
Riset: Harganya Tak Masuk Akal, Orang RI Sulit Punya Rumah

Jakarta, CNBC Indonesia - Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) mengungkapkan penyebab mahalnya harga rumah di Indonesia, yang menyebabkan pemerintah sampai-sampai mewajibkan kelas pekerja untuk menjadi peserta tabungan perumahan rakyat (Tapera) karena tingginya angka backlog.
Dalam laporan khusus berjudul "Ribut Soal Tapera: Kebijakan Harga Mati untuk Turunkan Angka Kekurangan Perumahan Nasional?", LPEM menganggap permasalahan dasar tingginya angka backlog di Indonesia, yakni di satu sisi terdapat kelebihan penawaran rumah (oversupply housing), namun di sisi lain terjadi kekurangan penawaran rumah dengan harga terjangkau (undersupply affordable housing).
"Terdapat indikasi kelebihan penawaran di segmen perumahan bagi masyarakat kelompok pendapatan menengah ke atas. Banyak developer properti yang lebih memilih berinvestasi membangun unit rumah dan apartemen pada segmen ini - dan karenanya berinvestasi lebih sedikit untuk membangun rumah - karena pertimbangan margin profit," dikutip dari laporan khusus tersebut, Jumat (7/6/2024).
Laporan khusus yang ditulis oleh tim peneliti LPEM FEB UI, yakni Yusuf Sofiyandi Simbolon, Yusuf Reza Kurniawan, Nauli A. Desdiani, dan Firli W. Wahyuputri itu mencatat angka backlog di Indonesia masih sangat tinggi. Hingga 2023 angkanya mencapai 12,7 juta unit rumah, naik dari data pada 2022 sebesar 11,6 juta. Backlog mereka definisikan sebagai krisis kebutuhan kepemilikan rumah.
"Banyak dari penduduk Indonesia, terutama mereka yang berasal dari golongan berpenghasilan rendah dan menengah, kesulitan mengakses kepemilikan rumah yang layak huni dengan harga terjangkau dan lokasinya terhubung dengan pusat aktivitas ekonomi kota," tulis tim peneliti LPEM FEB UI dalam laporan khusus itu.
Tingginya harga rumah yang menyebabkan backlog membengkak, bukan hanya disebabkan pengembang yang enggan banyak membangun rumah terjangkau bagi masyarakat menengah dan bawah, melainkan juga disebabkan harga lahan yang tinggi, biaya konstruksi yang meningkat, dan kebijakan pembiayaan yang belum optimal.
"Untuk rumah tapak, misalnya, terdapat kendala berupa mahalnya harga lahan yang pada akhirnya menyebabkan harga jual rumah menjadi semakin mahal. Sementara itu, jika developer membangun hunian vertikal atau rumah susun (rusun) untuk kalangan menengah atau menengah bawah, margin keuntungan yang diperoleh dinilai relatif tidak sepadan dengan risiko bisnisnya," sebagaimana ditulis tim peneliti LPEM FEB UI.
Selain itu daya beli masyarakat terhadap rumah juga masih sangat rendah disebabkan oleh tingginya pertumbuhan harga rumah tipe kecil dan tingginya tingkat suku bunga perbankan untuk fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Tercermin dari hasil Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia.
Dalam SHPR itu, tim peneliti LPEM FEB UI menilai tren pertumbuhan harga properti residensial di pasar primer baru mengalami perlambatan yang signifikan ketika terjadi pandemi global Covid-19 dengan kenaikan rata-rata tahunan harga rumah tertinggi terjadi pada rumah tipe kecil (4,41% pra-pandemi vs 1,86% pascapandemi).
Sementara kenaikan rata-rata tahunan harga rumah tipe menengah dan besar relatif moderat (2,45% pra-pandemi vs 2,07% pasca-pandemi untuk rumah tipe menengah) dan (1,42% pra-pandemi vs 1,13% pasca-pandemi untuk rumah tipe besar). Meskipun tumbuh melambat, tingkat harga rumah masih relatif tinggi terutama di kota-kota besar.
Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan tingkat harga rumah masih relatif tinggi terutama di kota-kota besar. Harga rumah tertinggi terdapat di Medan dengan rata-rata harga rumah setara dengan 23,5 kali rata-rata pendapatan tahunan, lalu Surabaya 21,33 kali, Batam 20,94 kali, Makassar 19,78 kali, Jakarta 19,76 kali, Denpasar 16,9 kali, Tangerang 15,77 kali, dan Bogor 15,56 kali rata-rata pendapatan tahunan. Terendah di Malang 11,91 kali.
Meski begitu, Tim peneliti LPEM FEB UI menegaskan, berdasarkan amanat Undang Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, negara tetap bertanggung jawab untuk menyediakan dan memberikan kemudahan serta bantuan perumahan. Sejalan dengan itu, pembangunan infrastruktur, termasuk di dalamnya penyediaan perumahan dan permukiman layak, aman, dan terjangkau menjadi kewajiban pemerintah.
Sejatinya, mereka menganggap, pemerintah Indonesia telah meluncurkan berbagai program untuk meningkatkan ketersediaan rumah terjangkau, seperti Program 1 Juta Rumah sejak 2015 hingga 2022 yang bertujuan untuk menyediakan satu juta unit rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Juga, penyediaan subsidi perumahan dan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah dalam membeli rumah. Namun, berbagai kebijakan itu mereka anggap belum efektif menangani backlog.
"Namun, faktanya kombinasi dari seluruh program tersebut dinilai belum cukup untuk menekan angka backlog perumahan nasional yang masih signifikan," tegas tim peneliti LPEM FEB UI.
(arm/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article LPEM UI: Ekonomi RI Diproyeksi Tumbuh 5,17% di Kuartal I