Hotman Paris Was-was! Pajak Hiburan 40-75% Jadi 'Mainan' Pemda

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
19 January 2024 10:37
Pengacara Kondang, Hotman Paris Hutapea. (Tangkapan layar CNBC Indonesia TV)
Foto: Pengacara Kondang, Hotman Paris Hutapea. (Tangkapan layar CNBC Indonesia TV)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengacara kondang yang juga merupakan pengusaha, Hotman Paris Hutapea menilai mekanisme insentif pajak dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) berisiko memicu praktik kolusi.

Insentif pajak yang tertuang dalam pasal 101 UU HKPD pun menurut Hotman tidak menjadi solusi dari tingginya pengenaan pajak terhadap hiburan khusus yang juga ada di UU itu sebesar 40%-75%. Sebab, menurutnya tak ada pemda yang memberikan insentif pajak hingga tarifnya normal seperti selama ini 20-25%.

"Makanya itu pasal 101 bersifat ad hoc, itu akan menimbulkan kolusi dengan pemda dan paling-paling dikurangi 5% atau 7% itu sangat kasuistis, enggak bisa dipakai sebagai patokan," kata Hotman dalam program Closing Bell CNBC Indonesia, dikutip Jumat (19/1/2024).

Oleh sebab itu, dia kembali mengingatkan dispensasi dalam bentuk insentif pajak yang mengurangi tarif dan harus diajukan pelaku usaha kepada pemda untuk kondisi tertentu malah hanya akan menimbulkan praktik-praktik kolusi.

"Jadi secara kasuistis pemda bisa kasih keringanan tapi namanya juga dispensasikan itu pasti akan menimbulkan kolusi nanti, paling dikurangi 2%-5%, tetap aja tinggi kenapa enggak fix 20% itu sudah tinggi banget 20%, dari dulu kan juga 20%-25% tarifnya," kata Hotman.

Sebagaimana diketahui, Hotman bersama dengan penyanyi dangdut kenamaan yang juga merupakan pengusaha Inul Daratista dan pengusaha berbagai bidang telah memprotes ketentuan dalam UU HKPD. Mereka menolak tingginya tarif pajak hiburan khusus untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.

Namun, Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Lydia Kurniawati Christyana mengingatkan, Pasal 101 UU HKPD juga telah mengamanatkan pemerintah daerah memberikan insentif fiskal bagi pengusaha yang kondisi bisnisnya tengah sulit.

"Jadi kalau ada pelaku usaha merasa keberatan, merasa belum pulih usahanya, pelaku usaha mikro, kecil, menengah, itu bisa dapat," kata Lydia saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Selasa (16/1/2024).

Dalam Pasal 101 UU HKPD disebutkan bahwa gubernur atau bupati, maupun walikota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya dalam rangka mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi.

Insentif fiskal itu dapat berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau bahkan penghapusan pokok pajak, pokok retribusi, dan sanksinya.

Insentif fiskal ini dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Kepala Daerah berdasarkan pertimbangan, antara lain kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi

Selain itu, pertimbangan kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak.

Selain itu, beleid ini memungkinkan adanya pertimbangan untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro; untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.

"Tapi harus dilihat dulu laporan keuangannya, disampaikan ke pemda untuk minta fasilitas dari pemda. Namun jika kepala daerah merasa kondisi sosial ekonominya masih butuh dorongan maka insentif fiskal ini bisa diberi secara massal," ucap Lydia.

Pasal 6 ayat 2 UU HKPD bahkan menyebutkan jenis pajak seperti pajak hiburan dapat tidak dipungut oleh, dalam hal potensinya kurang memadai dan/atau Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan untuk tidak memungut.

"Boleh tidak memungut pajak bahkan di UU HKPD ada ruang boleh tidak memungut pajak. Tapi daerah juga harus hati-hati karena dalam penyusunan laporan keuangannya di mana di situ juga melaporkan tentang pendapatan dan belanja, bagaimana progres pemungutan pendapatannya, tentu harus ada justifikasi," ucap Lydia.

"Tapi pasti akan ditanya oleh auditor kenapa kok yang ini tidak dipungut, 'tidak potensial', hitungan tidak potensialnya seperti apa, dipersilakan saja, silakan digunakan jika tidak potensial," tegasnya.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tak Semua, Ini Daftar Tempat Hiburan yang Kena Pajak 40-75%

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular