Jakarta, CNBC Indonesia - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut melakukan penyidikan terhadap dugaan tindak pidana korupsi pembiayaan dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) kepada beberapa perusahaan. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata membeberkan salah satu penyimpangan yang sedang disidik lembaga antirasywah itu.
"Saya sampaikan terkait dengan dugaan ada penyimpangan pemberian kredit modal kerja ekspor (KMKE) oleh lembaga LPEI. Secara umum sebetulnya terkait dengan pembiayaan sebagaimana perbankan, kenapa kemudian kredit itu macet umumnya terjadi karena kurang hati-hatinya komite kredit atau pihak lembaga yang memberikan kredit itu terhadap kondisi dari debitur," ujarnya di kantornya hari ini.
Alexander lantas menceritakan salah satu perusahaan yang menerima fasilitas KMKE dari LPEI, yaitu PTPE. PTPE mendapatkan fasilitas KMKE sebanyak tiga kali, yaitu tahun 2015 (US$ 22 juta), 2016 (Rp 400 miliar), dan 2017 (Rp 200 miliar). Sehingga total KMKE yang diberikan PTPE senilai 22 juta dolar dan Rp 600 miliar.
"Ini bertujuan mendukung modal kerja PTPE dalam usaha niaga umum BBM dan bahan bakar lainnya," kata Alexander.
Dia lantas menjelaskan, kewenangan dalam proses pemberian pembiayaan di LPEI berada pada komite pembiayaan yang mana ada dua fungsi, yaitu bisnis dan risiko. Fungsi bisnis diwakili direktur pelaksana 1, direktur pelaksana 2, dan direktur pelaksana 3 serta SEVP 1. Sedangkan fungsi risiko diwakili direktur eksekutif, direktur pelaksana 4, SEVP 6, dan kepala divisi kredit reviewer.
Adapun dugaan terjadinya fraud atau kecurangan terkait pemberian fasilitas KMKE ini, menurut Alexander, yakni diduga komite pembiayaan dalam memutuskan pembiayaan pada PTPE mengabaikan security coverage ratio atau jaminan kelayakan pengajuan pembiayaan dan indikasi ketidakwajaran dalam laporan keuangan periode Juni 2015 yang dijadikan rujukan memorandum analisa pembiayaan.
"Jadi laporan keuangan PTPE diduga itu tidak mengandung kebenaran. Itu pada laporan PTPE dijadikan rujukan dalam analisis pemberian pembiayaan ke PTPE," ujar Alexander.
Eks hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta itu mencontohkan terkait agunan di mana aset tetap yang diajukan PTPE berupa tiga unit ruangan kantor berpotensi gagal dilakukan pengikatan. Ini karena belum terbit sertifikat kepemilikan atas aset itu.
Selain itu, lanjut Alexander, ada dugaan penggelembungan nilai piutang PTPE. Fidusia persediaan dilakukan peningkatan dengan kreditur lain dan jaminan pinjaman PTPE berupa personal guarantee dinilai tidak memenuhi unsur claim on basis.
"Secara keseluruhan jaminan-jaminan yang diberikan PTPE itu lebih kurangnya tidak bisa menutup fasilitas pembiayaan yang diberikan kepada PTPE. Jadi jaminannya rendah, tidak menutup kredit yang diberikan," kata Alexander.
Kemudian terkait kondisi keuangan, dia melanjutkan, di mana kondisi laporan keuangan PTPE diabaikan karena tidak sesuai dengan persyaratan financial covenant di mana current ratio PTPE lebih kecil dari satu kali. Seharusnya minimal satu kali.
Current ratio berarti rasio aset lancar. Artinya kalau perusahaan itu pailit kemudian asetnya dieksekusi, mestinya kalau current ratio di atas satu, itu bisa digunakan untuk membayar fasilitas kredit.
"Persyaratan itu sudah ditentukan oleh lembaga LPEI," ujar Alexander.
Eks pegawai BPKP itu melanjutkan, debt to equity ratio (DER) PTPE lebih besar dari empat kali di mana seharusnya maksimal empat kali. Artinya utang empat kali lebih besar dari modalnya di mana itu juga mencakup kemampuan dari PTPE untuk membayar fasilitas kredit yang sudah diberikan oleh PT LPEI.
Selain itu, menurut Alexander, terdapat peningkatan aset hingga dua kali lipat karena naiknya piutang dan pencatatan semu atas akuisisi pada PTPE. Diduga PTPE memanipulasi laporan keuangan sehingga meningkatkan nilai valuasi PT PE.
"Ini beberapa dugaan fraud yang dilakukan disebabkan tidak telitinya dari eks Komite Kredit dari LPEI dalam menganalisis laporan-laporan keuangan yang disampaikan PT PE," kata Alexander.
Selanjutnya, menurut dia, diduga komite pembiayaan menyetujui business plan yang tidak memadai sebagaimana underlying analysis KMKE berupa bisnis ritel BBM untuk memasok PLN secara tidak langsung melalui PT KPM yang kondisi keuangannya bermasalah. Kondisi ini, lanjut Alexander, tidak diungkapkan komite pembiayaan sehingga melanggar kebijakan pembiayaan LPEI.
"Bahwa PT KPM merupakan salah satu debitur LPEI yang kolektibiltas macet dan merupakan anak perusahaan PT PE. Jadi PT KPM dan PE terafiliasi," ujar Alexander.
