Aneh! Pengusaha Sepatu Tolak Pemerintah Jokowi Perketat Impor
Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) menolak keputusan pemerintah memperketat impor. Direktur Eksekutif Aprisindo Firman Bakri menilai kebijakan tersebut serampangan, tidak memilih mana yang baik dan mana yang merugikan.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang telah memerintahkan jajaran kabinetnya agar mengawasi dan memperketat arus masuk barang-barang impor demi menjaga keberlangsungan produksi di dalam negeri.
"Salah resep dan salah obat, kami tolak pengetatan impor secara serampangan. Tidak dipilih mana yang baik dan mana yang merugikan," kata Firman kepada CNBC Indonesia, Jumat (20/10/2023).
Menurut Firman, tidak semua pelaku importir merugikan pelaku usaha dalam negeri, sehingga tidak bisa dipukul rata merugikan. Ada diantaranya, kata dia, merek lokal yang butuh penambahan variasi produk dan ada global brand yang ekspornya juga besar tapi butuh impor dalam skala kecil.
"Dengan pengetatan impor secara masif justru akan merugikan pelaku usaha yang jujur dan taat aturan," ujarnya.
Firman juga menilai perubahan aturan pengetatan impor-nya sendiri ternyata salah diagnosis, "Karena kalau dikatakan banjir impor apanya yang banjir?."
"Kalau pakai data BPS sebenarnya saat ini tidak terjadi yang namanya banjir impor. Impor pada pre-pandemi dan post-pandemic (2019 vs 2022) kenaikannya hanya 1,2%. Kemudian impor bulan Januari-Juli 2023 dibanding periode yang sama tahun 2022 kenaikannya juga hanya 4,5%," jelas dia.
Apabila kemudian dengan data tersebut, lanjutnya, pemerintah meyakini lesunya sejumlah pedagang ritel karena ada banjir impor, maka seolah pemerintah ingin mengonfirmasi benar saat ini terjadi penurunan daya beli. Sehingga dengan pertumbuhan impor yang kecil tersebut, ritel mengalami penurunan secara masif.
"Kalau problemnya adalah penurunan daya beli, pengetatan impor bukan solusi permanen dan tepat," tukasnya.
Selain itu, pihaknya juga mencoba membandingkan data BPS dengan data International Trade Center (ITC), dari tahun ke tahun terdapat selisih data impor BPS dengan data ekspor ke Indonesia dari ITC.
"Kami mengambil data sampel impor alas kaki Indonesia dari China dengan menggunakan sumber data BPS dibandingkan dengan data ekspor alas kaki China ke Indonesia menggunakan data ITC pada tahun 2022 terjadi perbedaan data yang sangat tinggi," kata Firman.
Perbedaan data ini, katanya, harus dibaca dengan data ekspor dari China yang tidak tercatat dalam angka impor Indonesia. Data ini menunjukkan adanya potensi impor ilegal pada alas kaki masuk ke pasar Indonesia. Pada tahun 2022 potensi angka impor ilegal mencapai 160% dibanding impor yang tercatat di BPS.
Dalam 18 tahun terakhir puncak pertumbuhan impor ilegal terjadi pada tahun 2014 yang mencapai 190% dan 2022 mencapai 160%. Data tersebut, menurutnya, juga harus dibaca bahwa pemindahan impor dari post border ke border tidak mencegah impor ilegal.
"Saya rasa kuncinya kembali pada penegakan hukum. Sebagus apapun sistemnya di belakang sistem ada manusia yang mengoperasionalkan. Dengan selisih data yang sudah berlangsung selama decade ini, rasanya perlu penegakan hukum secara lebih kuat lagi," ucapnya.
Lebih lanjut, Firman menilai kejahatan kepabeanan harus dimasukkan dalam kelompok extraordinary crime, supaya ada efek jera dan efek gentar bagi pelaku dan calon pelaku.
"Pelaku impor ilegal bisa dan bahkan sudah merusak tatanan ekonomi nasional, menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan merusak mimpi generasi yang akan datang utk bisa mendapatkan kesejahteraan yang layak," pungkasnya.
(dce)