Ternyata! Ini Penyebab Munculnya Fenomena Rojali & Rohana di RI

Martyasari Rizky, Hadijah Alaydrus & Zahwa Madjid, CNBC Indonesia
Senin, 28/07/2025 10:10 WIB
Foto: Suasana pengunjung di Pusat Perbelajan Kota Kasablanka, Jakarta, Kamis (26/6/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Fenomena munculnya Rombongan Jarang Beli (Rojali) dan Rombongan Hanya Nanya (Rohana) di berbagai pusat perbelanjaan Tanah Air merupakan tanda terganggunya konsumsi masyarakat.

Perilaku ini menjadi sinyal bahwa masyarakat sedang menyesuaikan pola konsumsi sejalan dengan tekanan ekonomi. Pedagang, pengusaha, pemerintah hingga ekonom membenarkan fenomena ini. Sebagian besar menilai fenomena ini didorong oleh kelas menengah atas yang berhati-hati membelanjakan uangnya.

Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono menuturkan berdasarkan data Susenas Maret 2025, kelompok atas memang agak menahan konsumsinya.


"Ini kita amati dari Susenas. Namun ini tentu tidak serta-merta berpengaruh ke angka kemiskinan karena kan itu kelompok atas saja. Fenomena Rojali memang belum tentu ya teman-teman mencerminkan tentang kemiskinan," papar Ateng dalam rilis data BPS, Jumat (25/7/2025).

Kendati demikian, BPS melihat fenomena ini relevan dengan gejala sosial. Hal ini dimungkinkan dengan adanya tekanan ekonomi, terutama tekanan bagi kelas rentan.

"Bisa jadi ada untuk refresh atau tekanan ekonomi terutama kelas yang rentan sehingga mereka teman-teman semuanya akan Rojali tadi di malldan sebagainya," kata Ateng.

BPS menegaskan Rojali adalah sinyal penting bagi pembuat kebijakan untuk tidak hanya fokus ya menurunkan angka kemiskinan, tetapi juga memperhatikan bagaimana untuk ketahanan konsumsi dan stabilitas ekonomi rumah tangga pada kelas menengah bawah.

"Amati teman-teman semuanya apakah yang Rojali itu ada pada kelas atas kelas menengah atau rentan atau bahkan yang di kelas miskinnya. Kami belum sampai survei ke ala Rojali kami surveinya hanya berbasis ke rumah tangga sampel di Susenas kita," kata Ateng.

Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. David Sumual menilai konsumsi masyarakat belum menunjukkan perbaikan dan hal ini dibuktikan oleh data per Juni lalu.

Konsumsi menengah atas, menurut David, belum membaik. Padahal, kaum menengah atas menyumbang kontribusi terhadap konsumsi yang sangat signifikan, yakni 70%.

"Di Big Data itu, bahkan (konsumsi) sampai Juni itu belum bagus..Secara konsumen keseluruhan terutama yang menengah atas yang punya uang - yang membeli durable goods seperti mobil, motor, furniture, kemudian pakaian, luxurious goods - mereka yang mendrive 70% konsumsi," kata David dalam acara Editors Briefing Bank Indonesia (BI), Jumat (18/7/2025).

Selain faktor ini, dia melihat adanya faktor perjalanan wisata ataupun dinas luar kota dari beberapa wilayah di Indonesia yang berkurang beberapa waktu terakhir. Misalnya, kata David, perjalanan dari masyarakat di daerah ke Jakarta.

"Biasanya yang banyak beli itu mereka di mal-mal, misalnya orang Surabaya, orang Palembang atau orang Papua. Kalau orang Jakarta ke mal biasanya makan doang, cari diskon-diskon," katanya.

Alhasil, David tidak menampik bahwa fenomena 'rojali' tampak di mal-mal kota besar. David melihat adanya kehati-hatian di masyarakat untuk membeli barang mahal. Pemasok dan pemegang merek barang mewah pun menilai kondisi saat ini seperti krisis 98.

"Saya bertemu dengan supplier produk luxurious, tas dan arloji, mereka merasakan (penurunan konsumsi). Beberapa pemegang merek: 'Ini kok mirip-mirip krisis 2008, agak melemah'," katanya.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja juga menyebut istilah rojali bukanlah fenomena baru di pusat perbelanjaan. Yang membedakan saat ini adalah intensitas dan pola belanjanya.

"Sebetulnya kan bukan hal yang baru rojali itu. Bukan kali ini saja terjadi, kan. Sebelum-sebelumnya sudah terjadi. Cuman saja memang intensitas jumlahnya yang berbeda dari waktu ke waktu," jelas Alphonzus dalam kesempatan yang sama.

Ia menjelaskan, ada beberapa faktor yang memengaruhi perilaku konsumen saat ini. Untuk kelas menengah atas, lebih karena faktor kehati-hatian dalam belanja, terutama karena pengaruh kondisi makro dan mikro ekonomi global yang tengah bergejolak.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan fenomena rojali dipicu oleh event Natal-Tahun Baru dan Lebaran terlalu dekat. Alhasil, konsumsi masyarakat terpengaruh. Oleh karena itu, pemerintah mendorong program belanja di tahun ajaran baru anak sekolah.

"Pemerintah kan ngeliat event kemarin Lebaran dan Nataru itu terlalu dekat. Sehingga dalam program tahun ajaran baru ini kan ada program yang kita selipkan, yaitu program liburan," kata Airlangga.

Dia mengungkapkan pemerintah akan mendorong event baru lagi, terkait dengan diskon belanja dan liburan. "Nah, kalau ke depan ya kita persiapkan lagi untuk Nataru di akhir tahun," ujar Airlangga.


(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Rojali dan Rohana Serbu Mal, Pengunjung Ramai Tapi Belanja Sepi