
Bos Pertamina Buka-bukaan Jurus Baru Hadapi Trilema Energi

Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati menegaskan pentingnya strategi dalam menghadapi trilema energi. Terutama, di tengah tren transisi menuju energi bersih dan ketidakpastian global saat ini.
Menurut Nicke, sekalipun saat ini Indonesia menempati rangking 53 dunia terkait ketahanan energi, namun secara keseluruhan, Indonesia masih jauh tertinggal dari rata-rata dunia.
Oleh sebab itu, ia mendorong agar ketahanan energi di dalam negeri terus diperkuat. Terlebih, pemerintah mempunyai target pertumbuhan ekonomi hingga 7% per tahun.
"Apalagi mengingat target pemerintah untuk terus mempertahankan dan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 7% hingga tahun 2045 dan meningkatkan PDB per kapita melebihi US$ 30.000," kata Nicke dalam acara The 48th IPA Convention & Exhibition (IPA Convex 2024), di ICE BSD City, Tangerang Selatan, Selasa (14/5/2024).
Nicke menilai bahwa energi merupakan katalis bagi pertumbuhan ekonomi. Sehingga, upaya untuk mengamankan pasokan energi di dalam negeri menjadi hal yang cukup penting.
"Jadi kita perlu mengamankan seluruh energi dan pada saat yang sama kita juga mengurangi karbon untuk mendukung target pemerintah di tahun 2060," kata dia.
Adapun cara perusahaan untuk memperkuat bisnis yang ada saat ini yaitu dengan memaksimalkan pertumbuhan di sisi hulu dan juga pengolahan minyak (kilang), serta mengintegrasikan kilang minyak dengan bisnis petrokimia.
"Dan kita juga membangun infrastruktur yang terintegrasi, hulu dan hilir, dalam rangka memperkuat akses kita terhadap energi," ucapnya.
Sementara itu, lanjutnya, hal yang menjadi tantangan besar bagi Indonesia yaitu dalam hal keterjangkauan (affordability) atau daya beli masyarakat.
Untuk itu, perseroan juga berupaya untuk mengalokasikan 60% anggaran investasi untuk kegiatan aktivitas hulu minyak dan gas bumi. Diharapkan, ini bisa mengurangi impor minyak RI.
"Target kami pada tahun 2029 adalah swasembada minyak mentah. Saat ini sepertiga pasokan konsumsi minyak mentah kita berasal dari impor. Jadi kita akan menambah alokasi kita, kita akan menambah aktivitas hulu kita untuk meningkatkan produksi kita," ungkap Nicke.
Pihaknya juga akan berupaya untuk meningkatkan kapasitas pengolahan minyak untuk mengurangi impor Bahan Bakar Minyak (BBM) RI. Begitu juga dengan LPG.
"Sekarang kita masih impor sekitar 85% LPG dan kami akan gantikan LPG dengan jaringan gas (jargas)," ujarnya.
"Jadi dalam strategi bisnis kami juga anggarkan 17% untuk membangun bisnis gas terintegrasi dari hulu, midstream, dan hilir. Kami percaya gas akan menjadi jembatan untuk transisi dari energi fosil ke energi baru terbarukan," tuturnya.
Sementara dari sisi keberlanjutan (sustainability), pihaknya juga akan mengembangkan bahan bakar ramah lingkungan, seperti biodiesel, bioethanol, hingga bioavtur. Selain itu, perusahaan juga melakukan perdagangan karbon hingga menjalankan proyek penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage/CCS).
Dia sempat menyebut, Pertamina terus mendorong kolaborasi nasional dan global untuk menghadapi tantangan trilema energi.
Sebagai BUMN Energi, Pertamina fokus menjawab tiga isu strategis, yakni Energy Security (ketahanan energi), Energy Affordability (keterjangkauan biaya energi), dan Environmental Sustainability (keberlanjutan lingkungan).
Nicke menyebut bahwa kondisi pandemi Covid-19 dan konflik geopolitik Rusia-Ukraina telah membawa dampak signifikan terhadap ketersediaan energi di negara-negara dunia. Namun,hal tersebut tidak membawa dampak signifikan bagi Indonesia.
"Kita bisa melihat tidak ada dampak yang signifikan terhadap supply energy. Kita semua masih nyaman, bisa mengakses energi dengan harga yang affordable, dengan berbagai kebijakan yang ada," imbuh Nicke.
Untuk aspek energy equity, Nicke menilai sektor energi harus mampu mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dengan memberikan aksesibilitas energi yang adil dan merata. Sektor energi juga diharapkan dapat mendorong industrialisasi dan menyerap tenaga kerja yang dapat meningkatkan PDB dan daya beli.
Sementara itu, pada aspek environmental sustainability, saat ini Indonesia memiliki skor 63,1, sedangkan skor dunia yakni 66.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bye Minyak.. Masa Depan Energi Bersih RI Ini Diramal Cerah!
