Sektor Formal Sulit Tampung Pekerja, Hati-hati Meregulasi Pekerja GIG

Khoirul Anam, CNBC Indonesia
17 October 2024 14:16
Pencari kerja mencari informasi lowongan pekerja dalam acara Indonesia Career Expo di Grand ITC Permata Hijau, Jakarta, Selasa (8/10/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Pencari kerja mencari informasi lowongan pekerja dalam acara Indonesia Career Expo di Grand ITC Permata Hijau, Jakarta, Selasa (8/10/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri berbasis platform digital untuk sektor transportasi atau ride hailing turut berkontribusi dalam menyerap lapangan kerja. Penyerapan tenaga kerja sektor informal atau GIG worker ini terjadi karena sektor formal tak mampu menampung jumlah angkatan kerja.

Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah menjelaskan bahwa lapangan pekerjaan di sektor formal belum mampu menyerap seluruh angkatan kerja yang mencapai 3 hingga 4 juta per tahun. Di mana daya serap industri terhadap tenaga kerja di Indonesia hanya berada di kisaran 200 ribu.

"Kita hanya mampu menyerap pertumbuhan tenaga kerja untuk masuk ke sektor formal itu di kisaran 1 juta sampai 1,250 juta. Artinya ada sekitar hampir 3 juta gap itu harus masuk ke sektor informal," ungkap dia Closing Bell CNBC Indonesia, Rabu (16/10/2024).

Piter menjelaskan ride hailing baik driver ojek online maupun sopir taksi online menjadi pilihan utama bagi para tenaga kerja dibandingkan sektor informal lainnya, seperti asisten rumah tangga, tukang kebun, penjaga toko, supir pribadi, dan supir taksi konvensional. Bahkan pekerja informal dari GIG worker ini memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Di mana sebanyak 15% merupakan sarjana.

"Artinya pekerjaan ini menjadi pilihan ketika mereka tidak tertampung. Ini tempat penampungan mereka baik ketika mereka lulus, tidak mendapatkan pekerjaan, atau ketika mereka kena PHK," jelas dia.

Piter menambahkan ketika pemerintah hendak menerbitkan regulasi terhadap GIG worker, perlu memahami kondisi, tingkat kesejahteraan, dan fasilitas yang dibutuhkan para pekerja informal itu.

"Tentunya pemerintah harus berfokus pada yang paling tidak terlindungi, tetapi kemampuan pemerintah ada batasnya," tegas dia.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Ekonomi Digital Celios, Nailul Huda memaparkan penyerapan tenaga kerja dari pertumbuhan ekonomi semakin berkurang. Namun tingkat pengangguran lebih rendah 37% di wilayah yang terlayani ride hailing.

"Jadi memang secara makro ekonomi pun, ternyata ada manfaat dari adanya GIG worker bagi pengangguran kita, yang semakin merendahkan tingkat pengangguran 37% selisihnya. Ini merupakan manfaat dari sisi penyerapan tenaga kerja," terang Nailul.

Tak hanya bagi pengangguran, GIG worker ini juga memberikan kesempatan bagi para pekerja yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) atau pekerja dengan keterbatasan usia.

"Ketika perusahaan membuka lowongan pekerjaan itu maksimal untuk umurnya di angka 30 tahun, 28 tahun, dan sebagainya. Banyak orang yang dia umurnya 30 tahun tidak tertampung di sektor formal, mereka akhirnya beralih ke sektor informal, salah satunya ride hailing maupun GIG worker lainnya," papar dia.

Di sisi lain, lanjut Nailul, mengingatkan agar pemerintah justru menaruh perhatian kepada menciptakan skema perlindungan sosial yang lebih ringan bagi pekerja gig, seperti asuransi kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, hingga jaminan pensiun. Namun, dia mengimbau kebijakan tersebut jangan sampai mereduksi prinsip GIG worker, seperti jam kerja fleksibel dan bekerja di mana pun.

"Kita tidak bisa meregulasi ini secara ketat. Karena meski ada lag, tetapi ketika kita melihat ada aturan yang ketat, ini akan mereduksi dari manfaat ekonomi pekerja GIG itu," pungkas Nailul.


(dpu/dpu)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pemerintah Tawarkan Ini ke 10 Juta Gen-Z Nganggur & Tak Sekolah

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular