LPEM FEB UI: Penyediaan Rumah Urusan Pemerintah, Bukan Pekerja
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah telah memperkenalkan program tabungan perumahan rakyat atau Tapera untuk menyelesaikan masalah backlog perumahan yang terus meningkat. Backlog atau krisis kebutuhan kepemilikan rumah di Indonesia mencapai 12,7 juta unit rumah pada 2023, atau naik dari data pada 2022 sebesar 11,6 juta.
Namun, tim peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) dalam laporan khusus berjudul "Ribut Soal Tapera: Kebijakan Harga Mati untuk Turunkan Angka Kekurangan Perumahan Nasional?" menegaskan bahwa kewajiban penyediaan rumah yang terjangkau dan layak bukanlah tanggungan masyarakat, termasuk masyarakat kelas pekerja dan pengusaha, melainkan kewajiban pemerintah.
Dalam UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman disebutkan bahwa negara bertanggung jawab untuk menyediakan dan memberikan kemudahan serta bantuan perumahan.
"Pada dasarnya, kewajiban menyediakan rumah layak bagi masyarakat menengah bawah adalah kewajiban pemerintah, bukan kewajiban pekerja secara umum. Hal ini sesuai dengan amanat UUD 1945 Amandemen Pasal 28H," tulis Tim Peneliti LPEM FEB UI yang terdiri dari Yusuf Sofiyandi Simbolon, Yusuf Reza Kurniawan, Nauli A. Desdiani, dan Firli W. Wahyuputri, dikutip Jumat (7/6/2024).
Di balik harga rumah yang kian mahal dan menyebabkan tinggi angka backlog di Indonesia, Tim Peneliti LPEM FEB UI pun mencatat terdapat isu inflasi harga bahan bangunan, ketidaksesuaian lokasi rumah yang tersedia dengan lokasi yang diinginkan masyarakat, serta menurunnya daya beli masyarakat.
Untuk mengatasi kompleksitas permasalahan perumahan itu, maka pemerintah mereka anggap perlu menerapkan serangkaian kebijakan sektor perumahan yang terintegrasi, dan program Tapera mereka tekankan bukan merupakan solusi utama untuk menyediakan rumah layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
"Oleh karena itu, pemerintah perlu mengkaji ulang program Tapera dan mengimplementasikan berbagai kebijakan lainnya agar masalah perumahan dapat teratasi dengan lebih efektif," sebagaumana dikutip daru laporan khusus tersebut.
Tim Peneliti LPEM FEB UI pun menyampaikan enam usulan kebijakan kepada pemerintah terkait penanganan masalah perumahan dan Tapera, berikut ini rinciannya:
Pertama, pemerintah perlu fokus pada spatial mismatch antara ketersediaan hunian dengan preferensi masyarakat dalam penyediaan perumahan. Diperlukan kebijakan yang mendorong integrasi antara penyediaan hunian oleh pengembang dengan strategi pengembangan wilayah yang berbasis keberlanjutan.
Kedua, pemerintah dapat ambil bagian dalam penyediaan hunian yang layak dan terjangkau bagi kelompok MBR, khususnya dalam mengisi the missing middle housing dalam tipologi hunian di wilayah perkotaan di Indonesia. The missing middle housing merujuk pada minimnya hunian bertingkat sedang (midrise building) di wilayah perkotaan Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah bisa memberikan insentif bagi developer yang membangun hunian dengan jenis mid-rise building (biasanya 3-4 lantai saja). Insentif yang diberikan dapat berupa insentif pajak dan non-pajak.
Ketiga, selain penguatan efisiensi di pasar perumahan, pemerintah baik pusat maupun daerah juga perlu mendorong peningkatan peran perumahan sosial (social housing) dalam penyediaan hunian bagi MBR. Perumahan sosial adalah perumahan yang fokus menyediakan hunian bagi kelompok masyarakat yang tidak mampu mengakses perumahan di pasar swasta.
Alokasi hunian dilakukan berdasarkan kebutuhan, bukan kemampuan bayar layaknya di pasar swasta. Perumahan sosial dapat disediakan oleh pemerintah sendiri (i.e. perumahan publik, rusun) maupun lembaga non-profit (i.e. perumahan komunitas). Pemerintah perlu melanjutkan program subsidi rumah untuk masyarakat menengah bawah dengan DP rendah, cicilan terjangkau, atau bahkan bebas pajak.
Adapun, rumah subsidi yang dibangun harus dekat dengan pusat perekonomian masyarakat dan diperlukan akses konektivitas (transportasi umum dan jalan tol) apabila rumah subsidi dibangun di luar pusat perekonomian. Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan insentif bagi masyarakat yang bersedia untuk tinggal di rusun dalam bentuk subsidi iuran.
Keempat, dalam meningkatkan penyediaan rumah publik, pemerintah dapat fokus memanfaatkan bangunan yang sudah terbengkalai. Diperlukan adanya regulasi yang mengatur mengenai properti kosong, dimana pemilik bangunan yang membiarkan properti kosong dalam jangka waktu yang lama dapat dikenakan pajak tambahan atau dalam batas maksimal jangka waktu tertentu dapat diambil alih oleh pemerintah seperti kebijakan yang dilakukan oleh AS, Kanada, Bangladesh, dan Jepang.
Kelima, pemerintah seharusnya memberikan perlakuan yang sama antara pasar hunian milik dan sewa. Pemerintah perlu mendorong penguatan pasar hunian sewa di wilayah perkotaan. Hal ini dapat dilakukan dengan menetapkan dan memastikan implementasi regulasi terkait kriteria rumah layak huni. Selain itu, pemerintah juga dapat mendorong kebijakan yang pro penyewa jangka panjang serta kebijakan yang mendukung pemilik hunian untuk menyewakan unitnya.
Keenam, apabila kebijakan Tapera tetap berjalan, maka dalam jangka pendek pemerintah sebaiknya melakukan uji coba terlebih dahulu di daerah metropolitan padat. Jika berhasil, program ini dapat diterapkan di kota-kota tersier dan daerah lainnya.
Tapera juga seharusnya fokus pada pendanaan untuk hunian di kawasan Transit Oriented Development (TOD) guna mengurangi ketidakcocokan lokasi hunian. Kebijakan penyediaan hunian harus diintegrasikan dengan kebijakan transportasi dan perlindungan lingkungan, sehingga strategi pembangunan perumahan ke depan tidak hanya mengurangi backlog nasional, tetapi juga mendukung pengurangan kemacetan dan perbaikan kondisi lingkungan.
(arm/mij)