Internasional

Tetangga RI Genting! Warga Kabur ke Luar Negeri-Junta Militer Melemah

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
27 February 2024 11:25
Protesters perform during a demonstration to mark the second anniversary of Myanmar's 2021 military coup, outside the Embassy of Myanmar in Bangkok, Thailand, February 1, 2023. REUTERS/Athit Perawongmetha
Foto: REUTERS/ATHIT PERAWONGMETHA

Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi di Myanmar pasca kudeta militer 2021 tidak kunjung stabil. Tiga tahun setelah kudeta dilakukan, kelompok junta militer bahkan dikabarkan melemah.

Baru-baru ini, rezim junta memutuskan menekan Undang-undang (UU) wajib militer. Dalam laporan CNN International, program wajib militer ini harus diikuti oleh semua pria berusia 18 hingga 35 tahun dan wanita berusia 18 hingga 27 tahun. Mereka diharuskan bertugas hingga dua tahun di bawah komando militer.

Selain itu, spesialis seperti dokter berusia hingga 45 tahun harus bertugas selama tiga tahun.

"Junta mengeluarkan pemberitahuan berlakunya Undang-Undang Dinas Militer Rakyat mulai tanggal 10 Februari 2024," lapor media pemerintah akhir pekan lalu.

Myanmar berada dalam perang saudara sejak junta militer pimpinan Min Aung Hlaing mengkudeta pemerintahan sipil pada Februari 2021. Kudeta, yang terjadi pada bulan Februari 2021 memicu reaksi publik yang besar, dengan demonstrasi besar-besaran yang menolaknya, yang kemudian dibubarkan secara brutal.

Ini kemudian memicu reaksi keras dari beberapa milisi etnis di negara itu. Mereka mulai melancarkan perlawanan terhadap rezim junta yang dianggap tidak demokratis.

Saat ini, kekuatan militer diyakini mulai melemah. Baru-baru ini, Aliansi Tiga Persaudaraan yang beranggotakan Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar (MNDAA), Tentara Arakan (AA), dan Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang (TNLA) telah berhasil mengambil alih kota seperti Laukkai.

Tak hanya perebutan teritorial, Aliansi Tiga Persaudaraan juga mengaku baru-baru ini menenggelamkan tiga kapal pendarat angkatan laut junta dan menghancurkan kapal perang lainnya di wilayah Negara Bagian Rakhine.

Banyak yang percaya bahwa wajib militer adalah akibat dari kemunduran yang dialami militer dalam beberapa bulan terakhir. Sebagian besar warga Myanmar pun mulai menunjukan penolakannya.

"Tidak masuk akal harus bertugas di militer pada saat ini, karena kita tidak memerangi penjajah asing. Kita saling berperang. Jika kita bertugas di militer, kita akan berkontribusi terhadap kekejaman mereka," kata seorang aktivis bernama Robert, kepada BBC.

Selain itu, banyak dari warga Myanmar malah berusaha meninggalkan negara itu. Mereka mulai berupaya mendapatkan paspor agar dapat pergi ke luar negeri, utamanya ke Thailand dan Bangladesh, yang berbatasan langsung via darat dari Negeri Seribu Pagoda itu.

Di Mandalay, dua orang dilaporkan tewas setelah berdesak-desakan di depan kantor pengurusan paspor. Selain itu, ada juga warga yang terluka dan mengalami kesulitan bernafas.

Peneliti Myanmar di Institut Studi Internasional Denmark, Justine Chambers, mengatakan wajib militer adalah cara untuk menyingkirkan pemuda sipil yang memimpin revolusi.

"Kita dapat menganalisis bagaimana undang-undang wajib militer merupakan tanda kelemahan militer Myanmar, namun pada akhirnya bertujuan untuk menghancurkan banyak nyawa... Beberapa akan berhasil melarikan diri, namun banyak yang akan menjadi tameng manusia terhadap rekan senegaranya," katanya.

Akademisi global di Woodrow Wilson International Center for Scholars, Ye Myo Hein, mengatakan sebenarnya junta memiliki sejarah panjang dalam perekrutan paksa bahkan sebelum UU wajib militer itu diberlakukan. Menurutnya, UU ini hanyalah kedok semata.

"Dengan kekurangan tenaga kerja yang parah, tidak ada waktu untuk menunggu proses perekrutan tentara baru yang panjang dan bertahap, sehingga mendorong (pejabat) untuk mengeksploitasi hukum untuk dengan cepat memaksa orang untuk melakukan pelayanan," katanya.


(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tetangga RI Memanas, Pasukan Oposisi Rebut Kota dari Militer

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular