
Capek Kerja Siang Malam, Gaji Karyawan Malah Dipotong 20%

Jakarta, CNBC Indonesia - Program tabungan perumahan rakyat atau Tapera yang telah diperkenalkan pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 yang telah disempurnakan melalui PP 21/2024, mendapat penolakan dari kelas pekerja dan pengusaha.
Pemerintah mewajibkan setiap pekerja yang berpenghasilan minimal UMR dan berusia minimal 20 tahun untuk menjadi peserta Tapera. Tiap bulan, penghasilan mereka akan dipotong 3% dengan skema cost-sharing, yakni 2,5% dibayarkan pekerja dan 0,5% dibayarkan oleh pemberi kerja. Sedangkan pekerja mandiri menanggung sendiri potongan 3%.
Tim peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) yang terdiri dari Yusuf Sofiyandi Simbolon, Yusuf Reza Kurniawan, Nauli A. Desdiani, dan Firli W. Wahyuputri mencatat ada sejumlah faktor yang menyebabkan masyarakat menolak program itu, meski tujuannya untuk memperoleh rumah terjangkau.
"Meskipun pemerintah memiliki alasan terkait tujuan penetapan iuran kepesertaan Program Tapera, mayoritas masyarakat-baik dari kelompok pekerja maupun pelaku usaha (pemberi kerja) yang akan terdampak-mengambil sikap penolakan terkait program Tapera. Adanya sikap penolakan tersebut didasarkan pada beberapa alasan," tulis tim peneliti LPEM FEB UI dalam laporan khusus berjudul "Ribut Soal Tapera: Kebijakan Harga Mati untuk Turunkan Angka Kekurangan Perumahan Nasional?", dikutip Jumat (7/6/2024).
Penyebab pertama munculnya penolakan dari perspektif individu pekerja disebabkan penetapan tanggungan besaran iuran simpanan peserta yang memberatkan sebesar 2,5% dari gaji bruto per bulan atau sebesar 3% dari penghasilan kotor bagi pekerja mandiri. Sebab, disamping iuran kepesertaan Tapera, nilai gaji bruto telah dipotong sebelumnya untuk membayar sejumlah komponen pemotong gaji, seperti pajak penghasilan secara progresif (PPh 21), iuran BPJS Kesehatan, serta iuran BPJS Ketenagakerjaan Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun.
Potongan gaji juga dapat bertambah jika pekerja, misalnya dikenakan biaya jabatan, dikenakan biaya pensiun, dan memiliki utang terhadap pemberi kerja. Dengan demikian, proporsi gaji/upah secara bersih (take home pay) yang dapat dinikmati oleh seseorang secara umum untuk mengonsumsi barang dan jasa - baik rutin maupun insidental - adalah maksimal sebesar 88,5% dari total gaji kotor yang dibayarkan oleh pemberi kerja atau perusahaan setiap bulannya.
Tim Peneliti LPEM FEB UI pun memberikan ilustrasi sedikitnya gaji yang dinikmati kelas pekerja di Indonesia. Jika seseorang dengan kriteria karyawan tetap yang memiliki total gaji/upah kotor sebesar Rp 120 juta setahun atau Rp 10 juta per bulan dan belum menikah serta tanpa tanggungan, maka berdasarkan hasil simulasi perhitungan PPh 21 secara sederhana diperoleh bahwa rata-rata nilai pendapatan bersih per bulan yang ia terima sebelum dan sesudah adanya pengenaan iuran kepesertaan Tapera adalah masing-masing hanya sebesar Rp 8.690.000 dan Rp 8.442.500, berkurang Rp 237.500 per bulan atau turun sebesar 2,38%.
"Adanya kewajiban membayar iuran kepesertaan Tapera tentu akan semakin menurunkan daya beli masyarakat. Pemerintah juga perlu memperhitungkan perubahan aspek perilaku konsumsi dan aspek psikologis masyarakat setelah penerapan skema Tarif Efektif Rata-rata (TER) yang tertuang dalam PP Nomor 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi," tulis Tim Peneliti LPEM FEB UI.
Kedua, dari segi manfaat yang didapatkan menurut Tim Peneliti LPEM FEB UI tidak begitu menarik bagi para pekerja. Berbeda dengan BPJS yang manfaatnya bisa dinikmati seluruh kelompok peserta, manfaat utama Tapera, yaitu KPR dengan tingkat bunga lebih rendah dari tingkat bunga pasar hanya dapat dinikmati kelompok tertentu.
Dengan kata lain, Tapera tidak bersifat universal. Pekerja yang diikutsertakan membayar iuran program Tapera tidak dapat mencairkan dana simpanan sebelum masa kepesertaan berakhir. Selain itu, pekerja juga tidak mendapatkan imbal hasil dana simpanan Tapera yang sepadan dengan nilai valuasi ekonominya setelah masa kepesertaan berakhir. Ini belum menghitung dampak inflasi yang menggerus nilai riil dari uang yang ditabung.
Sebagai contoh, masyarakat yang berpenghasilan diatas Rp 8-10 juta hanya dapat menikmati dana dan imbal hasil iuran Tapera setelah kepesertaannya berakhir. Adapun imbal hasil simpanan dana Tapera juga relatif lebih rendah dibandingkan instrumen investasi konvensional lainnya seperti saham, reksadana, obligasi.
Tapera rencananya akan menginvestasikan dana kelolaan mereka dalam bentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang sama seperti reksa dana, sehingga peserta Tapera akan mendapatkan unit penyertaan yang sesuai dengan potongan gajinya dibagi dengan NAB (Nilai Aktiva Bersih) per unit pada saat pencairan.
Maka, imbal hasil yang didapatkan tentu akan lebih rendah dari rata-rata obligasi negara yang saat ini berkisar di 6,5% atau maksimal setara dengan imbal hasil deposito di kisaran 3,5%.
Ketiga, terdapat kekhawatiran bahwa peserta program Tapera tidak mendapatkan kembali dana tabungannya secara utuh meskipun masa kepesertaannya telah berakhir.
Ditambah adanya kasus hukum yang membelit ASABRI, Jiwasraya, dan Taspen yang terjadi dalam kurun enam tahun terakhir (2018-2024), menyebabkan kepercayaan publik terhadap kredibilitas pengelolaan dana yang dihimpun oleh perusahaan milik pemerintah terciderai, sehingga terdapat persepsi negatif yang besar dalam benak publik mengenai integritas pemerintah terkait penyelenggaraan program Tapera.
"Maka dari itu, penting adanya regulasi tambahan yang mengatur secara detil mekanisme proses pencairan dari Tapera untuk meningkatkan kepercayaan publik," tulis Tim Peneliti LPEM FEB UI.
Keempat, dari perspektif pelaku usaha atau pemberi kerja (perusahaan), kewajiban menanggung beban cost-sharing atas iuran kepesertaan program Tapera sebesar 0,5% per pekerja setiap bulan tentu akan berimplikasi pada kenaikan biaya bisnis yang signifikan secara nilai ekonomi, terutama bagi perusahaan padat karya.
"Apalagi dari perspektif ekonomi keuangan publik, pengenaan iuran Tapera cenderung lebih mendekati konsep pengenaan pajak dibandingkan dengan konsep tabungan. Pada dasarnya, kewajiban menyediakan rumah layak bagi masyarakat menengah bawah adalah kewajiban pemerintah, bukan kewajiban pekerja secara umum," tegas Tim Peneliti LPEM FEB UI.
(arm/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Fakta Potongan Tapera Karyawan: Ini Tahapan, Jadwal & Besaran!