Alumni Universitas Atma Jaya itu melanjutkan, terkait dugaan melawan hukum, direksi dan komite pembiayaan dalam pemberian KMKE yang kedua sejumlah Rp 400 miliar. Antara lain diduga terdapat pengabaian terhadap jaminan aset tetap PTPE berupa tiga unit ruangan kantor di GB Plaza yang belum diikat sempurna karena belum ada sertifkatnya dan berisiko kegagalan pengikatan jaminan.
Kemudian diduga komite pembiayaan menyetujui penambahan jaminan berupa fix asset yang belum ada dan belum dilakukan penilaian oleh appraisal. PTPE menyatakan akan menyampaikan tambahan jaminan tersebut dalam enam bulan sejak perjanjian, kemudian PT PE melakukan tambahan jaminan berupa fidusia piutang dan fidusia persediaan.
"Namun nilai likuiditas tersebut sangat rendah hanya 74% dan dinilai tidak mengkover nilai pembiayaan," kata Alexander.
Terkait kondisi keuangan, dia mengatakan, diduga komite pembiayaan mengabaikan transaksi side streaming dari PTPE terhadap PT KPM periode 2015 sampa 2016. Diduga hal tersebut terjadi karena jajaran direksi LPEI sudah mengetahui bahwa masuknya PTPE ditujukan untuk menopang outstanding PT KPM.
Komite pembiayaan LPEI, lanjut Alexander, masih menganggap bisnis PTPE berjalan normal. Di mana dalam KMKE yang pertama proyeksi suplai bbm jenis HSJ ke PLN mencapai 70 ribu kl per bulan.
"Padahal kenyataannya penjualan PT KPM ke PLN kurang 10 ribu KL per bulan. Jadi volume bisnis PTPE sendiri ternyata tidak seusai prediksi awal, yang dalam proposalnya itu lebih kurang dari 70 ribu ternyata hanya 10 ribu," ujar Alexander.
Selanjutnya, menurut dia, komite pembiayaan diduga sengaja mengesampingkan financial covenant yangt tidak tercapai oleh PTPE yang seharusnya memberikan sanksi pada debitur yang tidak memenuhi financial covenant yang dipersyaratkan. Secara sederhana, financial covenant merupakan suatu janji dari debitur di mana mereka secara periodik menyampaikan laporan keuangan kepada pihak LPEI.
"Tujuannya apa? Supaya dari laporan keuangan itu pihak pemberi fasilitas kredit LPEI bisa monitor kemampuan dari perusahaan itu secara up to date sehingga bisa menilai risiko gagal bayar dari fasilitas yang diberikan," kata Alexander.
"Itu barangkali beberapa kejadian bisa dikatakan unsur perbuatan melanggar hukum yang kami menduga dikaitkan dengan adanya unsur penyalahgunaan kewenangan dari pihak-pihak yang terlibat dalam perkara ini," lanjutnya.
Kemudian dari berbagai kejadian peristiwa yang pria kelahiran Klaten sampaikan tadi, pada tanggal 29 Juni 2020, PTPE dinyatakan pailit melalui putusan pailit. Kemudian dinyatakan bahwa tagihan LPEI atas PTPE masih senilai total Rp 844 miliar.
"Jadi saat pailit itu masih ada tunggakan tagihan PT LPEI kepada PTPE senilai Rp 840 an miliar," ujar Alexander.
Setelah PTPE mengalami pailit , maka PT LPEI lakukan upaya penyelamatan pembiayaan bermasalah dengan menggunakan skema pengalihan piutang atau cessie dari total outstanding kurang lebih US$ 60 juta dolar atau setara Rp 844 miliar.
Jadi, menurut Alexander, PT LPEI kemudian mengalihkan piutangnya atau menjual cessie dari sekitar kurang lebih US$ 60 juta dolar dijual kepada PT Catur Karsa Megatunggal (CMT) senilai US$ 10 juta dolar serta kepada PTPI sejumlah US$ 50 juta dolar yang dituangkan dalam akta tertanggal 10 Maret 2021.
"Isinya tentang kesepakatan bersama yang diteken LPEI dan GM. GM ini pemiliknya. Diketahui PT CMT memiliki saham di PTPE, sedangkan PTPI sebagian sahamnya dimiliki oleh PTPE sehingga baik PTPE, PT CMT, dan PTPI dimiliki orang yang sama, yaitu GM. Jadi ketiga perusahaan itu masih terafiliasi," kata Alexander.
Jadi, menurut dia, patut diduga pengalihan piutang hanya untuk mengalihkan dari perusahaan yang sudah pailit ke perusahaan dengan pemilik yang sama yang masih aktif.
"Terlepas kita belum lihat apakah PTPI dan PT CMT layak usahanya dan seterusnya. Nanti akan didalami dalam proses penyidikan," ujar Alexander.
Kemudian pada 2022-2023, PT CMT sudah membayar sebagian kewajiban utang atas cessie yang dibeli dari PTPI sebesar US$ 5,5 juta dolar. Sehingga outstanding dari PT CMT atas cessie tersisa US$ 4,5 juta dolar. Sedangkan cessie yang dibeli oleh pengalihan oleh PTPI sampai sekarang sejauh ini belum ada pembayaran.
"Penyimpangan yang dilakukan oleh direksi LPEI dalam pemberian jaminan fasilitas ekspor dan penyelesaian pembiayaan terdapat potensi kerugaian negara sekurang-kurangnya US$ 54,5 juta atau dengan kurs Rp 14.047,99 senilai Rp 766 miliar," kata Alexander.