
Sejarah Tapera di RI: Penguasa Berganti, Warga Tetap Sulit Punya Rumah

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.21/2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Lewat aturan tersebut, pemerintah mewajibkan setiap pemberi kerja mendaftarkan karyawannya ke program Tapera paling lambat 2027.
Nantinya, penghasilan setiap pekerja bakal dipotong 3% yang akan disimpan dan diperoleh kembali uangnya setelah kepersertaan berakhir. Sesuai namanya, program tersebut diharapkan bisa membuat para peserta memiliki rumah.
Akan tetapi, tak sedikit orang ragu harapan tersebut bakal terwujud. Sekalipun bisa bakal memakan waktu ratusan tahun sebab tabungan bakal tergerus inflasi sementara harga lahan terus melonjak tiap tahun.
Jika gagal, maka Tapera hanya akan mengulang sejarah yang sudah terjadi sejak zaman kolonial Belanda, di mana penguasa silih berganti, warga tetap saja sulit punya rumah. Begini sejarahnya:
Masalah tak Terurai
Kebijakan perumahan rakyat mulai dilakukan pada abad ke-20 oleh pemerintah kolonial Belanda. Awalnya, mereka ogah mengeluarkan dana membangun perumahan.
Namun, berbagai desakan akhirnya membuat mereka luluh dan menyediakan rumah bagi kaum pribumi miskin melalui N. V. Volkshuisvesting (Perusahaan Perumahan Umum) dan Gemeentelijke Woningbedrijven (Otoritas Perumahan Kota). Akan tetapi, pelaksanaan kebijakan perumahan tersebut hanya janji manis belaka.
Perumahan yang dibangun tak bisa dibeli kelompok pribumi karena terlalu mahal. Desain rumahnya pun terlalu kecil dan tidak layak. Akibatnya, rumah-rumah tersebut hanya bisa dimiliki oleh kelompok kelas menengah atas.
Barulah ketika Indonesia merdeka, wacana tersebut muncul kembali. Wakil Presiden Mohammad Hatta berpandangan rumah adalah hak setiap warga negara yang harus disediakan oleh negara.
Pandangan tersebut kemudian dikemukakan dalam Kongres Perumahan Rakjat Sehat pada 1950 yang hasilnya mendorong elit nasionalis menjadikan perumahan rakyat sebagai perhatian utama. Dalam catatan Abidin Kusno di "Housing the Margin: Perumahan Rakyat and the Future of Urban Form of Jakarta" (2012), perwujudan pemerintah kala itu terlihat atas pendirian Djawatan Perumahan Rakyat untuk memproduksi dan membiayai perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Kebijakan rumah rakyat jelata, namanya. Akan tetapi, dinamika politik-ekonomi Orde Lama tak memungkinkan itu terwujud.
Soekarno lebih mementingkan proyek-proyek mercusuar. Belum lagi, selama periode itu, ekonomi Indonesia berada dalam zona merah.
Hatta yang menginisiasi program rumah rakyat juga harus tersingkir di panggung politik. Semua itu, kata Abidin, "membuat kekurangan perumahan tetap jadi masalah akut dan beban pemerintah selanjutnya."
Beban yang dimaksud kemudian dipaparkan Menteri Pekerjaan Umum era Soeharto Radinal Moochtar. Lewat "Urban Housing in Indonesia" (1979), dia menjelaskan bahwa pada tahun 1971 jumlah penduduk Indonesia mencapai 135 juta.
Dengan asumsi setiap 5 jiwa punya rumah, maka dibutuhkan 440.000 unit. Masalahnya, jumlah rumah di Indonesia belum tembus sebanyak itu. Atas dasar ini, Mochtar memperkenalkan perusahaan Perumnas.
"Fungsi utama Perumnas adalah memfasilitiasi program rumah murah dari pemerintah, mendukung pemerintah daerah mewujudkan program rumah murah, dan mengintegrasikan perumahan dengan perkembangan urbanisasi," ungkap Mochtar.
Bagi Soeharto, pembangunan rumah rakyat harus segera dilaksanakan. Sebab, katanya dikutip dari Jejak Langkah Pak Harto (2003), rumah tak hanya jadi tempat tinggal, tapi pembentukan jiwa dan watak.
Dalam pelaksanaan, Perumnas menggandeng Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional dan Bank Tabungan Negara sebagai penyedia kredit. Dalam sistem ini pula dikenal program KPR. Lewat program ini, BTN memberikan kredit murah yang bisa dicicil dalam tenor tertentu kepada rakyat supaya bisa memiliki rumah.
Perumnas diharuskan Soeharto membangun rumah bagi 100.000 keluarga yang masuk kategori penghasilan Rp15.000 sampai Rp100.000. Semua itu dilakukan bermodalkan uang Rp91 miliar dari negara. Dalam pelaksanaan di tahun pertama, perusahaan sukses membangun 2.000 rumah. Lalu berlanjut hingga 20.000 rumah di tahun berikutnya.
Semuanya dibangun di 10 kota Indonesia. Radinal Moochtar mencatat, Perumnas berhasil membangun 20.000 unit rumah baru setiap tahun. Kendati sukses, catatan paling mendasar yang diberikan adalah soal target yang tak tercapai.
Perumnas memang sukses bangun banyak rumah. Tapi, rasionya tak sebanding dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat. Akibatnya, banyak pula rakyat yang kesulitan punya rumah murah di tengah harga yang terus meroket.
Selain Perumnas, di masa Soeharto juga terdapat kebijakan pola hunian berimbang 1:3:6. Maksudnya, setiap developer swasta membangun 1 rumah, harus dibangun juga 3 unit rumah bagi kelas menengah, dan 6 unit rumah bagi kelas menengah ke bawah.
Namun, kebijakan ini tak berjalan lancar. Selain itu, dikenal juga kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat yang tercetus pada 1973 dengan maksud memberikan kemudahan kepada para PNS memiliki rumah.
Ketika Soeharto lengser, kebijakan Perumnas terus berlanjut di masa reformasi. Setiap presiden era reformasi, punya kebijakan tersendiri untuk menghadirkan rumah murah untuk rakyat, seperti subsidi hingga pembangunan 1.000 tower rusun atau rumah vertikal sejenis.
Hanya saja itu semua terganjal permasalahan klasik, yakni kenaikan harga tanah. Terus bertambahnya penduduk di banyak kota praktis menggerus lahan kosong yang ada. Alhasil, penduduk terus bertambah, lahan makin sedikit, sehingga harganya terus meroket. Akibatnya, keinginan warga punya rumah murah hanya sebatas mimpi yang sulit terwujud.
(mfa/mfa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tapera Ditolak Buruh & Pengusaha, Ini Kata Menteri Jokowi!
