Bukan El Nino, Peneliti BRIN Jelaskan Penyebab Panas Mendidih

Damiana, CNBC Indonesia
Rabu, 25/10/2023 19:10 WIB
Foto: Pejalan kaki menggunakan payung untuk menghindari terik matahari di kawasan Jembatan Pinisi di halte busway Karet, Jakarta, Rabu (27/9/2023). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia tengah mengalami cuaca panas mendidih dan kekeringan ekstrem, dengan suhu maksimum tertinggi mendekati 40 derajat Celcius. Semarang dan Kertajati dilaporkan jadi 2 wilayah di Indonesia yang mencetak suhu maksimum tertinggi dalam beberapa waktu terakhir.

Apa pemicunya?

Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kondisi ini disebutkan efek fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) positif yang menyebabkan anomali kenaikan suhu dan menurunnya pembentukan awan hujan di selatan ekuator.


Juga, dipicu anomali kenaikan suhu permukaan laut El Nino yang terjadi di laut pasifik di ekuator bagian timur. Ditambah pengaruh angin dari Australia yang lebih kering yang menyebabkan musim kemarau kali ini lebih menyengat dibandingkan musim kemarau biasa.

Hanya saja, hasil kajian dan diskusi peneliti di Tim Variabilitas, Perubahan Iklim, dan Awal Musim Badan Riset dan Inovasi Nasional (TIVIPIAM-BRIN) menemukan fakta lain.

Ketua Tim TIVIPIAM BRIN Erma Yulihastin menjelaskan, dari kajian terbaru, cuaca panas di Indonesia saat ini ternyata belum sepenuhnya dipengaruhi oleh El Nino. Dia pun menyebutkan, hal ini menunjukkan, Indonesia masih akan mengalami penguatan El Nino. Atau, belum memasuki fase penurunan dalam satu siklus hidup El Nino.

"Ada beberapa poin penting yang menjadi catatan hasil diskui dan kajian kami Tim Variabilitas, Perubahan Iklim, dan Awal Musim Badan Riset dan Inovasi Nasional. Pertama, dalam konteks kekeringan yang terjadi saat ini, sebenarnya dampak kekeringan itu lebih banyak dipengaruhi oleh IOD positif bukan oleh El Nino. Jadi kekeringan sekarang lebih banyak dikontrol oleh IOD positif," katanya kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (25/10/2023).

Dia menjelaskan, perilaku El Nino maupun La Nina atau El Nino-Southern Oscillation (ENSO)memiliki siklus hidup. Di mana, perjalanan atau penjalaran dari gelombangnya berawal dari bagian paling timur yaitu Samudra Pasifik dekat Peru lalu akan perlahan menjalar menuju ke barat yaitu di Samudra Pasifik ujung barat yang letaknya di dekat Papua.

Erma menjelaskan, untuk mengukur indeks dan kekuatan intensitas El Nino, dalam pemodelan dilakukan pembagian wilayah menjadi area 1 dan 2 yang berada di wilayah timur Samudra Pasifik ke arah Peru, serta area 3 dan 4 yang semakin ke barat Samudra Pasifik. Area 4 berada lebih dekat ke Papua.

Lalu ada area 3.4 yang diyakini lebih berpengaruh kepada kondisi iklim di Indonesia.

Sementara, lanjutnya, tipikal siklus hidup El Nino maupun La Nina adalah 9 bulan. Artinya, jika El Nino di Indonesia disebutkan resmi dimulai sejak Juni 2023. Artinya, puncak El Nino di Indonesia justru akan terjadi di kisaran bulan November 2023-Februari 2024.

"Mengapa seperti itu? Karena lidahnya itu menjalar perlahan. Jadi, sekarang anomali suhu tertinggi itu masih terjadi di area 2," kata Erma yang juga Peneliti Klimatologi Pusat Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional BRIN.

"Setelah sempat ke level puncak di 3,5, levelnya di nino area 2 itu menyentuh 2,32. Artinya ada penurunan. Kalau sudah 3,5 itu bukan super El Nino lagi, tapi gorila El Nino," tambahnya.

Tren penurunan itu, jelasnya, mengonfirmasi lidah El Nino dari area 2 sedang menjalar menuju area 3. Hanya saja, lanjut Erma, pada saat menjalar itu, lidah El Nino tersebut juga sambil mengalihkan energi panasnya ke daerah ke barat, ke wilayah nino 3.

Karena itu lah, lanjutnya, indeks di nino 3 kini mulai merangkak naik menuju level 2.

