Perang Saudara Tetangga RI Memanas, Pemuda Bangkit Lawan Junta Militer
Jakarta, CNBC Indonesia - Situasi di Myanmar terus memanas. Ini disebabkan perang saudara yang terjadi di negara itu pascakudeta militer 2021 lalu.
Myanmar berada dalam perang saudara sejak junta militer pimpinan Min Aung Hlaing mengkudeta pemerintahan sipil pada Februari 2021. Kudeta, yang terjadi pada bulan Februari 2021 memicu reaksi publik yang besar, dengan demonstrasi besar-besaran yang menolaknya, yang kemudian dibubarkan secara brutal.
Ini kemudian memicu reaksi keras dari beberapa milisi etnis di Negeri Seribu Pagoda seperti Kachin dan Arakan. Mereka mulai melancarkan perlawanan terhadap rezim junta yang dianggap tidak demokratis.
Milisi etnis tersebut pun juga telah menarik sejumlah anggota baru yang memang memiliki keinginan untuk melawan junta. Posisi ini diisi banyak kaum muda dan intelektual, yang kini menjadi anggota milisi baik di garis depan maupun pendukung.
Alasan Melawan Pemerintah
Kudeta itu dilakukan setelah berhari-hari ketegangan meningkat antara pemerintah sipil dan junta militer. Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi meraih kemenangan gemilang dalam pemilu 8 November lalu.
Pemilihan ini yang dianggap bebas dan adil oleh pengamat internasional. Namun kelompok militer menilai terjadi kecurangan pemilih yang meluas, yang akhirnya menyebabkan konfrontasi langsung antara pemerintah sipil dan militer dan berujung pada kudeta.
Pascakudeta, sejumlah besar kelompok pemuda akademisi yang turun ke jalan untuk memprotes keputusan junta untuk melakukan perebutan kekuasaan secara paksa. Namun protes ini mendapatkan tindakan keras dari pihak junta.
Dalam sebulan pertama, aksi represif aparat telah menewaskan ratusan warga yang turun ke jalan. Junta juga terus menerapkan ancaman kepada warga yang melakukan protes.
Meski begitu, sekelompok warga masih terus melakukan unjuk rasa. Meski dihadang petugas dengan gas air mata, mereka mengaku hal ini lebih baik dilakukan dibandingkan hanya dia,
"Kami tahu bahwa kami selalu bisa tertembak dan terbunuh dengan peluru tajam, namun tidak ada gunanya tetap hidup di bawah junta," kata salah seorang aktivis bernama Maung Saungkha kepada Reuters tak lama setelah kudeta pecah.
Jalan Perlawanan
Atas aksi ini, sejumlah milisi etnis dan kelompok perlawanan mulai timbul. Mereka mulai melakukan serangan-serangan kepada situs-situs militer milik junta.
Para pasukan ini pun kebanyakan merupakan pemuda yang tidak mendapatkan pelatihan militer yang resmi. Namun karena situasi, mereka akhirnya harus dipangkatkan dan ditugaskan di front depan.
Salah satu pemuda yang memutuskan untuk bertarung adalah Komandan Maui, salah satu pemimpin pemberontak yang bertanggung jawab atas pemberontakan rakyat. Pria yang berada dalam usia 30 tahun an itu saat ini merupakan buronan pemerintah.
Maui mengatakan bahwa pihaknya melawan untuk mencari masa depan yang baik. Menurutnya, kekuasaan junta harus diakhiri sehingga warga dapat hidup normal kembali.
"Kami berupaya kembali ke kehidupan normal kami. Miskin atau kaya, kami tidak peduli," ujarnya saat diwawancara France 24 Februari lalu.
Junta yang Melemah
Sejauh ini, sejumlah analisa menunjukan bahwa pasukan junta mulai melemah. Beberapa laporan menyebutkan pasukan tersebut telah mengalami kehilangan penguasaan teritorial yang besar dan kekurangan anggota.
Pada Februari lalu, Myanmar mengumumkan wajib militer. Mayjen Zaw Min Tun, juru bicara pemerintah militer, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa sekitar seperempat dari 56 juta penduduk negara tersebut memenuhi syarat untuk wajib militer berdasarkan undang-undang.
Menanggapi hal ini, kaum muda berusaha melarikan diri sebelum perintah itu dilakukan. Mereka percaya bahwa hal ini adalah akibat dari kemunduran yang dialami militer dalam beberapa bulan terakhir, dimana kelompok-kelompok anti-pemerintah bersatu untuk mengalahkan junta di beberapa front utama.
"Tidak masuk akal harus bertugas di militer pada saat ini, karena kita tidak memerangi penjajah asing. Kita saling berperang. Jika kita bertugas di militer, kita akan berkontribusi terhadap kekejaman mereka," kata aktivis bernama Robert kepada BBC.
Sementara itu, dalam beberapa waktu terakhir, junta juga dilaporkan mulai mengalami kekalahan teritorial di sejumlah tempat. Salah satunya adalah di wilayah Kayin, Kachin, dan Shan, yang berbatasan dengan Thailand. Bahkan, ada pasukan junta yang lari ke wilayah Thailand dan menyerahkan diri disana.
Selain di wilayah perbatasan Thailand, militer junta juga mengalami kekalahan besar di wilayah Myanmar yang dekat dengan China. Terbaru, Milisi Tentara Kemerdekaan Kachin dilaporkan merebut delapan kota di Negara Bagian Kachin dan Negara Bagian Shan, serta mengambil alih 100 kamp militer junta.
Secara rinci, kamp terbesar yang berhasil direbut adalah kamp yang berada di dekat ibu kota Negara Bagian Kachin, Myitkyina. Hal ini pun memberikan Tentara Kemerdekaan Kachin kendali atas jalur perdagangan utama ke perbatasan dengan China.
(luc/luc)