Gara-Gara Babi, Kabar Buruk Datang Lagi ke China
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga konsumen China kembali mengalami kontraksi, bersamaan dengan berlanjutnya deflasi tingkat pabrik pada Oktober akibat lemahnya permintaan domestik. Situasi ini membebani prospek pemulihan ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut.
Data dari Biro Statistik Nasional (NBS) pada Kamis (8/11/2023) menunjukkan indeks harga konsumen (CPI) turun 0,2% pada Oktober dari tahun sebelumnya. Ini menjadi penurunan yang lebih cepat dari perkiraan penurunan 0,1% dalam jajak pendapat Reuters.
Angka headline ini disebabkan oleh penurunan harga daging babi lebih lanjut, turun 30,1%, meningkat dari penurunan 22% pada September. Penurunan terjadi di tengah kelebihan pasokan daging babi dan lemahnya permintaan konsumen.
Bahkan inflasi inti, yang tidak termasuk harga makanan dan bahan bakar, melambat menjadi 0,6% pada Oktober dari 0,8% di September. Hal ini menunjukkan China terus berjuang melawan kekuatan disinflasi dan risiko gagalnya target inflasi utama setahun penuh yang ditetapkan pada sekitar 3% oleh pemerintah.
Harga konsumen mengalami deflasi pada Juli dan kembali ke wilayah positif pada Agustus namun datar pada September. Deflasi pabrik berlanjut selama 13 bulan berturut-turut di Oktober.
Dikombinasikan dengan indikator-indikator ekonomi lainnya, ini membawa kabar "buruk" ke China. Bahwa data pada kuartal keempat (Q4) sejauh ini menunjukkan bahwa pemulihan ekonomi yang berarti masih sulit dilakukan.
"Data menunjukkan memerangi disinflasi yang terus-menerus di tengah lemahnya permintaan masih menjadi tantangan bagi para pembuat kebijakan Tiongkok," kata Bruce Pang, kepala ekonom di Jones Lang Lasalle, seperti dikutip laman yang sama.
"Bauran kebijakan yang tepat dan langkah-langkah yang lebih mendukung diperlukan untuk mencegah perekonomian dari penurunan ekspektasi inflasi yang dapat mengancam kepercayaan dunia usaha dan belanja rumah tangga," tambahnya.
Beijing telah meningkatkan langkah-langkah untuk mendukung perekonomian yang lebih luas, termasuk penerbitan obligasi negara sebesar 1 triliun yuan dan langkah yang memungkinkan pemerintah daerah untuk memenuhi sebagian kuota obligasi mereka pada tahun 2024. Namun krisis properti, risiko utang daerah, dan perbedaan kebijakan dengan negara-negara Barat semuanya mempersulit proses pemulihan.
(sef/sef)