
Sosok Dua Calon Tersisa Presiden Iran, Bawa Perang atau Perdamaian?

Jakarta, CNBC Indonesia - Persaingan untuk menduduki kursi kepresidenan Iran memasuki babak baru. Dua kandidat tersisa, Saeed Jalili dan Masoud Pezeshkian, menawarkan visi yang berbeda bagi para pemilih untuk masa depan negara tersebut.
Pezeskhian berada di urutan pertama dalam pemilihan pada 28 Juni lalu, tetapi mantan menteri kesehatan dan ahli bedah ini tidak memperoleh 50 persen suara yang dibutuhkan untuk meraih kemenangan langsung.
Ia akan mengikuti putaran kedua melawan Jalili yang berada di posisi kedua yang akan diadakan pada tanggal 5 Juli mendatang. Pezeskhian mendapatkan 10,41 juta suara, sementara Jalili mendapatkan 9,47 juta suara.
Namun, para ahli mengatakan bahwa pandangan mereka yang berbeda tidak mungkin menghasilkan perubahan signifikan dalam kebijakan luar negeri Iran.
Pezeshkian menonjol dalam persaingan tersebut sebagai satu-satunya kandidat nonkonservatif yang diizinkan untuk mencalonkan diri. Namun analis menyebut ada indikasi Pezeshkian akan mengejar tujuan utama kebijakan luar negeri reformis: merundingkan ulang kesepakatan nuklir untuk meringankan sanksi terhadap ekonomi Iran dan meredakan ketegangan dengan Barat.
Perjanjian tahun 2015 antara Iran dan China, Uni Eropa, Prancis, Jerman, Rusia, Inggris, Amerika Serikat, untuk mengekang program nuklirnya dengan imbalan keringanan sanksi, ditandatangani di bawah kepemimpinan presiden Hassan Rouhani yang beraliran tengah.
Namun 3 tahun kemudian, Presiden AS saat itu Donald Trump menarik diri dari kesepakatan tersebut, menghancurkan harapan mereka yang percaya bahwa kesepakatan itu akan membuka jalan bagi kebangkitan ekonomi Iran.
Sebaliknya, AS memberlakukan sanksi baru yang keras, dan para garis keras Iran menemukan dasar baru untuk mengatakan bahwa Barat tidak dapat dipercaya. Pembicaraan tentang kebangkitan kesepakatan tersebut sejak itu sebagian besar terhenti.
"Dalam hal kesepakatan nuklir, presiden dapat menjadi sangat penting dalam mengeksplorasi kemungkinan untuk berbagai jenis hasil," kata Vali Nasr, seorang profesor studi Timur Tengah di Universitas Johns Hopkins, seperti dikutip Al Jazeera.
"Pezeshkian akan mengajukan alasan untuk memulai pembicaraan dengan AS sementara Jalili tidak," tambahnya. "Agar sanksi dicabut, seseorang harus tertarik untuk berunding dengan Barat - apakah Anda memiliki... presiden yang keras kepala, itu akan membuat perbedaan."
Di sisi lain spektrum politik, Jalili dianggap sebagai perwakilan paling kaku dari politik konservatif.
Para analis menyebut kemenangan garis keras yang gigih ini, dengan dukungan dari kandidat putaran pertama konservatif lainnya, akan menandai pendekatan yang lebih konfrontatif terhadap Barat, terutama AS.
Setelah menjabat sebagai kepala negosiator nuklir antara tahun 2007-2012, Jalili menentang gagasan bahwa Iran harus membahas atau berkompromi dengan negara lain tentang program pengayaan uraniumnya - sebuah sikap yang ia pertahankan untuk kesepakatan tahun 2015.
Diplomasi nuklir sendiri merupakan hal yang penting bagi warga Iran karena secara langsung memengaruhi ekonomi negara tersebut - yang menjadi perhatian utama sebagian besar warga Iran. Pemerintah-pemerintah berturut-turut telah gagal mengatasi depresiasi mata uang dan inflasi, yang mereka salahkan pada rezim sanksi Barat.
Terlepas dari perbedaan sikap para kandidat, presiden Iran beroperasi dalam mandat yang terbatas. Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei dan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) di bawahnya memegang sebagian besar keputusan dalam hal kebijakan luar negeri.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 20 Calon Presiden Baru Iran, Gantikan Raisi yang Tewas Kecelakaan
