Deregulasi Tahap I Meluncur, Pengusaha Buka Suara-Tunjuk Ada Borok Ini

Damiana, CNBC Indonesia
Selasa, 01/07/2025 17:15 WIB
Foto: Konferensi pers bersama terkait deregulasi kebijakan impor dan deregulasi kemudahan berusaha di Kementrian Perdagangan, Jakarta, Senin (30/6/2025). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah telah meluncurkan Paket Deregulasi Tahap Pertama kemarin, Senin (30/6/2025). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, paket deregulasi ini bagian dari strategi memperkuat ketahanan ekonomi nasional di tengah ketidakpastian perdagangan global.

Salah satunya adalah dengan merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Permendag No 8/2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Permendag ini kerap jadi sorotan dan diprotes pelaku usaha terutama padat karya seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT).

Lalu bagaimana respons pelaku usaha dengan terbitnya Paket Deregulasi Tahap I ini?


Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wiraswasta mengatakan, muatan dalam Paket Deregulasi Tahap I yang baru meluncur itu memang sudah sesuai keinginan pelaku usaha industri TPT nasional.

Hanya saja, ujarnya, ada satu masalah yang justru belum ada solusinya.

"Untuk TPT secara aturan memang itu yang diminta oleh kalangan industri. Kalau yang untuk tekstil kan tetap sama, memerlukan Pertek (Pertimbangan Teknis) dari Kemenperin. Perubahannya ada di pakaian jadi. Di Permendag 8 tanpa Pertek, di aturan baru saat ini jadi perlu pakai Pertek dari Kemenperin. Kami sangat apresiasi perubahan ini, tinggal kita perlu lihat detail di dalamnya," kata Redma kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (1/7/2025).

"Hanya saja masalah lain ada di penerbitan Pertek. Karena tidak ada transparansi dalam pemberian Pertek-nya. Sehingga meskipun ada aturan Lartas (Larangan Terbatas) seperti ini, angka impornya terus naik sementara industri dalam negeri utilisasinya turun," tukasnya.

Karena itu, dia kembali mendesak Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengevaluasi pemberian Pertek, khususnya untuk benang dan kain.

"Karena barang-barang impor yang selama ini diberikan kuota impornya oleh Kemenperin melalui Pertek, di pasar dijual dengan harga murah dan memakan pangsa pasar produk lokal di pasar, jadi penyebab predatory pricing," ungkap Redma.

"Pertek-nya udah benar, hanya dalam implementasinya jauh dari harapan. Impornya tetep tinggi. Jadi tujuan Lartas melalui Pertek yang seharusnya mengendalikan impor, justru malah menaikkan impor dan menekan produsen dalam negeri yang sejenis," bebernya.

Dia lalu menjabarkan data impor benang dan kain yang semakin naik dari tahun ke tahun. Tahun 2015, impor benang pintal dan filamen tercatat sebanyak 209 ribu ton dan impor kain tenun, rajut, dan nirtenun sebanyal 654 ribu ton.

Tahun 2006, impor keduanya naik jadi masing-masing 230 ribu dan 724 ribu ton. Lalu jadi 239 ribu dan 777 ribu ton di 2017. Terus berfluktuasi naik jadi 467 ribu dan 873 ribu ton di tahun 2024. Hanya tahun 2020 yang mengalami penurunan dari tahun 2019, yakni dari 294 ribu ton jadi 261 ribu ton, serta dari 896 ribu ton jadi 661 ribu ton. Hal ini terjadi bersamaan saat pandei Covid-19 melanda dunia tahun 2020 silam.

"Kita ambil dari 2015 saja, di mana hampir semua benang dan kain dimasukkan ke dalam Lartas Permendag-Permendag sebelumnya. Meski ada Pertek, impornya terus naik," ucapnya.

"Artinya kuota impor yang diberikan Kemenperin setiap tahunnya terus naik. Ini sangat jauh dari semangat substitusi impor," tukas Redma.

Dia pun mendesak pemerintah melakukan evaluasi atas pemberian Pertek. Karena itu menjadi kunci untuk penertiban serbuan impor yang menggerus daya saing industri di Tanah Air.

"Tapi kita sangat apresiasi Mendag sudah merevisinya dan membaginya (Permendag No 8/2024) per kluster. Tapi tetap yang harus dievaluasi adalah penerbitan Pertek-nya di Kemenperin agar tidak over kuota," pungkas Redma.


(dce/dce)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Perintah Prabowo, Aturan Permendag No. 8/2024 Akhirnya Dicabut