
Ekonom Soroti Fenomena Serakahnomics, Momentum RI Berbenah!

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden RI Prabowo Subianto mengungkap adanya mazhab baru dalam ekonomi, yaitu 'serakahnomics'. Ini adalah terminologi dari Prabowo untuk menggambarkan praktik keserakahan dalam ekonomi.
Ekonom menilai istilah serakahnomics bisa menjadi momentum untuk pembenahan struktural. Pasalnya, kosakata tersebut adalah cara untuk Presiden RI menyoroti masalah yang sudah mengakar di Indonesia. Yakni akumulasi kekayaan dan sumber daya oleh segelintir pihak.
Peneliti Ekonom Core Indonesia, Yusuf Rendy Manilet menilai selama ini banyak kelompok masyarakat kecil yang tidak punya akses setara terhadap modal, tanah, atau peluang usaha. Di sisi lain, ada kelompok yang terus mendapat kemudahan, baik dari sisi regulasi maupun jaringan kekuasaan.
Kondisi inilah yang menjadi penyebab utama sulitnya mengatasi ketimpangan dan kemiskinan di Indonesia.
Seperti yang diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rasio Gini atau ketimpangan pengeluaran penduduk RI pada Maret 2025 mencapai 0,375. Angka ini menurun 0,006 poin jika dibandingkan dengan gini ratio September 2024 yang sebesar 0,381.
Sebagai catatan, nilai rasio Gini berada di antara 0-1. Jika semakin tinggi atau mendekati 1, semakin tinggi ketimpangannya.
"Kita tahu ekonomi Indonesia tumbuh cukup konsisten dalam beberapa tahun terakhir, tapi jurang antara yang punya dan yang tidak masih lebar," ujar Yusuf kepada CNBC Indonesia, Rabu (30/7/2025).
Maka dari itu, Yusuf menilai dengan penyebutan serakahnomics oleh Presiden Prabowo seharusnya menjadi dorongan politik untuk membenahi struktur ekonomi secara menyeluruh. Namun, tantangannya akan sangat besar. Pasalnya, mengubah pola seperti ini butuh kemauan politik yang kuat, transparansi, dan keberpihakan yang jelas pada kelompok rentan.
"Yang terpenting, kritik seperti ini sebaiknya diikuti dengan kebijakan nyata yang bisa membuka lebih banyak akses dan kesempatan bagi semua, bukan hanya memperkuat posisi yang sudah kuat," ujarnya.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menjelaskan bahwa serakahnomics lahir dari dua akar persoalan besar, yakni bentuk ekonomi yang ekstraktif dan perilaku pejabat negara yang koruptif.
Menurut Bhima, para pelaku serakahnomics kerap memanfaatkan kekuasaan untuk mempengaruhi kebijakan negara, menyuap pejabat tinggi atau bahkan ikut menjadi bagian pemerintahan. Sebagai imbalan, para pelaku mendapat konsesi lahan tambang atau perkebunan yang luas.
Dalam praktiknya, Bhima mengungkapkan pelaku serakahnomics berkedok ekspor yang dilakukan secara ilegal atau disebut sebagai penghindaran pajak atau underinvoicing.
"Dia jual tanah dan air, dia keruk dan rusak tapi uangnya ditransfer ke luar negeri. Jadi pajaknya juga kurang bayar. Tapi karena dijaga secara politik maka tidak ada pihak yang berani menganggu selama jangka waktu yang lama," ujar Bhima kepada CNBC Indonesia, Rabu (30/7/2025).
Kebijakan deregulasi pemerintah dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja pun dinilai dapat menjadi celah para pelaku Serakahnomics untuk melakukan penguasaan aset. Hal ini disebabkan oleh proses deregulasi yang tidak partisipatif dan transparan.
"Beberapa deregulasi misalnya di izin lingkungan hidup dan peran pengawasan pemda justru memicu masifnya sektor ekstraktif. Bukan berapa jumlah regulasi yang di hapus atau diganti tapi prosesnya," ujarnya.
Sebagai solusi untuk mengentas serakahnomics, Bhima menilai perlu diberlakukan pajak windfall profit atau pajak anomali dari keuntungan sektor ekstraktif. Seperti contohnya, pada perusahaan batu bara.
Selanjutnya, reforma agraria harus dilakukan secara serius. Salah satunya dengan pembagian tanah kepada petani tanpa lahan garapan agar terjadinya pemerataan. Selain itu, seluruh mafia birokrasi atau koruptor di semua lini perizinan dan kebijakan perlu diberantas.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Prabowo Ungkap Fenomena Baru 'Serakahnomics' di RI
