Dapat Kritik PDIP, Food Estate Diperlukan RI, Kenapa?

Damiana, CNBC Indonesia
18 August 2023 13:10
Presiden Jokowi panen jagung di Food Estate di Kabupaten Keerom, Papua. (Dok. Laily Rachev - Biro Pers Sekretariat Presiden)
Foto: Presiden Jokowi panen jagung di Food Estate di Kabupaten Keerom, Papua. (Dok. Laily Rachev - Biro Pers Sekretariat Presiden)

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan proyek pembangunan lumbung pangan, food estate, tetap dilanjutkan di tahun 2024. Proyek ini masuk ke dalam kebijakan transformasi ekonomi di bidang ketahanan pangan.

"Strategi transformasi ekonomi di bidang ketahanan pangan dialokasikan sebesar Rp108,8 triliun," kata Jokowi saat penyampaian keterangan pemerintah atas UU APBN Tahun Anggaran 2024 beserta Nota Keuangan di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

"Diprioritaskan untuk peningkatan ketersediaan, akses, dan stabilisasi harga pangan; peningkatan produksi pangan domestik; penguatan kelembagaan petani; dan dukungan pembiayaan serta perlindungan usaha tani; percepatan pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur pangan; pengembangan kawasan food estate; serta penguatan cadangan pangan nasional," kata Jokowi dikutip Jumat (18/8/2023).

Padahal, proyek ini beberapa kali digempur kritikan oleh berbagai pihak.

Terbaru, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menyebut proyek food estate sebagai kejahatan lingkungan. Menurutnya, proyek food estate tidak terbangun dengan baik. Justru hanya menyisakan pembabatan hutan sampai habis.

Lalu, seberapa penting food estate bagi ketahanan pangan RI?

Seperti diketahui, Proyek Food Estate digagas Presiden Jokowi sejak awal periode kedua kepimpinannya. Jokowi menugaskan Menteri Pertanian Sahrul Yasin Limpo dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto memimpin proyek ini. Dan masuk dalam proyek prioritas strategis mengacu pada Perpres Nomor 108 Tahun 2022.

Mengacu data Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), food estate juga akan dibangun di Kalimantan Barat (120 ribu ha), Kalimantan Tengah (180 ribu ha), Kalimantan Timur (10 ribu ha) dan Maluku (190 ribu ha) dan Papua (1,2 juta ha).

"Soal food estate, yang dikomentari Sekjen PDIP sebagai 'kejahatan lingkungan', menurut saya tidak ada salahnya diteruskan. Berbeda dengan orang yang menentang food estate, saya bisa memahami mengapa pemerintah membangun food estate," kata Pengamat Pertanian Khudori kepada CNBC Indonesia.

"Dalam konteks untuk menambah lahan pangan, food estate adalah langkah yang bisa dimaklumi. Lahan pangan kita jumlahnya amat kecil. Sawah misalnya, hanya 7,46 juta ha," tambahnya.

Dia menjelaskan, food estate dibutuhkan jika Indonesia secara bertahap mengalihkan basis produksi pangan dari Jawa ke luar Jawa.

"Lewat program ini kita membangun fondasi yang benar. Baik untuk menambah lahan pangan maupun secara gradual memindahkan basis produksi pangan dari Jawa keluar Jawa," katanya.

Sebab, kata Khudori, lahan pertanian di Jawa kini terus mengalami konversi untuk pemanfaatan lain.

Food Estate NTT (PUPR)Foto: Food Estate NTT (PUPR)
Food Estate NTT (PUPR)

"Masalahnya, food estate yang dirintis sejak tahun 1990-an sampai saat ini belum ada yang berhasil. Ini salah satunya karena food estate dilakukan serampangan, mulai dari perencanaan hingga eksekusi di lapangan," tukasnya.

"Lahan-lahan food estate rata-rata lahan bukaan baru dari hutan dan lainnya yang perlu disiapkan untuk ditanami," ujar Khudori.

Dia menambahkan, pemanfaatan lahan-lahan tersebut tak hanya harus didukung infrastruktur yang memadai. Seperti irigasi, bendung, dan jalan.

"Tapi tanah lokasi food estate pun perlu disiapkan agar tanaman yang ditanam bisa tumbuh baik. Ini perlu waktu, perlu teknologi tertentu, perlu tenaga lapangan yang cukup dan cakap," kata Khudori.

"Karena selain lahan bukaan baru, lahan-lahan lokasi food estate itu lahan kelas 2, kelas 3, bahkan 4. Tingkat kesuburannya jauh lebih rendah dari lahan-lahan di Jawa," terangnya.

Karena itu, kata Khudori, proyek food estaste sebaiknya dijadikan sebagai program jangka menengah-panjang. Karena memang butuh waktu.

"Tidak bisa dikejar-kejar dengan cara kerja, kerja, kerja dan akan menghasilkan seperti sulapan," cetusnya.

"Produksi di lahan berbeda dengan produksi manufaktur yang sepenuhnya bisa dikontrol. Produksi di lahan ada banyak variabel yang tidak bisa dikontrol. Karena itu, program food estate harus diletakkan dalam konteks jangka menengah-panjang," kata Khudori.


(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Food Estate 'Diserang' & Masuk RAPBN 2024, Ini Respons Puan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular