
Ramai-Ramai Bank China Dilaporkan Bangkrut, 40 'Hilang' Berjamaah

Jakarta, CNBC Indonesia - Sektor perbankan China tengah geger. Dilaporkan bagaimana bank-bank hilang berjamaah.
Laporan awal dimuat awal Juli, oleh portal media Renminbao. Disebut bagaimana nasabah menyerbu Jiangxi Bank of China yang menyebabkan pihak berwenang mengirimkan polisi untuk berjaga-jaga.
"Pada tanggal 6 Juli, terungkap bahwa Bank Jiangxi telah bangkrut," muat laman itu dalam bahasa China yang diterjemahkan, dikutip Kamis (25/7/2024).
"Para deposan berkumpul di depan bank untuk membela hak-hak mereka dan menuntut perlindungan atas hak dan kepentingan sah mereka," tambahnya.
"Netizen berkata: Efek domino telah dimulai! Runtuhnya rumah-rumah dan bank-bank telah dimulai," muatnya lagi.
Sebenarnya rusuh soal bank tersebut telah dimulai di media sosial X sejak 29 Juni. Pengguna medsos mengatakan "nasabah meminta pembayaran kembali uangnya namun tak dilakukan bank".
Dalam video tersebut, sejumlah besar orang berkumpul di depan Bank Jiangxi sambil berteriak. Mereka meminta uang mereka dikembalikan, menyebut "Bayar kembali uangnya! Bayar kembali uangnya!"
Namun sayangnya tak ada komentar dari bank tersebut. Tapi dalam sebuah laman GrowthDragon, dikatakan bahwa berita kebangkrutan tak benar meski mengiyakan banyak bank di China mengalami masalah.
"Dalam pekan yang berakhir pada tanggal 24 Juni 2024, 40 bank lenyap di China, hal ini menunjukkan betapa buruknya sektor perbankan di negara tersebut," muatnya.
Sebenarnya menurut pemberitaan media lokal pada tanggal 5 Juli, lebih dari 80 bank kecil dan menengah telah melakukan merger dan reorganisasi. Ini terjadi di paruh pertama tahun 2024.
Laporan Stabilitas Keuangan Tiongkok-2023 yang dirilis oleh Bank Sentral China (PBoC) menunjukkan bahwa jumlah bank berisiko tinggi di negara itu saat ini mencapai 337 dengan total aset 6,63 triliun yuan (sekitar Rp 14 ribu triliun). Di mana sebagian besar bank kecil dan menengah.
Pada akhir tahun 2023, saldo kredit bermasalah di seluruh bank komersial berjumlah 3,22 triliun yuan. Di antara 26 bank kecil dan menengah yang terdaftar, sejumlah besar kredit bermasalah melebihi tingkat rata-rata.
Mengutip The Economist awal Juli, ada sekitar 3.800 bank kecil yang tersebar di daerah pedesaan di China. Mereka memiliki aset sebesar 55 triliun yuan, sekitar 13% dari sistem perbankan negara.
Tapi dikatakan bahwa keseluruhan telah lama dikelola dengan buruk. Sebagian besar kredit bermasalah.
"Banyak bank kecil yang terkena krisis perumahan karena memberikan pinjaman kepada pengembang properti dan pemerintah daerah. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa bank telah mengungkapkan bahwa 40% dari pembukuannya adalah kredit bermasalah," tulis laman Renminbao.
Mengutip MSN, yang menyadur laman Inggris Daily Wrap, disebut pula banyaknya bank China bangkrut. Kebanyakan berada di Provinsi Liaoning.
"Dari 40 lembaga (bank) yang baru-baru ini menghilang... 36 diantaranya berlokasi di provinsi Liaoning dan diambil alih oleh pemberi pinjaman lain bernama Bank Umum Perdesaan Liaoning," tulisnya.
Dijelaskan pula bagaimana analis pasar Cryptocurrency Sigma G meneliti situasi di sektor perbankan China. Diklaim penyebab utama permasalahan ini adalah "resesi mendalam" di sektor real estat.
"Pengembang yang memiliki banyak hutang dan pemerintah daerah gagal membayar kembali pinjamannya, sehingga menyebabkan ketidakstabilan keuangan. Harga properti anjlok, dan proyek konstruksi terhenti, sehingga semakin membebani sistem perekonomian," muat penulis laporan.
"Pertumbuhan yang didorong oleh kredit selama bertahun-tahun akhirnya berakhir, dan akibatnya adalah: pertumbuhan yang lebih rendah bagi China dan dampak negatif terhadap perekonomian global. Pertumbuhan perekonomian China yang lebih lambat pada gilirannya akan memperburuk masalah perbankan mereka juga," tambah analis itu.
Perlu diketahui utang juga kini membebani kota-kota China. Hal itu juga dampak dari krisis real estate.
"Selama dekade terakhir, banyak proyek konstruksi dibiayai dengan utang. Pembangunan infrastruktur seharusnya mendorong pertumbuhan daerah, namun setelah krisis yang disebabkan oleh pandemi COVID-19, pemerintah daerah kehilangan kemampuan untuk terus berinvestasi," muat laman itu.
Sayangnya belum ada komentar dari China soal pemberitaan ini.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article G7 Warning Bank-Bank China, Minta Setop Bantu Rusia
