
Bappenas Bilang Dunia Alami Polycrisis, Apa Itu?

Jakarta, CNBC Indonesia - Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti mengungkapkan bahwa dunia kini tengah dalam kondisi krisis yang dikenal dengan istilah The Global Polycrisis.
Krisis itu terjadi tatkala banyaknya efek negatif atau negative spillover yang tercipta akibat permasalahan dari sisi ekonomi, keuangan, dan lingkungan di tingkat global. Berdasarkan artikel di World Economic Forum, The Global Polycrisis merupakan istilah yang dipopulerkan oleh sejarawan Adam Tooze yang merupakan profesor sejarah di Universitas Columbia, New York.
"Kondisi geopolitik dan geoekonomi ini membuat berbagai negative spillover effect baik dari segi ekonomi, keuangan, dan lingkungan yang terjadi dan ditransmisikan dari satu negara ke negara lain. Ini yang disebut atau yang dikenal dengan the Global Polycrisis," kata Amalia dalam acara Rapat Koordinasi Pembangunan Pusat 2024, Kamis (18/4/2024).
Tanda-tanda krisis ini menurut Amalia tergambar dari berbagai negara. Mulai dari pertumbuhan ekonomi China yang melambat ke level 5% dan terus merosot ke depannya dari yang selama ini tumbuh di kisaran 7%. Ia mengatakan, tren decoupling dalam rantai nilai China dan AS yang diiringi fenomena reshoring ke negara sekutu AS, serta onshoring kembali ke AS memberikan tekanan lebih besar kepada pertumbuhan ekonomi China.
Lalu, Inggris dan Jerman menurutnya telah mengalami resesi. Disebabkan kebijakan moneter bank sentral Inggris dan Eropa yang mempertahankan suku bunga kebijakan tinggi memberikan tekanan kepada pertumbuhan ekonomi, meskipun inflasi di negara-negara itu melambat.
Di Amerika Serikat (AS), kondisi tren kebijakan suku bunga tinggi juga masih terjadi, akibat masih adanya selisih antara sasaran inflasi bank sentralnya dengan realisasi inflasi yang masih sulit turun membuat berbagai bank sentral negara-negara itu ia perkirakan masih akan mempertahankan suku bunga kebijakan tinggi. Dengan cost of borrowing yang tinggi, pertumbuhan investasi dan pertumbuhan ekonomi global ia perkirakan akan tertekan.
Amalia melanjutkan, kondisi ini diperburuk dengan semakin panasnya tensi konflik geopolitik di kawasan Timur Tengah, saat belum berakhirnya perang bersenjata antara Rusia dan Ukraina, serta Israel dan Palestina.
Serangan Iran ke Israel yang membuat panasnya tensi konflik di timur tengah menurutnya telah memberikan risiko tekanan pada harga komoditas yang akan berdampak menaikkan inflasi saat tekanan inflasi global masih tinggi.
"Indonesia perlu antisipasi terhadap kemungkinan dari transmisi efek ketidakpastian global, dan kalau kita lihat saat ini pun risiko-risiko dari tren decoupling, serangan Iran ke Israel itu selain memberi tekanan harga dimungkinkan adanya gangguan dari rantai supply global," ucap Amalia.
Akibat berbagai kondisi itu, Amalia memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2025 hanya akan bergerak di kisaran 2,7%-3,2%. Indonesia pun diperkirakan berbagai lembaga internasional menurutnya hanya akan tumbuh di kisaran 5% seperti perkiraan IMF, 4,9% perkiraan Bank Dunia, 4,9% perkiraan ADB, dan 5,2% perkiraan OECD.
Di tengah perlambatan ekonomi dunia itu, beberapa negara kata Amalia malah meningkatkan belanja pertahanannya, yang tercermin dari Defense Spending Index di kisaran 180 pada April 2024, dari posisi saat Februari 2023 hanya di kisaran 160, dan bahkan pada 2020 masih di kisaran 120.
Estimasi Defense Spending tertinggi ada di Rusia sebesar 4,4% dari PDB, diikuti AS 3,3% dari PDB, Korea Selatan 2,8 dari PDB, Inggris 2,6% dari PDB, dan Iran 2,2% dari PDB nya.
"Kalau kita lihat sejumlah negara mulai meningkatkan pengeluaran pertahanan, ditunjukkan dari defence spending index. Rusia sebesar 4,4% dan AS 3,3%," tegas Amalia.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ingatkan Soal Global, Jokowi: RI Harus Belajar dari Krisis 1998-2018
