di Indonesia, pelaku industri pusat perbelanjaan tak gentar.

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja menegaskan pembangunan pusat perbelanjaan tetap berlanjut di berbagai daerah, termasuk di luar Pulau Jawa.

"Pusat perbelanjaan baru masih terus dibangun, baik di Jabodetabek maupun di daerah lainnya termasuk di luar Pulau Jawa, antara lain yang baru dibuka adalah Jakarta Premium Outlet, Pakuwon Mall Bekasi, Icon Bali dan lainnya," ujar Alphonzus kepada CNBC Indonesia, dikutip Senin (4/8/2025).


Menurutnya, potensi bisnis pusat perbelanjaan masih sangat terbuka. Ia menilai mal saat ini bukan hanya tempat untuk berbelanja, tetapi juga sudah menjadi bagian dari fasilitas publik yang melayani berbagai kebutuhan masyarakat.

"Pusat perbelanjaan sudah merupakan salah satu fasilitas publik yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidup selain pemenuhan kebutuhan pokok, antara lain seperti hiburan, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya," jelasnya.

Ia bahkan menyebut, dari sisi perbandingan luas pusat perbelanjaan dengan jumlah penduduk, Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara tetangga.

"Rasio luasan pusat perbelanjaan dibandingkan dengan jumlah populasi di Indonesia juga relatif masih kurang, ataupun masih kecil, dibandingkan dengan negara tetangga," lanjutnya.

Terpisah, Director of Strategic Consulting Cushman & Wakefield Indonesia Arief Rahardjo mengatakan, maraknya Rojali dan Rohana mencerminkan perubahan pola belanja konsumen yang lebih selektif dan berorientasi pengalaman, bukan semata transaksi.

"Namun, hal ini belum sepenuhnya mengurangi daya tarik mal, khususnya untuk sektor F&B (makanan dan minuman) yang justru tetap tumbuh karena kebutuhan sosial dan konsumtif masyarakat untuk makan di luar masih tinggi," katanya kepada CNBC Indonesia.

"Mal kini juga mulai beradaptasi dengan menghadirkan ruang terbuka, area komunitas, dan tenant mix yang lebih beragam serta fleksibel, menjadikannya tidak hanya tempat belanja, tapi juga destinasi rekreasi dan sosialisasi. Dengan strategi ini, penambahan pasokan mal tetap punya ruang di pasar, terutama jika bisa menangkap perubahan perilaku konsumen dengan menawarkan konsep mal yang tepat," jelas Arief.

Cushman & Wakefield Indonesia mencatat, Wilayah Debotabek (Depok, Tangerang, Bekasi) mencatat penambahan 3 pusat ritel baru. Dengan begitu, menambahkan 96.900 m2 pasokan ruang ritel dengan penambahan dua pengembangan pusat perbelanjaan baru hingga akhir tahun 2025. Per triwulan II tahun 2-25, ruang ritel yang terisi di Jakarta meningkat menjadi 3.746.100 m². Terjadi peningkatan tipis sebesar 0,5% secara tahunan (YoY). Tingkat hunian mencapai 77,9%, meningkat 1,0% secara triwulanan.

Rojali-Rohana Bukan Fenomena Baru

Sementara itu, Alphonzus menekankan, fenomena pengunjung datang ke mal tapi tidak membeli bukanlah hal baru. Menurutnya, kondisi ini sudah lama ada dan sangat tergantung pada situasi daya beli masyarakat.

"Pengunjung datang ke pusat perbelanjaan tapi sedikit atau tidak belanja adalah bukan tren atau fenomena baru," kata Alphonzus.

Ia menjelaskan, masyarakat kelas menengah bawah cenderung lebih selektif dalam membelanjakan uang, apalagi saat daya beli belum sepenuhnya pulih. Belanja barang dengan harga satuan rendah dan kebutuhan utama menjadi prioritas.

"Dikarenakan uang yang dipegang oleh masyarakat kelas menengah bawah semakin sedikit maka terjadi kecenderungan untuk berbelanja atau membeli barang atau produk yang harga satuannya rendah atau kecil dan/atau murah. Masyarakat juga terpaksa mengurangi dan mengutamakan belanja untuk hal-hal penting dan utama saja," jelasnya.

Namun ia optimistis kondisi ini tidak akan berlangsung selamanya. "Kondisi tersebut tidak akan berlangsung selamanya. Kondisi akan kembali normal tatkala daya beli masyarakat juga sudah kembali normal," ujarnya.

Menurut Alphonzus, situasi ini relatif tidak terjadi pada kelas menengah atas yang memiliki daya beli lebih stabil. Kalaupun terlihat hanya melihat-lihat barang mewah tanpa membeli, itu bukan karena uang tak ada.

"Kalaupun ada fenomena Rojali di kelas atas menengah, sekali lagi adalah bukan akibat daya beli yang melemah tapi kalangan menengah atas lebih memilih opsi menyimpan uang atau berinvestasi daripada belanja, akibat kondisi mikro dan makro ekonomi serta dampak global yang banyak menimbulkan ketidakpastian," katanya.


(dce)
Saksikan video di bawah ini:

Video: "Rojali-Rohana" Hantui e-Commerce, Barang Cuma Masuk Keranjang!