Internasional

Terungkap! Alasan NATO Tak Ingin Rusia-Ukraina Berdamai

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
21 August 2023 10:00
(From L) US President Joe Biden, NATO Secretary General Jens Stoltenberg and Lithuania's President Gitanas Nauseda attend the first work session as part of the NATO summit, in Vilnius on July 11, 2023. NATO leaders will grapple with Ukraine's membership ambitions at their summit on July 11, 2023, their determination to face down Russia boosted by a breakthrough in Sweden's bid to join the alliance. (Photo by Jacques WITT / POOL / AFP)
Foto: AFP/JACQUES WITT

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan aliansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), yang terdiri dari Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, tidak ingin perang antara negaranya dengan Ukraina berakhir dengan damai.

Dalam sebuah wawancara dengan International Affairs, yang diterbitkan di situs Kementerian Luar Negeri Rusia, Lavrov menyebut AS tidak memiliki niat untuk mengakhiri konflik dan memiliki tujuan resmi untuk menimbulkan kekalahan strategis di Rusia.

"(Ini) untuk melemahkan kita sebanyak mungkin secara militer, ekonomi, dan politik. Washington terus bersikeras bahwa penyelesaian hanya dapat dinegosiasikan dengan persyaratan Ukraina, yang berarti formula perdamaian (Presiden Volodymyr) Zelensky yang terkenal kejam," kata Lavrov, dikutip Senin (21/8/2023).

Lavrov pun mengingatkan pada Desember 2021, negaranya telah melakukan upaya drastis untuk menyampaikan keprihatinan Rusia kepada ibu kota Barat dengan mengajukan dua draf perjanjian, yakni tentang jaminan keamanan dengan AS dan langkah keamanan dengan negara-negara anggota NATO.

"Namun, inisiatif kami ditolak dengan angkuh. Alih-alih bernegosiasi, mereka mengarahkan semua upaya mereka untuk meningkatkan produksi senjata dan amunisi untuk Ukraina, yang memicu peningkatan ketegangan regional lebih lanjut," jelas Lavrov.

Menurut Lavrov, posisi AS merupakan ultimatum yang tidak berguna.

"Tidak masuk akal untuk menuntut agar kami menyetujui solusi yang merugikan kepentingan keamanan fundamental kami dan membuka pintu untuk perlakuan melanggar hukum lebih lanjut terhadap etnis Rusia dan orang-orang berbahasa Rusia di wilayah baru dan wilayah yang dikendalikan oleh Angkatan Bersenjata Ukraina," jelasnya lagi.

Lavrov pun menyebut pendekatan Rusia konsisten dan transparan, di mana pihaknya selalu mengatakan siap untuk dialog yang bermakna.

"Seperti yang Anda ketahui, sejak hari pertama operasi militer khusus, Rusia terbuka untuk membahas cara mencapai tujuan dan sasarannya melalui sarana politik dan diplomatik. Kami segera menanggapi proposal Ukraina untuk memulai pembicaraan dan kami mengambil bagian di dalamnya sampai pihak Ukraina menyela mereka pada April 2022 atas permintaan Barat," katanya.

"Belakangan, pada 30 September 2022, Volodymyr Zelensky menandatangani perintah eksekutif yang mengesampingkan negosiasi apapun dengan kepemimpinan Rusia. Oleh karena itu, Kyiv-lah, yang dimanipulasi oleh pelindung luarnya, yang menyabotase upaya diplomatik."

Sabotase upaya diplomatik termasuk menggelar pertemuan multilateral, termasuk di Kopenhagen atau Jeddah, untuk mencari jalan keluar perdamaian perang Rusia-Ukraina tanpa adanya perwakilan dari Moskow.

"(Ini digelar) dengan harapan meyakinkan negara berkembang untuk mendukung formula perdamaian Zelensky. Pada saat yang sama, Moskow dituduh enggan untuk bernegosiasi, sementara setiap argumen tentang perlunya mempertimbangkan kepentingan vital negara kita segera ditolak. Jelas bahwa pendekatan semacam itu hampir tidak menunjukkan niat Barat untuk bernegosiasi dengan Rusia."

Uji Kesabaran Rusia dalam Kepemilikan Senjata Nuklir

Di sisi lain, Lavrov mengatakan bahwa kepemilikan senjata nuklir melindungi Rusia dari ancaman keamanan dan Moskow terus mengingatkan negara-negara Barat akan risiko untuk mencegah konflik kekuatan nuklir.

"Kepemilikan senjata nuklir saat ini adalah satu-satunya tanggapan yang mungkin untuk beberapa ancaman eksternal yang signifikan terhadap keamanan negara kita," kata Lavrov.

Bulan lalu, mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev mengatakan Moskow harus menggunakan senjata nuklir jika serangan balasan Ukraina terhadap pasukan Rusia berhasil.

Barat sendiri menyediakan senjata ke Ukraina saat mencoba merebut kembali wilayah yang telah dianeksasi Rusia secara sepihak sejak menginvasi tetangganya pada Februari 2022.

Lavrov mengatakan bahwa AS dan sekutu NATO berisiko berakhir dalam situasi konfrontasi bersenjata langsung dari kekuatan nuklir.

"Kami percaya perkembangan seperti itu harus dicegah. Itulah mengapa kami harus mengingatkan tentang adanya risiko militer dan politik yang tinggi dan mengirimkan sinyal serius kepada lawan kami," kata Lavrov.

Presiden AS Joe Biden sebelumnya menyebut ancaman Rusia menggunakan senjata nuklir taktis nyata sementara kepala NATO Jens Stoltenberg mengatakan bahwa aliansi militer belum mendeteksi adanya perubahan pada pasukan nuklir Rusia.


(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ngeri! Ternyata Ini yang Terjadi jika Ukraina Gabung NATO

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular