
Ecommerce Haram Jual Barang Impor Rp 1,5 Juta, Kapan Berlaku?

Jakarta, CNBC Indonesia - Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan (Kemendag) Suhanto menyampaikan harmonisasi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 50/2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik masih dalam proses harmonisasi antar kementerian/lembaga (K/L).
"Masih harmonisasi. Harmonisasinya masih belum selesai antar K/L," kata Suhanto saat ditemui di Kantor Kementerian Perdagangan, Jumat (25/8/2023).
Dia mengatakan, saat ini pihaknya masih mendapat banyak masukan-masukan dari asosiasi, dan pihaknya akan menampung dulu masukan tersebut baru setelah itu akan dikomunikasikan lagi ke K/L terkait.
"Kita masih banyak masukan dari asosiasi, tentunya kita tampung dulu baru kita komunikasikan lagi dengan K/L terkait," ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Pengusaha Logistik E-Commerce (APLE) Sonny Harsono mengkritik rencana pemerintah melarang e-commerce menjual barang impor murah, yaitu US$100 atau sekitar Rp1,52 juta (kurs Rp15.296). Dia bahkan mengancam akan mengajukan gugatan ke PTUN jika pemerintah tak membatalkan rencana itu.
Menurut Sony, kebijakan itu bukan menguntungkan UMKM, tapi malah berpotensi melumpuhkan UMKM di dalam negeri. Dia menyebut ada empat ancaman yang akan merugikan Indonesia apabila kebijakan tersebut disahkan, yakni seperti malah jadi menyuburkan impor ilegal, UMKM RI terancam lumpuh, potensi aksi balas dendam negara lain, hingga ancaman PHK massal.
"Dan yang paling penting adalah UMKM-nya sendiri malah dirugikan. Kita sudah bersurat, menyampaikan keberatan kita. Kita akan eskalasi, tapi kalau semua cara mentok, kita akan ambil langkah hukum, kita akan gugat kebijakan ini ke PTUN," katanya dalam keterangan resmi, dikutip Jumat (25/8/2023).
Namun, Suhanto mengatakan, revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tidak akan membahayakan UMKM maupun masyarakat Indonesia karena telah mendapatkan masukan dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM).
"Oh nggak lah, nggak mungkin (membahayakan UMKM). Kan kita justru juga mendapatkan masukan dari Kemenkop UKM, dari Pak Teten. Pak Teten kan sebagai pembina UKM pasti sudah menyaring masukan-masukan dari UKM sehingga masuk di dalam kebijakan tersebut," ujarnya.
Lebih lanjut, Suhanto menilai pelaku usaha yang menolak adanya revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 justru karena mereka memiliki kepentingan tersendiri.
"Justru cara pandang seseorang beda-beda. Kadang kan kalau pelaku usaha melihat dari kepentingannya, kepentingan antara (pelaku usaha) yang gede dan yang kecil kan beda-beda," pungkasnya.
Kebijakan Populis
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, kebijakan pengendalian impor e-commerce berpeluang memunculkan barang impor ilegal.
Menurut Bhima, seharusnya pengaturan predatory pricing dipertegas pemerintah dalam revisi regulasi existing. Bukan hanya merugikan pelaku UMKM, Bhiman menekankan kebijakan tersebut berpotensi menghilangkan pendapatan negara.
"Dari mulai kehilangan PPN, PPh Badan, PPh karyawan. Mungkin bisa lost 40-50 triliun per tahun hanya dengan larangan 100 dolar," kata Bhima dalam keterangan resmi yang dipublikasikan Asosiasi Pengusaha Logistik E-Commerce (APLE).
Bhima menilai kebijakan yang diambil pemerintah ini tak memikirkan secara matang ekses dampak dan tak melibatkan semua stakeholder. Kebijakan itu bahkan disebutnya lebih condong diambil karena anggapan populis jelang Pemilu 2024.
"Kebijakan ini membingungkan. Masalah pajak, Kementerian Keuangan dan bea cukai harus bicara. Pengaruh tax avenue harus dipikirkan. Kementerian tenaga kerja harus angkat bicara, ada UMKM mempekerjakan karyawan, akan ada lay off," tukasnya
Bhima juga menuturkan, larangan impor di bawah US$100 sebagai bentuk ultra proteksionis yang justru berbeda dengan komentar Presiden Joko Widodo mengenai UMKM di tingkat ASEAN.
Menanggapi hal itu, dalam kesempatan yang sama, Asisten Deputi Bidang Pembiayaan dan Investasi UKM Kementerian Koperasi dan UMKM Rossa Novitasari mengatakan, revisi Permendag No 50/2020 dimaksudkan agar UMKM, produsen dan masyarakat dapat terlindungi dalam ekosistem digital. Dia berharap adanya masukan yang konkret dari stakeholder kepada pemerintah, sehingga kebijakan diambil akan baik untuk negara dan khususnya pelaku UMKM.
(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ecommerce Dilarang Jual Barang Impor, Ini Kata Pengusaha RI