"Serakahnomics": Memutus Keterkaitan Kekuatan Politik & Dominasi Pasar

Ukay Karyadi, CNBC Indonesia
29 July 2025 05:10
Ukay Karyadi
Ukay Karyadi
Ukay Karyadi seorang ekonom, mantan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sebelum terpilih menjadi Komisioner KPPU 2018-2023, Ukay merupakan Tenaga Ahli DPR-RI (2015-2018) dan Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan (2011-2014). Selain itu, le.. Selengkapnya
Satgas Pangan Polda Metro Jaya melakukan inspeksi mendadak ke sebuah pergudangan pasar induk beras di kawasan Cipinang, Jakarta Timur, Jumat, (25/7/2025). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Satgas Pangan Polda Metro Jaya melakukan inspeksi mendadak ke pasar induk beras di Cipinang, Jakarta Timur, Jumat (25/7/2025). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Istilah "serakahnomics" yang digulirkan Presiden Prabowo Subianto menjadi peringatan keras terhadap praktik ekonomi serakah yang mengikis keadilan. Fenomena tersebut menggambarkan kondisi di mana segelintir pihak menguasai sumber daya ekonomi, menekan persaingan, dan meraup keuntungan besar dengan mengorbankan kepentingan rakyat.

Sejatinya, "serakahnomics" mencerminkan simbiosis antara kekuasaan politik (political power) dan dominasi pasar (market power), yang saling memperkuat dan menciptakan ketimpangan. Di sektor pangan, misalnya, wajah "serakahnomics" terlihat begitu gamblang.

Lihatlah bagaimana korporasi raksasa menguasai rantai pasok dari hulu ke hilir-mulai dari benih, pupuk, gudang, hingga jaringan ritel. Mereka menikmati proteksi impor yang disahkan oleh kebijakan, tapi di sisi lain mendikte harga sesuka hati.

Ini bukan kecelakaan pasar, melainkan buah kebijakan yang gagal melindungi perekonomian domestik.

Di ruang digital, wabah yang sama beroperasi dengan wajah lebih modern: platform global membeli startup lokal dengan mudah, memonopoli data, dan menghambat inovasi-semua dimungkinkan oleh asimetri regulasi dan ketiadaan political will untuk melindungi ekosistem digital nasional.

Pelajaran dari sejarah Regulasi Antimonopoli Sejarah Amerika Serikat (AS) menawarkan wawasan berharga dalam menghadapi keterkaitan kekuasaan politik dan ekonomi. Pada akhir abad ke-19, munculnya konglomerasi besar seperti Standard Oil milik Rockefeller dan perusahaan Vanderbilt didorong oleh keunggulan bisnis sekaligus kemampuan mereka memengaruhi kebijakan.

Respons terhadap praktik tersebut adalah lahirnya Undang-undang (UU) Antitrust atau Antimonopoli (Sherman Act 1890), yang bertujuan membatasi monopoli dan praktik anti-persaingan. Namun, efektivitasnya terhambat, sebagaimana terlihat dalam putusan Mahkamah Agung pada kasus United States v. E.C. Knight Co. (1895), yang membatasi cakupan hukum antimonopoli.

Kasus Standard Oil (1911) juga menunjukkan tantangan menegakkan hukum terhadap entitas dengan pengaruh politik dan ekonomi yang besar. Di sini, pelajaran pertama "serakahnomics" terungkap: hukum tanpa niat politik dan penegakan tegas hanyalah ilusi.

Korporasi belajar bahwa celah hukum adalah senjata andalan-dan mereka ahli menciptakannya. Dua dekade kemudian, lahir Federal Trade Commission (FTC) dan Clayton Act-dua pilar yang diklaim sebagai solusi. FTC hadir sebagai "mata dan telinga" pasar, sementara Clayton Act melarang diskriminasi harga dan merger horizontal.

Tapi korporasi tak gentar. Mereka beralih ke merger vertikal: menguasai seluruh rantai pasok, dari bahan baku hingga distribusi. Atau beralih ke konglomerasi: membeli perusahaan di seberang lautan industri.

Clayton Act? Itu hanya mengawasi pembelian saham, bukan aset. Lagi-lagi, hukum gagal mengejar kelincahan nafsu korporasi serakah. Pelajaran kedua pun jelas: regulasi selalu merespons kemarin, sementara korporasi telah menciptakan hari esok. Selanjutnya, Robinson-Patman Act (1936) lahir untuk melindungi pedagang kecil dari raksasa ritel. Tapi menjadi ironi, ketika UU tersebut justru digunakan korporasi besar untuk menyeret pesaing kecil ke meja pengadilan.

Sementara itu, Celler-Kefauver Act (1950) mencoba menambal celah Clayton dengan mengawasi akuisisi aset fisik. Respons korporasi? Akuisisi diam-diam (creeping acquisitions)-membeli startup pesaing sedikit demi sedikit, atau investasi strategis yang membungkam inovasi.

