Moratorium Cukai Barang Digital di E-commerce Lanjut hingga 2026
Jakarta, CNBC Indonesia - Organisasi Perdagangan Dunia alias World Trade Organization (WTO) memutuskan untuk memperpanjang moratorium tarif bea cukai atas transmisi digital dalam perdagangan elektronik (e-commerce) lintas negara hingga 31 Maret 2026.
Seperti diketahui, aturan cukai atas perdagangan e-commercer bisa dirampungkan tahun ini. Sayangnya, Konferensi Tingkat Menteri ke-13 WTO memutuskan melakukan moratorium terhadap penerapan cukai atas transmisi digital, seperti musik, e-book dan film.
Dikutip dari Nikkei Asia, India, Indonesia dan Afrika Selatan adalah beberapa negara yang paling menentang moratorium yang telah diberlakukan sejak tahun 1998. Para penentang kebijakan ini mengatakan bahwa kebijakan tersebut tidak memberikan sumber pendapatan yang berharga bagi negara-negara berkembang, namun memberikan manfaat bagi negara-negara maju.
Mereka yang mendukung kebijakan ini bersikeras bahwa kebijakan ini akan menjaga harga tetap masuk akal bagi konsumen dan memungkinkan penyebaran layanan digital ke seluruh dunia.
WTO, yang memfasilitasi dan mengatur perdagangan, terus memperbarui moratorium tersebut. Namun badan tersebut membutuhkan konsensus mengenai keputusan-keputusan penting, dan terdapat perbedaan pendapat. Terlepas dari hasil minggu ini, permasalahan atau konsekuensinya tampaknya akan tetap menjadi fokus.
Dalam artikel CSIS, Senior Adviser (Non-resident), Scholl Chair in International Business, Meredith Broadbent mengungkapkan berbeda dengan perdagangan internasional atas barang-barang tradisional (produk fisik), yang diatur oleh seperangkat aturan perdagangan bebas dan adil yang kuat dan holistik, tata kelola transmisi elektronik dan perdagangan digital melalui aturan permanen masih lemah.
"Untuk produk dan layanan yang disampaikan secara digital, tidak ada prinsip non-diskriminasi atau perlakuan nasional yang disepakati secara permanen seperti prinsip-prinsip yang mendukung prediktabilitas perdagangan barang fisik internasional. Moratorium ini merupakan pengecualian sementara terhadap lemahnya aturan perdagangan digital di dunia barat," paparnya, dikutip Senin (4/3/2024).
Dalam hal ini, India dan indonesia memang menjadi negara yang paling menentang moratorium. Kedunya meyakinkan negara-negara berkembang lainnya yang merupakan anggota WTO agar membiarkan moratorium berakhir.
"Mereka berargumentasi bahwa seiring dengan semakin banyaknya produk yang diperdagangkan secara internasional dalam bentuk digital, moratorium tersebut telah mengakibatkan hilangnya pendapatan terhadap kas negara," ujarnya.
Hal ini sangat dipertanyakan mengingat temuan berbagai penelitian. Adapun, Sekretariat WTO menilai dampak moratorium terhadap pendapatan pemerintah negara-negara berkembang secara keseluruhan berada di bawah 0,33%.
Broadbent menilai dengan arus data lintas batas global yang diperkirakan mencapai $11 triliun pada tahun 2025, pertaruhannya sangatlah besar. Hambatan perdagangan digital generasi baru akan mengganggu dan memakan banyak biaya serta mengarah pada fragmentasi pasar digital global, yang akan sangat merugikan, bahkan menghalangi banyak UKM untuk terlibat dalam e-commerce.
"Untuk memastikan bahwa jasa dan perdagangan digital terus berkembang dan mendorong perekonomian serta lapangan kerja, perekonomian global memerlukan peraturan digital multilateral yang permanen dan revitalisasi WTO untuk menegakkan peraturan tersebut," ujarnya.
(haa/haa)