Nih! Komentar 5 Ekonom RI Soal APBN Terakhir Jokowi Rp3.304 T
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengumumkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau RAPBN 2024. Anggaran terakhir Jokowi itu diarahkan untuk menjaga perekonomian masyarakat dari gejolak global sambil mendorong transformasi ekonomi.
Dengan arsitektur APBN tersebut, pemerintahan Presiden Jokowi menargetkan pertumbuhan ekonomi pada 2024 sebesar 5,2%, rata-rata nilai tukar rupiah Rp15.000 per dolar AS, inflasi di kisaran 2,8%, serta rata-rata suku bunga Surat Berharga Negara 10 tahun diprediksi pada level 6,7%.
Dari sisi pendapatan negara direncanakan sebesar Rp2.781,3 triliun, sedangkan belanja negara dialokasikan Rp3.304,1 triliun. Dengan demikian defisit anggaran ditargetkan 2,29% PDB atau sebesar Rp522,8 triliun dengan keseimbangan primer negatif Rp25,5 triliun.
Merespons rancangan anggaran terakhir Presiden Jokowi itu, setidaknya ada lima ekonom tanah air yang menaruh catatan khusus. Berikut ini perspektif mereka yang CNBC Indonesia berhasil rangkum:
1. Kepala Ekonom BCA David Sumual
Menurut David, target-target ekonomi yang Jokowi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tetapkan dalam RAPBN 2024 cukup realistis menangkap gejolak perekonomian global dan kondisi ekonomi domestik.
Namun, ia mengingatkan, target-target tersebut, khususnya target pertumbuhan ekonomi terlalu pesimistis atau jauh di bawah pertumbuhan potensialnya. Ini menandakan belum adanya upaya untuk melakukan transformasi ekonomi secara konkrit.
"Cukup realistis, tapi sebenarnya masih jauh di bawah pertumbuhan potensial yang bisa kita gapai. Hitungan saya pertumbuhan ekonomi potensial bisa ke arah 5,5-5,7%," kata David kepada CNBC Indonesia, dikutip Senin (21/8/2023).
Ia mengatakan, dengan target pertumbuhan yang sesuai dengan potensi ekonomi Indonesia, pemerintah seharusnya bisa mengarahkan kinerja APBN secara umum untuk memperbaiki fundamental ekonomi secara keseluruhan, khususnya yang terkait investasi.
"Investasi langsung masih bisa didorong terutama dari segi kualitas, efektivitas, dan efisiensinya. ICOR (Incremental Capital Output Ratio) kita masih relatif tinggi dibanding negara ASEAN lain," tegasnya.
Menurutnya, dengan transformasi ekonomi yang betul-betul terjadi, maka seharusnya dampak pelemahan ekonomi global yang ditakuti Jokowi dan Sri Mulyani pada 2024 tidak akan banyak mempengaruhi perekonomian Indonesia. Dengan begitu target pertumbuhan tak akan dipatok hanya 5,2% dari tahun ini 5,3%.
Menurut dia, ini karena faktor penopang pertumbuhan akan bisa tetap terjaga. Selain konsumsi yang kuat dan berkelanjutan, juga akan ditopang oleh kinerja investasi yang lebih memberi dampak lebih cepat ke perekonomian dan ekspor yang secara nilai akan tetap tinggi meski pelemahan permintaan terjadi.
"Jadi masih banyak pemborosan dan ketidakefisienan dalam perencanaan dan proses investasi kita. Baik yang digarap pemerintah seperti infrastruktur maupun swasta," kata David.
2. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede
Josua juga sependapat bahwa target-target dalam RAPBN 2024 realistis meski terbilang optimistis. Ia mendasari dari besarnya risiko pada 2024 seperti potensi peningkatan inflasi pangan di tengah fenomena El Nino yang diperkirakan puncaknya terjadi di Agustus atau September 2023.
"Pemerintah perlu memitigasi risiko peningkatan inflasi pangan sedemikian sehingga ekspektasi inflasi dapat terjangkar. Jika pemerintah dapat memitigasi risiko tersebut, maka inflasi tahun 2024 diperkirakan akan terkendali dalam kisaran 3,0-3,5%," ujar Josua.
Risiko terkait pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,2% dan harus dimitigasi menurutnya adalah perlambatan ekonomi China, yang diperkirakan sudah mulai terjadi di tahun ini, serta potensi normalisasi harga komoditas.
Ia juga menyoroti secara khusus tantangan utama pemerintah dalam memenuhi target APBN 2024 dari sisih penerimaan perpajakan, yang ditargetkan tumbuh sekitar 9% dari outlook APBN 2023 atau lebih tinggi dari pertumbuhan normal (PDB riil: 5,2% + inflasi:2,8% = 8%).
"Pada tahun 2024 mendatang, seiring dengan penurunan potensi pajak dari sisi komoditas, tentunya realisasi perpajakan berpotensi mengalami perlambatan. Kondisi tersebut masih bisa dioffset dengan upaya mendorong sumber pertumbuhan ekonomi yang lain, sehingga penerimaan dari pajak penghasilan cenderung meningkat," kata Josua.
Menurutnya, defisit APBN 2024 yang ditargetkan sekitar Rp522,8 triliun atau 2,29% dari PDB, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi defisit APBN 2023 sebesar 2,28% dari PDB atau sekitar Rp486,4 triliun juga harus dicermati. Ini karena implikasinya ke beban utang.
Dibandingkan dengan outlook APBN 2023, target pembiayaan SBN naik 83,6% menjadi Rp666,44 triliun, berimplikasi pada penerbitan yang lebih tinggi dibandingkan dengan outlook penerbitan tahun 2023, yaitu Rp362,93 triliun.
"Potensi permintaan obligasi lainnya berasal dari reksa dana/asuransi/dana pensiun, yang diperkirakan akan meningkat sejalan dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Kami memperkirakan imbal hasil SBN 10 tahun di tahun 2024 akan berada di kisaran 6,2%-6,7%," kata Josua.
(mij/mij)