Pelajaran ketiga semakin pahit: hukum antimonopoli bisa dibajak untuk mematikan persaingan, bukan melindunginya. Pada 1970-an (bahkan hingga kini), pengaruh Mazhab Chicago menggeser penafsiran hukum antimonopoli, lebih menekankan efisiensi harga daripada struktur pasar yang sehat. Akibatnya, perusahaan teknologi seperti Google, Amazon, dan Meta dapat mendominasi melalui akumulasi data, akuisisi pesaing potensial, dan pembentukan hambatan masuk pasar.

Intisari sejarah panjang AS itu jelas: regulasi antimonopoli hanya efektif jika mampu memutus mata rantai simbiosis kekuatan politik-dominasi ekonomi dan mampu beradaptasi dengan dinamika pasar yang terus bergerak.

Di Indonesia, tantangannya serupa namun dengan konteks lokal yang khas. UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan keberadaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah fondasi penting. Namun, implementasinya terperangkap dalam kendala klasik: kapasitas penegakan yang terbatas, koordinasi antarlembaga yang lemah, dan yang paling krusial-kebijakan sektoral yang justru kontraproduktif terhadap semangat persaingan sehat.

Misalnya, pemberian izin Hak Guna Usaha (HGU) yang berlebihan kepada korporasi perkebunan menciptakan konsentrasi lahan yang ekstrem. Korporasi yang sama kemudian diizinkan melakukan integrasi vertikal-horizontal, menguasai seluruh rantai pasok dari kebun hingga supermarket.

Solusi Multidimensi
Mengurai benang kusut "serakahnomics" memerlukan solusi multidimensi yang berani melampaui pendekatan teknis semata.

Pertama, penguatan kelembagaan KPPU adalah keniscayaan. KPPU perlu diberi mandat lebih luas, tidak hanya mengawasi persaingan usaha, tetapi juga mampu menganalisis dan mengungkap pengaruh faktor nonpasar-seperti kedekatan pemodal dengan penguasa-yang mendistorsi struktur persaingan. Kapasitas investigasi dan kewenangan penegakannya harus ditingkatkan secara signifikan.

Kedua, definisi persaingan sehat harus diredefinisi secara lebih holistik. Kriteria keberhasilan tidak bisa lagi hanya bertumpu pada efisiensi harga semata, tetapi harus memasukkan dampak terhadap keberlangsungan UMKM, penyerapan tenaga kerja, pemerataan kesempatan berusaha, dan keberlanjutan sumber daya.

Kebijakan di sektor strategis seperti pangan-mulai dari subsidi, kuota impor, hingga alokasi infrastruktur-harus dirancang ulang agar benar-benar mengalirkan manfaat ke petani gurem dan UMKM, bukan mengalir deras ke kantong oligarki.

Ketiga, Indonesia perlu mengadopsi semangat gerakan pemikiran Neo-Brandeisian yang sedang bangkit di AS, yang menekankan pentingnya struktur pasar yang adil (fair market structure), perlindungan aktif terhadap UMKM, dan kedaulatan data sebagai aset strategis nasional. Kebijakan pembatasan kepemilikan silang (cross-ownership) yang berpotensi menciptakan konflik kepentingan dan memusatkan kekuasaan pasar adalah langkah konkret yang mendesak.

Keempat, dan yang paling fundamental, adalah aksi terkoordinasi dan konsisten lintas sektor untuk memutus mata rantai simbiosis berbahaya antara pihak yang memiliki political power dan market power. Ini mencakup reformasi regulasi yang konsisten pro-persaingan, penegakan hukum tanpa pandang bulu, transparansi proses kebijakan, dan pembangunan ekosistem yang sungguh-sungguh mendukung inovasi dan UMKM.

Akhirnya, sebagai penegasan "serakahnomics" bukan sekadar istilah, melainkan ancaman eksistensial bagi keadilan ekonomi dan masa depan tata kelola yang baik. Melawannya membutuhkan lebih dari sekadar peraturan baru.

Harus ada keberanian politik (political will) yang tangguh untuk mengutamakan kepentingan publik di atas segelintir oligarki, kesadaran kolektif bahwa pasar yang sehat adalah pondasi demokrasi ekonomi, dan komitmen tak tergoyahkan pada transparansi.

Hanya dengan fondasi kelembagaan yang kuat, kerangka regulasi yang adaptif, dan komitmen politik yang jernih, Indonesia dapat membangun perekonomian yang inklusif-tempat kekuasaan dan pasar bekerja untuk rakyat, bukan sebaliknya. Masa depan ekonomi yang berkeadilan bergantung pada keputusan kita hari ini untuk memutus siklus serakah itu.


(miq/miq)