
Sebut Hati-hati, Sengeri Apa Malapetaka yang Disebut Jokowi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyuarakan kekhawatiran akan situasi dunia saat ini. Ada malapetaka yang tampak sangat mengerikan sehingga semua pihak haru berhati-hati.
Hal ini disampaikan Jokowi pada Festival Lingkungan, Iklim, Kehutanan, dan Energi Baru Terbarukan (LIKE) di Indonesia Arena Gelora Bung Karno, Jakarta, awal pekan ini. Secara langsung persoalan ini sudah dirasakan masyarakat Indonesia. Cuaca kini semakin panas, ditambah polusi yang membuat nafas semakin sesak. Kekeringan melanda berbagai wilayah Indonesia.
"Hati-hati, hati-hati. Ancaman perubahan iklim sudah nyata dan sudah kita rasakan dan dirasakan semua negara di dunia. Suhu bumi yang semakin panas, cuaca juga semakin panas, kekeringan ada di mana bukan hanya di Indonesia saja. Akhirnya apa? ada krisis pangan," jelasnya.
Ancaman krisis pangan terlihat nyata dari lonjakan harga beras serta keputusan banyak negara Asia telah mulai memberlakukan pembatasan ekspor. Harga beras menembus rekor tertinggi sejak tahun 2008 atau lebih dari 15 tahun. Harga beras melonjak sejak pertengahan tahun lalu dan juga belum turun hingga saat ini. Kekeringan hingga pembatasan ekspor membuat beras semakin mahal.
Merujuk Refinitiv, harga beras global benchmark Thailand menembus US$ 614 per ton pada pekan ini. harganya terbang 33% lebih dalam setahun dan berada di level tertingginya sejak awal November 2008 atau hampir 15 tahun terakhir.
Beras merupakan makanan vital bagi penduduk dunia. Hampir 20% kalori yang dikonsumsi oleh separuh dunia berasal dari biji-bijian, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO). Angka-angka ini menjadi lebih relevan di Asia, karena benua ini mengkonsumsi sekitar 85% dari total produksi beras, kata FAO.
Maka tidak mengherankan jika kenaikan harga beras, yang tertinggi sejak tahun 2008, telah memicu peringatan di seluruh dunia, hingga para ahli mengkhawatirkan kemungkinan terjadinya krisis pangan di Asia.
India, eksportir beras terbesar di dunia, baru-baru ini menerapkan larangan ekspor beras non-basmati dan dedak padi (yang terakhir digunakan untuk pakan ternak).
Dimaksudkan untuk membantu mengatasi kenaikan inflasi, larangan baru ini mengikuti larangan ekspor beras pecah yang diperkenalkan tahun lalu. Dan dengan semakin dekatnya pemilu, larangan ekspor, seperti halnya di negara-negara lain, tampaknya tidak mungkin dicabut.
Lebih buruk lagi, negara eksportir beras terbesar kedua dan ketiga di dunia - Thailand (15% dari ekspor beras global) dan Vietnam (14%) - tidak memiliki pasokan beras saat ini dan di masa depan, sebagian disebabkan oleh perkiraan dampak El Niño. untuk membantu mengisi kesenjangan yang ditinggalkan oleh India.
Thailand, salah satu eksportir utama dunia, mengalami kenaikan harga ekspor beras hingga lebih dari US$600 (21.480 baht) per ton, atau meningkat hampir 50% dari tahun ke tahun. Hal ini menimbulkan kekhawatiran serius bagi para pengambil kebijakan. Kondisi cuaca buruk, termasuk curah hujan yang tidak konsisten dan kekeringan, berdampak pada tanaman di seluruh dunia, membatasi pasokan dan menaikkan harga.
Hal ini merupakan pukulan bagi Asia, yang menyumbang 90% produksi beras dunia, menurut data Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA).
Simak ulasan Tim Riset CNBC Indonesia di sini!
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Peringatan Jokowi untuk RI, Siap-Siap Dihantam Malapetaka