Pantauan Erma pada hari Senin (23/10/2023), indeks di nino 3 bahkan sudah mencapai plus 1,92 dan di nino 3.4 mencapai plus 1,59.

"Ketika indeks mencapai 2 di nino 4 atau 3.4 yang paling dekat ke Indonesia, baru lah pada saat itu akan semakin terasa kekeringannya. Ini yang mau saya ingatkan, di mana semua pemodelan sepakat menunjukkan bahwa El Nino ini masih dalam perjalanan dari timur," kata Erma.

"Apakah ada kemungkinan akan tiba-tiba turun? Menurut teori El Nino nggak mungkin karena ini menyangkut kondisi perubahan di laut yang terjadi secara perlahan. Ada pengaruh angin sirkulasi Walkere yang bergerak mentransfer energi panas dari timur, perlahan menuju barat," terangnya.

Karena itu lah, imbuh dia, kajian TIVIPIAM-BRIN terbaru menyepakati fakta, kekeringan saat ini masih didominasi efek pengaruh IOD positif, belum El Nino.

"Karena kalau kita lihat, di Papua juga masih terpantau ada pembentukan siklon. Artinya kondisinya masih baik-baik saja, belum ada anomali yang memicu kekeringan di Papua," katanya.

"Artinya, El Nino ini masih bergerak menjalar ke area 3, di mana butuh waktu sekitar 2 bulan dari area 2. Jika demikian, baru akan sampai ke area 3 sekitar bulan November-Desember 2023, bertepatan dengan periode musim hujan," tambahnya.

"Kemudian akan bergerak ke 4 di bulan Januari-Februari 2024, dan masuk area 3.4 kemungkinan di bulan Desember 2023-Januari 2024. Jadi pas 1 siklus kehidupan El Nino selama 9 bulan. Lalu intensitas El Nino akan mulai menurun," ujarnya.

Hanya saja, Erma mengingatkan, El Nino yang terjadi tahun ini bertepatan dengan peningkatan suhu bumi 1,5 derajat Celcius. Sehingga, dia mengkhawatirkan, intensitas El Nino di area 3.4 akan bertahan tinggi dan lama, nggak turun-turun seperti El Nino tahun 2015.

"El Nino tahun 2015 itu, ketika seharusnya dia sudah di fase menurun, ternyata bertahan. Sehingga siklus hidupnya saat itu bukan lagi 9 bulan, melainkan lebih 1 tahun, bahkan hampir 2 tahun. Pada saat itu, Ahli El Nino NOAA, Michael McPhaden, menyebut El Nino tahun 2015 itu Gorila El Nino. Karena bertahan lama dengan intensitas tinggi," papar Erma.

"Pada saat itu, tidak ada satu pun model yang berhasil memprediksi El Nino akan sekuat itu dan bertahan selama itu," katanya.

Lalu apakah Indonesia berpotensi mengalami Gorila El Nino?

Erma mengatakan, saat ini para peneliti masih menunggu.

"Apakah kita akan ada potensi Gorila El Nino? Kita tidak tahu, semua ilmuwan kini masih wait and see, harap-harap cemas. Karena baru pertama kali dalam sejarah, El Nino terbentuk saat suhu bumi sudah lebih 1,5 derajat Celcius. Ini yang kemungkinan memberi andil akan mempertahankan El Nino. Karena ada supply overheat itu," terang Erma.

"Pemodelan yang dilakukan BOM (Bureau of Meteorology)-Biro Meteorologi Australia, menunjukkan intensitas El Nino yang berpotensi semakin menguat. Pemodelan oleh BOM ini mengakomodasi kenaikan suhu bumi efek pemanasan global, yang kini mencapai 1,5 derajat Celcius. Sehingga, apa pun bisa terjadi," ujarnya.

Dari hasil pemodelan BOM tersebut, katanya, EL Nino akan semakin menguat dalam pergerakan menuju area 3 dan 4, artinya semakin ke barat mendekati Papua.

"Kalau pemodelan lain menunjukkan kondisi biasa, artinya El Nino akan menurun di bulan Februari nanti (2024). Tapi tidak dengan BOM, dengan faktor pemanasan global, El Nino ini diperkirakan akan terus menguat, bisa bertahan lama, yang kita sebut multiyears El Nino. Mirip tahun 2015," pungkas Erma.


(dce/dce)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Sengketa Pulau Tujuh, Gubernur Babel Gugat Mendagri