
Bea Cukai Ungkap Denda Ekspotir Nakal Baru Lunas Rp 22 Miliar

Jakarta, CNBC Indonesia - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mencatat jumlah denda yang didapatkan pemerintah selama pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam mencapai Rp 56 miliar. Dari jumlah tersebut, kata dia, baru Rp 22 miliar yang sudah diselesaikan.
"Dari tahun 2019 ini menurut data kami, ada denda yang dikenakan kepada eksportir kurang lebih Rp 56 miliar, yang sudah diselesaikan Rp 22 miliar," kata Kepala Subdirektorat Ekspor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Pantjoro Agoeng di kantor Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (14/8/2023).
PP Nomor 1 Tahun 2019 diberlakukan pemerintah untuk mewajibkan eksportir membawa pulang devisa hasil ekspor (DHE) untuk dimasukkan ke dalam sistem keuangan Indonesia.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberikan sanksi berupa denda kepada eksportir yang terbukti tidak membawa pulang DHE sumber daya alam (SDA) ke dalam negeri. Pengawasan terhadap DHE ini dilakukan oleh Bank Indonesia, dan penindakannya dilakukan oleh Ditjen Bea dan Cukai.
Seperti diketahui, pada 1 Agustus 2023, pemerintah resmi mengganti aturan PP Nomor 1 Tahun 2019 itu dengan PP Nomor 36 Tahun 2023. PP 36 sama-sama mengatur tentang ketentuan DHE SDA yang wajib diboyong ke dalam negeri. Akan tetapi, Pantjoro mengatakan dalam aturan yang baru ini, sanksi tersebut dihilangkan dan diganti menjadi sanksi administrasi berupa pemblokiran layanan ekspor.
Pantjoro menuturkan meskipun PP Nomor 1 itu sudah diganti, masih ada eksportir yang berutang membayar denda ke negara karena melanggar aturan DHE SDA.
Dia mengatakan dari jumlah total Rp 56 miliar itu, ada sekitar Rp 32 miliar yang telah diserahkan ke Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang. Artinya sanksi administratif itu masih dalam proses penyelesaian.
Dia menjelaskan total denda Rp 56 miliar tersebut diperoleh dari 653 dokumen yang diproses oleh Ditjen Bea Cukai. Jumlah dokumen yang masih berproses di KPKNL adalah 280 dokumen. Sementara, 337 dokumen lainnya sudah diselesaikan.
Pantjoro mengatakan selain denda, ada pula 221 perusahaan yang dikenai sanksi pemblokiran berdasarkan PP Nomor 1 Tahun 2019. Dari jumlah itu, 131 perusahaan sudah dibuka blokirnya, sedangkan 90 sisanya masih terkena blokir layanan ekspor.
Dia menuturkan sektor yang paling banyak terkena denda maupun blokir adalah sektor pertambangan dan perkebunan. "Kami tidak bisa sampaikan perusahaan apa saja," ujar dia.
(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sst..Anak Buah Sri Mulyani Bisa Intip Data Eksportir di BI
