
Prabowo: Ditjen Pajak Pisah dari Kemenkeu, Penerimaan Negara Naik 23%

Jakarta, CNBC Indonesia - Calon Presiden Prabowo Subianto telah menegaskan rencananya untuk memisahkan Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai dari Kementerian Keuangan jika kelak terpilih sebagai presiden. Dengan pemisahan ini, Prabowo berniat untuk membentuk Badan Penerimaan Negara.
"Memang kita terus saja kita ini sebagai negara sebagai bangsa kita perlu berani belajar dari pengalaman orang lain dan di banyak tempat dan negara maju memang agak dipisahkan anggaran policy making kementerian keuangan dan revenue collection," jelasnya dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia, dikutip Senin (19/2/2024).
Adapun, program ini masuk ke dalam 8 Program Hasil Cepat Terbaik Prabowo dan Gibran. Keduanya beralasan pembiayaan pembangunan ekonomi sebagian besar dibiayai oleh anggaran pemerintah. Oleh karena itu, anggaran tersebut perlu diefektifkan dari sisi penerimaan yang bersumber dari pajak dan bukan pajak (PNBP).
Untuk itu, Prabowo dan Gibran membutuhkan terobosan konkret dalam upaya meningkatkan penerimaan negara dari dalam negeri.
"Pendirian Badan Penerimaan Negara ditargetkan meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 23%," seperti yang tertulis dalam dokumen 8 Program Hasil Cepat Terbaik.
Namun, patut diketahui ide pembentukan Badan Penerimaan Negara adalah ide lama. Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan periode 2001-2006 Hadi Poernomo mengatakan rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) sebenarnya telah berusia 20 tahun.
Hadi menceritakan pada 2003 dirinya telah meminta seorang profesor di Universitas Gadjah Mada untuk mengkaji terkait kemungkinan pemisahan Ditjen Pajak dari Kemenkeu. Hasil kajian tersebut, kata dia, menyimpulkan bahwa perlu adanya pemisahan antara lembaga yang melakukan penerimaan dan melakukan pengeluaran.
"Kalau kedua itu (penerimaan dan pengeluaran) ada di satu orang tentunya tidak bagus. Pemisahan itu seperti toilet perempuan dan laki-laki, tidak mungkin toiletnya satu," kata dia dalam diskusi yang diselenggarakan Universitas Paramadina, dikutip Senin (19/2/2024).
Hadi menuturkan hasil kajian tersebut sebenarnya juga sudah dia serahkan ke Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara agar diserahkan ke presiden dan diusulkan menjadi rancangan undang-undang. Namun, kata dia, usul itu ditolak.
Hadi menuturkan penolakan untuk meningkatkan Ditjen Pajak secara kelembagaan ini kemudian memunculkan masalah. Dia bilang pada 2005, pihaknya membuat rancangan undang-undang yang isinya meminta semua pihak wajib memberikan data terkait pajak kepada Ditjen Pajak.
Kewajiban itu nantinya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Akan tetapi, RUU tersebut kemudian menemui kendala administrasi. Sebab aturan lainnya mensyaratkan bahwa penyerahan data tersebut tidak boleh diwakilkan.
"Di sini kuncinya, sehingga ini tidak jalan. Kenapa? Karena disub-delegasikan ke peraturan menteri. Di sini kuncinya sehingga ini tidak berjalan, karena itu pajak harus naik tingkat," katanya.
Terkait dengan ide ini, Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ternyata telah menuntaskan hasil kajian pemisahan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dari Kementerian Keuangan pada periode 2014-2019. Hasil kajian tersebut telah disampaikan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Anggota Komisi XI DPR Fraksi PDIP Hendrawan Supratikno menjelaskan, dalam suatu kesempatan Komisi XI DPR, mengaku pernah menyampaikan hasil kajian pemisahan Ditjen Pajak dari Kemenkeu, dengan berbagai pertimbangan.
Pertimbangan itu antara lain termuat dalam program penjabaran nawacita, terutama terkait dengan pembagian fungsi antara instansi penerima dan instansi yang mengurus belanja.
Pembagian ini dilakukan untuk mengoptimalkan rentang kendali Kementerian Keuangan yang dinilai sudah berlebih, serta untuk memaksimalkan pendapatan dengan menekan hambatan atau kendala pada aspek birokrasi.
"Namun setelah dilakukan kajian awal, muncul masalah koordinasi yang dalam konteks Indonesia, sering sulit diatasi. Spesialisasi selalu menimbulkan masalah komunikasi, koordinasi dan penciptaan sinergi, itu dialami di banyak bidang," papar Hendrawan kepada CNBC Indonesia.
Adapun, acuan yang yang digunakan oleh Komisi XI DPR kala itu adalah pemisahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian Indonesia dan Kejaksaan.
Selain itu, dia menuturkan acuan lain dari Komisi XI DPR untuk memisahkan Ditjen Pajak dari Kemenkeu adalah Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dengan Kementerian Ketenagakerjaan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan Badan Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dengan Kementerian Agama.
Sayangnya, saat itu Sri Mulyani memandang tatanan dan tata kelola yang ada saat itu masih bisa dipertahankan.
"Akhirnya dengan pendekatan 'substance over form', SMI (Sri Mulyani Indrawati) menilai tatanan dan tata kelola yang ada saat ini masih bisa dipertahankan," jelas Hendrawan.
"Itu jawaban SMI, jawaban tersebut dapat ditafsirkan 'menolak secara halus', setidaknya belum dilihat sebagai hal yang mendesak (urgent) untuk dilakukan," kata Hendrawan lagi.
Patut diketahui, wacana pemisahan Ditjen Pajak ini telah bergulir sejak 2004. Kala itu, Kemenkeu masih dikenal dengan nomenklatur Departemen Keuangan.
Usulan pemisahan berasal dari Kantor Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. Pemisahan atau reorganisasi tersebut mencakup Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukai dan Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Depkeu menjadi badan otonom. Adapun, usulan tersebut termuat dalam surat Men-PAN nomor B/59/M.PAN/1/2004 yang dikirimkan ke meja presiden.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Beda Anies-Prabowo Soal Rencana Buat Badan Penerimaan Negara
