Harga Rumah di Jakarta 19 Kali Gaji Karyawan, Medan Tembus 23 Kali

Jakarta, CNBC Indonesia - Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menyajikan data rumah di Indonesia sangat mahal. Ini salah satu penyebabnya sulitnya warga RI mendapatkan rumah.
Hasil riset LPEM FEB UI, dikutip CNBC Indonesia, Jumat (7/6/2024) harga rumah tertinggi terdapat di Medan dengan rata-rata harga rumah setara dengan 23,5 kali rata-rata pendapatan tahunan, lalu Surabaya 21,33 kali, Batam 20,94 kali, Makassar 19,78 kali.
Jakarta sendiri ternyata memiliki harga rumah 19,76 kali, Denpasar 16,9 kali, Tangerang 15,77 kali, dan Bogor 15,56 kali rata-rata pendapatan tahunan. Terendah di Malang 11,91 kali.
"Terdapat indikasi kelebihan penawaran di segmen perumahan bagi masyarakat kelompok pendapatan menengah ke atas. Banyak developer properti yang lebih memilih berinvestasi membangun unit rumah dan apartemen pada segmen ini - dan karenanya berinvestasi lebih sedikit untuk membangun rumah - karena pertimbangan margin profit," tulis riset LPEM FEB UI.
Laporan tersebut khusus yang ditulis oleh tim peneliti LPEM FEB UI, yakni Yusuf Sofiyandi Simbolon, Yusuf Reza Kurniawan, Nauli A. Desdiani, dan Firli W. Wahyuputri.
Angka backlog di Indonesia masih sangat tinggi. Hingga 2023 angkanya mencapai 12,7 juta unit rumah, naik dari data pada 2022 sebesar 11,6 juta. Backlog mereka definisikan sebagai krisis kebutuhan kepemilikan rumah.
Tingginya harga rumah yang menyebabkan backlog membengkak, bukan hanya disebabkan pengembang yang enggan banyak membangun rumah terjangkau bagi masyarakat menengah dan bawah, melainkan juga disebabkan harga lahan yang tinggi, biaya konstruksi yang meningkat, dan kebijakan pembiayaan yang belum optimal.
"Untuk rumah tapak, misalnya, terdapat kendala berupa mahalnya harga lahan yang pada akhirnya menyebabkan harga jual rumah menjadi semakin mahal. Sementara itu, jika developer membangun hunian vertikal atau rumah susun (rusun) untuk kalangan menengah atau menengah bawah, margin keuntungan yang diperoleh dinilai relatif tidak sepadan dengan risiko bisnisnya."
Tim peneliti LPEM FEB UI menegaskan, berdasarkan amanat Undang Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, negara tetap bertanggung jawab untuk menyediakan dan memberikan kemudahan serta bantuan perumahan. Sejalan dengan itu, pembangunan infrastruktur, termasuk di dalamnya penyediaan perumahan dan permukiman layak, aman, dan terjangkau menjadi kewajiban pemerintah.
Sejatinya, mereka menganggap, pemerintah Indonesia telah meluncurkan berbagai program untuk meningkatkan ketersediaan rumah terjangkau, seperti Program 1 Juta Rumah sejak 2015 hingga 2022 yang bertujuan untuk menyediakan satu juta unit rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Juga, penyediaan subsidi perumahan dan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah dalam membeli rumah. Namun, berbagai kebijakan itu mereka anggap belum efektif menangani backlog.
"Namun, faktanya kombinasi dari seluruh program tersebut dinilai belum cukup untuk menekan angka backlog perumahan nasional yang masih signifikan," tegas tim peneliti LPEM FEB UI.
(arm/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Riset: Harganya Tak Masuk Akal, Orang RI Sulit Punya Rumah