Tugas Prabowo Berat! RI Dihadapkan pada 4 Krisis Tahun Depan
Jakarta, CNBC Indonesia - Era kepemimpinan Presiden Terpilih Prabowo Subianto dinilai bakal berat. Indikasinya Prabowo harus berhadapan beban utang yang tinggi dari era presiden sebelumnya, hingga terjadi deindustrialisasi pada beberapa sektor padat karya di Indonesia.
Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengungkapkan empat potensi krisis yang bakal dihadapi mulai dari krisis fiskal, krisis industri, krisis lapangan kerja, hingga krisis rupiah.
Ia menjabarkan krisis fiskal yang terjadi karena beban hutang yang tinggi dari era kepemimpinan presiden sebelumnya.
"Debt Service 2025 mencapai 43,4%, hampir 50% penerimaan negara untuk membayar bunga dan cicilan pokok utang," katanya dalam Diskusi Publik, di Universitas Paramadina, Jakarta, Kamis (11/7/2024).
Dari catatan CNBC Indonesia, utang pemerintah pada Mei 2024 mencapai Rp 8.353,02 triliun, naik 0,17% dari catatan pada bulan sebelumnya sebesar Rp 8.338,43 triliun. Posisi utang per 31 Mei 2024 itu membuat rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 38,71%. Rasio utang itu naik dari catatan per 30 April 2024 yang sebesar 38,64%.
Saat menjabat, Prabowo akan menghadapi utang jatuh tempo pada 2025 hingga 2029 mencapai Rp 3.748,24 triliun. Ini terdiri dari sebesar Rp 800,33 triliun pada 2025, Rp 803,19 triliun pada 2026, Rp 802,61 triliun pada 2027, Rp 719,81 triliun pada 2028, dan Rp 622,3 triliun di tahun terakhir.
"Kita mau tidak mau sudah terjebak dalam utang krisis industri dan sudah banyak dibahas," terangnya.
Kedua, krisis industri. Menurut Wijayanto, pada era pemerintahan Prabowo bakal terjadi deindustrialisasi dini dari sektor manufaktur. Peran industri manufaktur terhadap PDB turun kini menjadi 18% dari 22% di tahun 2010.
Bahkan ia mengatakan era saat ini minim memberikan dukungan terhadap industri manufaktur. Sehingga banyak pelaku usaha yang bakal bermigrasi menjadi agen atau pedagang produk dari China.
"Banyak pengusaha yang bilang tidak mendapatkan proteksi dari pemerintah. Mereka kalah dengan produk asing, bayangkan industri bilang gini 'saya pabrik tutup saja, saya jadi agen produk China saja. ini nama besar yang cerita," katanya.
"Makanya teman lihat pabrik tekstil, garmen tutup. ini akan terus terjadi karena mindset itu banyak di perusahaan termasuk nama besar karan tidak ada proteksi dari pemerintah," terangnya.
Ketiga, krisis lapangan kerja. Menurut Wijayanto ada 10 juta generasi Z yang menganggur, yang artinya pemerintah gagal memanfaatkan bonus demografi. Ia melihat porsi pekerja informal juga semakin tebal mencapai 60% - 70%, beda dengan beberapa tahun sebelumnya yang hanya 40%.
"Pekerja informal ini sebenarnya orang-orang menganggur yang mencoba beraktivitas untuk dapat penghidupan," katanya.
"Dan pengusaha yang saya temui juga gak ada yang bilang mereka akan ekspansi. mereka modenya stagnasi atau sebagian pengurangan karyawan," sambungnya.
Keempat, krisis mata uang Rupiah. Wijayanto membantah bahwa pelemahan mata uang Rupiah disebabkan oleh krisis dunia dan penguatan mata uang Dollar AS. Dari datanya, Rupiah melemah terhadap 81,28% mata uang seluruh dunia per Juli (YoY).
"Kalau karena krisis global ya barangkali kita hanya lemah terhadap 50% (mata uang dunia) tapi ini kita melemah terhadap 80%. Artinya problemnya ada di kita," katanya.
Selain itu menurutnya pelemahan rupiah ini terjadi karena harga komoditas yang tinggi, kemudian instrumen kebijakan BI yang mengeluarkan SRBI untuk menarik devisa, hingga penerbitan SBN dengan bunga yang tinggi.
(emy/mij)